Bagikan:

JAKARTA - DPR RI terus berupaya merespons harapan masyarakat akan pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang hingga kini masih bergulir di Panitia Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

“Di RUU ini, korban benar-benar menjadi perhatian kita. Korban tidak hanya dilindungi tetapi juga mendapatkan penanganan, perlindungan, dan pemulihan terkait kasus kekerasan yang dialami olehnya,” kata Ketua Panja RUU TPKS, Willy Aditya, Selasa 23 November kemarin.

RUU TPKS berfokus terhadap korban mengingat seberat apapun pelaku dihukum, korban tetap mendapatkan dampak kerugian yang kompleks. Willy menegaskan, RUU TPKS merupakan satu-satunya RUU yang perspektifnya berbasis pada korban.

“Mereka tidak bersalah tapi takut melapor. Mereka juga malu, trauma, disorientasi, bahkan di antara mereka sampai sakit jiwa. Bagi yang pelajar, mereka jadi sulit belajar, harus pindah sekolah atau kampus karena jadi bahan gunjingan, hingga memilih drop out,” ucapnya.

Willy sendiri menyebut kekerasan seksual masih seperti fatamorgana sebab sangat terlihat di kejauhan namun seolah hilang ketika didekati. Ia menegaskan, data menunjukkan betapa tingginya angka korban kekerasan seksual, namun ketika didekati dengan rumusan regulasi menjadi menguap begitu saja.

“Perdebatan tentangnya malah berubah menjadi soal perzinaan atau malah legalisasi free sex. Sementara term tentang kekerasan dan nasib korban sendiri menjadi nisbi. Padahal seksualitas memang term yang kompleks. Ia tidak bisa dilihat secara sederhana atau hitam putih belaka,” ungkap Willy.

“Ada aspek rasa yang dominan di dalamnya di mana logika sering tak mampu melawannya. Namun term kekerasan, kiranya bisa dipilah dan diidentifikasi bentuk dan praktiknya hingga bisa dirumuskan mana yang dianggap memakan korban dan mana yang tidak. Dalam terang terang term inilah RUU tentang kekerasan seksual dirumuskan,” sambungnya.

Meski sudah banyak pihak yang bersuara agar RUU TPKS cepat disahkan, Willy mengatakan pembahasan di DPR tidak semulus seperti yang diharapkan. Salah satu yang menjadi sorotan adalah fenomena saat korban justru malah menjadi pihak yang dipersalahkan.

“Korban yang mengadu malah kerap dipersalahkan, seolah syahwat memang absah untuk melecehkannya. Di sisi lain, paham dan kepentingan politik selalu menjadi jalan terjal bagi upaya membela korban dan mencegah tindak kekerasan yang terjadi,” tutur Willy.

Di Baleg sendiri, hal tersebut yang terus mewarnai perdebatan rumusan RUU TPKS. Padahal untuk mendapat titik temu dan kesepahaman agar spektrum pemikiran dan pandangan dalam RUU TPKS berfokus pada korban, kata Willy, Panja telah memanggil lebih dari seratus stakeholder dan mengadakan puluhan kali rapat.

“Namun demikian, fokus ini rupanya belum cukup. Mereka yang tidak bersepakat tetap menuntut hal yang lebih atau berandai-andai akan hal yang tidak relevan,” sebutnya.

Ada beberapa isu krusial yang muncul dalam dinamika pembahasan RUU TPKS di DPR. Di antaranya perihal judul RUU, tentang jenis-jenis kekerasan, dan mengenai frasa persetujuan melakukan hubungan seksual atau sexual consent.

Disampaikan Willy, hal yang paling sensitif dari isu-isu krusial itu adalah tentang klausul ‘persetujuan’ dari korban atau biasa disebut consent. Klausul ini selalu menjadi bahan perdebatan sengit dan pelik setiap kali RUU ini dibahas.

“Logika yang mengemuka langsung loncat pada: itu berarti melegalisasi perzinaan atau seks bebas. Padahal, tentu saja tidak begitu logikanya. Seringnya, penjungkirbalikan logika semacam itu malah menjadi narasi hitam atas upaya melindungi korban dalam kasus kekerasan seksual,” papar Willy.

“Ketika seorang istri enggan berhubungan dengan suami karena alasan tertentu, dan oleh karena itu hubungan seksual tidak dibolehkan, maka apakah ketika si istri mengiyakan itu akan disebut zina? Tentu tidak, karena mereka adalah pasangan. Itulah yang dimaksud consent, dan tepat di titik itulah klausul kekerasan atau tidak itu berada,” tambahnya.

Sementara itu soal perzinaan sudah ada klausul sendiri dan diatur dalam KUHP. RUU TPKS pun sebenarnya juga tidak mencantumkan klausul tentang ‘persetujuan’ sehingga seharusnya tidak perlu diperdebatkan.

“Di dalam RUU TPKS sama sekali tidak dicantumkan frasa sexual consent. Kami menyusun ini dengan penuh kecermatan dan berbasis sosiokultural. Jadi kata-kata sexual consent itu tidak ada dalam RUU ini,” tegas Willy.

Willy sebenarnya berharap agar RUU TPKS bisa diplenokan sebagai keputusan Baleg DