Bagikan:

JAKARTA – Selama tidak ada regulasi jelas yang mengatur hubungan kemitraan, maka imbauan Presiden Prabowo Subianto agar seluruh perusahaan layanan angkutan berbasis aplikasi membayarkan tunjangan hari raya (THR) kepada pengemudi ojek online sulit terealisasi.

Pembahasan mengenai pemberian THR kepada para pengemudi dan kurir online diumumkan Presiden Prabowo Subianto setelah bertemu dengan CEO PT GoTo Patrick Walujo dan CEO Grab Anthony Tan serta sejumlah perwakilan pengemudi ojek online di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/3/2025).

Menurut presiden, para pengemudi online telah memberikan kontribusi penting dalam mendukung layanan transportasi dan logistik di Indonesia.

"Untuk itu, pemerintah menghimbau kepada seluruh perusahaan layanan angkutan berbasis aplikasi untuk memberi bonus hari raya kepada pengemudi dan kurir online dalam bentuk uang tunai dengan mempertimbangkan keaktifan kerja," katanya.

Presiden Prabowo Subianto berbincang dengan CEO Gojek Patrick Walujo dan para pengemudi ojek daring seusai menyampaikan keterangan terkait pemberian THR di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (10/3/2025). (ANTARA/Aditya Pradana Putra/sgd/YU/pri)

Soal besaran dan mekanismenya, presiden menyerahkan masalah ini kepada pihak terkait. Namun ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan imbauan Presiden Prabowo tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

“Masalah THR, saya rasa tidak ada dasar hukum yang jelas. Apakah sistem kemitraan ada soal THR? Saya ragu akan hal itu. Sebenarnya sistem kemitraan ini tidak mengenal THR karena sifatnya yang ‘berusaha sendiri’” kata Huda saat dihubungi VOI.

Mau Main Aman

Sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan bakal mewajibkan pengelola aplikasi ojek online untuk memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pengemudi ojek online untuk Idulfitri 2025. Tapi sejumlah pengamat memandang pemerintah "main aman", dengan hanya menyampaikan imbauan. 

Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan menegaskan pemberian THR terhadap pengemudi ojol bersifat wajib dan akan diatur dalam surat edaran maupun peraturan menteri. Pemerintah juga akan memberikan sanksi kepada aplikator yang tidak memberikan THR.

Imbauan agar perusahaan angkutan umum berbasis aplikasi memberikan THR kepada pengemudi ojol sebenarnya sudah menjadi pembahasan dalam beberapa tahun terakhir. Dan setiap tahun pula, selalu menjadi polemik.

Demo driver ojol di dapan kantor Kementerian Ketenagakerjaan Jl. Gatot Subroto, Jakarta pada 17 Februari 2025. (VOI/Muhamad Jehan) 

Kemenaker pun menggodok regulasi mengenai pemberian THR untuk pengemudi online. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan pihaknya tengah menyiapkan regulasi THR untuk para driver online dan akan menyampaikannya kepada penyedia layanan atau aplikator.

Dari sisi aplikator, Yassierli menyatakan sudah ada titik terang untuk pencairan THR. Aplikator sudah berkomitmen untuk mencari formula terbaik untuk pencairan THR untuk para mitra driver.

"Ya, ini kan kita sudah sampaikan sebenarnya terkait dengan THR kemarin kan pengusaha juga sudah katanya mereka memahami dan mencoba mencari formula terbaiknya itu yang kita tunggu nanti," jelas Yassierli.

Imbauan Tak Berdasar

Namun, Nailul Huda meragukan wacana ini akan dipenuhi perusahaan, apalagi pemerintah hanya menggunakan kata imbauan, alih-alih mewajibkan platform menyediakan THR.

Imbauan tersebut, menurut Huda, juga tidak berdasar sebenarnya, karena masalah THR, yang menurutnya tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

“Apakah sistem kemitraan ada soal THR? Saya ragu akan hal itu. Sebenarnya sistem kemitraan ini tidak mengenal THR karena sifatnya yang ‘berusaha sendiri’” ucap Huda.

“Ketika pun dipaksakan, maka harus ada rumusan tersendiri mengenai penghitungan besaran THR. Apakah dari total pendapatan rata-rata? Atau bulan terakhir? Keraguan ini berdasarkan tidak adanya kejelasan mengenai regulasi,” ia mengimbuhkan.

Kalaupun imbauan ini dikabulkan, maka akan membebani perusahaan dan bakal menimbulkan kecemburuan bagi kemitraab lain, sehingga berpotensi menuntut hal serupa. Ia mencontohkan ibu rumah tangga yang berjualan di platform daring.

Pemberian THR kepada driver online, atau usaha lainnya yang berbasis kemitraan dinilai akan sulit diimplementasikan oleh berbagai perusahaan.

“Selama tidak ada aturan yang mengatur hubungan kemitraan ini, susah untuk mewujudkan THR,” tegasnya.

THR Mendorong Daya Beli

Alih-alih pemberian THR, yang terpenting menurut Nailul Huda justru adalah perlindungan sosial, seperti perlindungan kesehatan, keselamatan kerja, dan perlindungan sosial lainnya bagi mitra, terutama driver ojek online.

“Pemerintah dan Platform menyediakan skema khusus pembayaran perlindungan bagi driver, dan ada pembagian beban ke platform, konsumen, dan driver,” ucap Huda.

Dihubungi terpisah, praktisi hukum Masykur Isnan menjelaskan, setiap kebijakan publik wajib didasarkan pada ketentuan hukum yg berlaku, termasuk regulasi THR dan hukum ketenagakerjaan saat ini masih mengatur pekerja formal, yaitu Perjanjian Kerja waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Sedangkan para pengemudi online ini termasuk dalam kelompok pekerja informal yang masih belum terakomodir dalam regulasi THR.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli memberikan keterangan pers di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (10/3/2025). (ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden)

"Ini pekerjaan rumah yang wajib diselesaikan melalui kebijakan publik dan regulasi yang menyeluruh dan komperehensif," tutur Masykur Isnan saat dihubungi VOI

Untuk itu, menurut Isnan, pemerintah dapat mengambil jalan tengah terbaik untuk semua pihak, salah satunya memberikan insentif bagi para provider yang beritikad baik memberikan THR sehingga dapat juga menjamin keberlangsungan usaha ke depan.

"THR dapat mendorong daya beli publik meningkat dan ekonomi berjalan di momentum hari raya dan lainnya sehingga ini juga menjadi hal penting yang patut dipertimbangkan oleh seluruh pihak," kata Masykur Isnan menyudahi.