JAKARTA - DPR terus berupaya mendengar dan merespons kegelisahan publik mengenai isu kekerasan seksual. RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi salah satu bentuk kepedulian lembaga perwakilan rakyat untuk mewadahi aspirasi publik.
Dalam Diskusi bertajuk ‘Stop Kekerasan Seksual di Sekitar Kita! Dengar, Peduli dan Respons (DPR) dalam rangka Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan’ di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat 26 November, RUU TPKS mendapat sorotan. Berbagai elemen menyuarakan harapan agar RUU ini cepat disahkan.
Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Abby Gina Boang Manalu yang menjadi moderator menyebut, tingginya kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah menjadi fenomena gunung es. Masyarakat menantikan regulasi yang komprehensif untuk melindungi korban-korban kekerasan seksual.
"Menurut data Komnas Perempuan, kekerasan seksual yang paling banyak jumlahnya kedua tertinggi dibanding kekerasan yang lainnya. Harapan dari masyarakat bagaimana ada sebuah hukum yang mengatur dan menangani hal tersebut secara komprehensif karena dari berbagai data menunjukkan banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang sulit diproses,” ujar Gina.
Jurnal Perempuan melihat banyaknya korban yang enggan melaporkan kekerasan seksual karena masalah sosial kultural di masyarakat. Gina memberi contoh, saat korban justru disalahkan ketika mengaku mendapat tindak kekerasan seksual.
"Sistem hukum kita yang belum mengenal persoalan itu sehingga korban seringkali mengalami reviktimisasi. Maka kita punya harapan yang besar dengan RUU TPKS," ucapnya.
Ketua Panja RUU TPKS DPR RI, Willy Aditya mengungkap substansi dari RUU ini. Ia mengatakan, RUU TPKS dibutuhkan sebagai bentuk perlindungan terhadap korban sebab undang-undang yang ada saat ini seperti KUHP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perkawinan, UU ITE, hingga UU tentang Pornografi belum bisa menjadi payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.
“RUU TPKS dibutuhkan dalam dua ranah. Pertama bagaimana korban mendapat keadilan dan perlindungan, agar aparat penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa punya legal standing dalam menindak,” sebut Willy.
Hal tersebut penting mengingat penegak hukum bekerja berdasarkan hukum positif. Willy mengatakan, banyak korban kekerasan seksual tidak melapor karena dalam realisasinya, seksualitas masih dianggap sebagai aib atau hal yang tabu.
“Korban kekerasan seksual itu sudah jatuh, tertimpa tangga, ditimpuk batu, disorakin lagi. Mereka berbicara tapi kemudian disalahkan karena pakai rok kependekan. Kayak gini bukan satu atau dua kali,” ungkapnya.
“Jadi nggak ada tempat di mana mereka mencari keadilan. Maka RUU TPKS ini yang kita butuhkan,” sambung Willy.
Ranah kedua yang perlu diatur lewat RUU TPKS adalah soal memisahkan antara urusan publik dan urusan privat. Hal yang menjadi penting adalah bagaimana kebebasan seksual, penyimpangan seksual dan kekerasan seksual dapat diatur melalui regulasi.
“Memisahkan di mana res publica (urusan publik) dan res privata (urusan privat). Nah kita ingin atur res publica-nya. Hanya kebetulan objeknya seksulitas. Ini yang sering menjadi perdebatan di Panja,” terang Willy.
BACA JUGA:
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini mengatakan, poin-poin krusial pada RUU TPKS sebenarnya sudah disepakati. Willy merinci, poin-poin krusial itu meliputi judul undang-undang, sistematika, perlindungan kepada korban, hingga metodologi persidangan kasus kekerasan seksual.
“Metodologi persidangan apakah tertutup atau terbatas. Di Panja dipilih tertutup untuk melindungi korban. Dan yang paling utama adalah hukum acaranya, kalau di KUHP butuh 3 alat bukti. Di RUU TPKS, kesaksian korban sudah bisa jadi alat bukti. Jadi ini UU yang progresif terhadap keadilan,” paparnya.
“Tinggal political will untuk memplenokan dan dibawa ke Paripurna. Saya ingin sebelum masa sidang selesai 15 Desember bisa diplenokan, bahkan diparipurnakan sebagai RUU inisiatif DPR,” tambah Willy.
Dukungan terhadap RUU TPKS pun datang dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU. Beberapa penolakan terhadap RUU TPKS diketahui kerap datang dari kalangan agamis.
“Apapun agamanya, pasti melarang kekerasan seksual. Sebab kekerasan seksual jelas sekali pelanggaran hak-hak kemanusiaan dan penodaan kesucian. Juga berlawanan dengan hukum Tuhan. Maka semua agama menolak kekerasan seksual, tidak ada yang membolehkan,” ujar Sekretaris Lakpesdam PBNU, KH Marzuki Wahid.
Menurutnya, negara harus hadir memberikan perlindungan kepada korban-korban kekerasan seksual. Marzuki mengatakan RUU TPKS menjadi calon payung hukum yang melindungi dan memberikan jaminan pemulihan untuk korban.
“Saya tidak menemukan satu pasal pun dalam RUU TPKS yang melegalisasi zina atau LGBT. Karena RUU TPKS mengatur soal hukuman pelaku, melindungi korban dan pencegahan kekerasan seksual,” urainya.
Marzuki menilai, kekerasan seksual lebih jahat dari tindak korupsi. Oleh karenanya, RUU TPKS diperlukan untuk melindungi masyarakat.
“Korupsi kejahatan berat tapi kekerasan seksual lebih berat dari korupsi karena korban kekerasan seksual tidak bisa dipulihkan seperti kemuliannya, kehormatannya, belum lagi korban memiliki trauma. Kami atas nama agamawan mendukung RUU TPKS untuk segera disahkan,” tegas Marzuki.
Sementara itu Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen, Diah Pitaloka menyebut RUU TPKS identik dengan perempuan. Sebab 90% korban kekerasan yang terjadi di Indonesia datang dari kaum perempuan sehingga RUU TPKS dianggap sebagai dorongan moril dari DPR.
“Emansipasi adalah agenda substansi dari demokrasi. Narasi emansipasi ini tidak boleh surut, harus terus hidup dalam perjuangan di DPR. Dan emansipasi tidak otomatis kewajiban perempuan, karena emansipasi juga dimiliki oleh laki-laki sebagai bagian dari semangat demokrasi,” kata Diah.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR itu menggarisbawahi bagaimana perjuangan DPR terhadap emansipasi perempuan tidak berbasiskan gender. Diah memberi contoh bagaimana Ketua Panja RUU TPKS justru diketuai oleh laki-laki.
“Dan Alhamdulillah, teman-teman DPR termasuk di DPD juga khususnya yang perempuan banyak menyuarakan perlunya penghapusan kekerasan terhadap perempuan,” ucapnya.
Meski RUU TPKS masih terkendala sejumlah perdebatan antar-fraksi di DPR, Diah optimistis RUU ini bisa disahkan. Apalagi semangat anggota DPR periode ini terkait RUU TPKS terbilang lebih baik.
“Kalau RUU ini gagal disahkan, bagaimana nasib korban-korban atau kasus-kasus kekerasan seksual. Kita harus merespons lewat produk hukum. Jangan sampai banyaknya kasus kekerasan seksual menjadi wajah peradaban Indonesia,” ujar Diah.
“Persoalan ini real, jadi bagaimana kita memperjuangkan keadilan. Ini kepentingan sosial kita karena kekerasan seksual sudah menjadi persoalan publik,” imbuhnya.
Peneliti Institut Sarinah, Luky Sandra Amalia, mengatakan kekerasan seksual juga berkaitan dengan Pancasila.
“Kalau ini dikaitkan dengan Pancasila, maka memahami Pancasila harus runut karena kita tidak bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia apabila belum bisa mewujudkan kemanusian yang adil dan beradab,” papar Luky.
Amalia mengingatkan, perempuan tidak bisa bekerja sendiri untuk menghentikan kekerasan seksual. Apalagi laki-laki, berdasarkan data yang ada, merupakan pelaku terbanyak dari tindak kekerasan seksual selama ini.
“Dengan menjadikan lelaki sebagai sekutu, kita bisa mengubah mereka dari power abuser menjadi challenge maker maka diperlukan hadirnya laki-laki dalam proses lahirnya UU ini. Dan saya berharap media bisa bantu blow up sehingga bisa mendorong teman-teman legislatif untuk segera mengesahkan RUU TPKS,” pungkas Amalia.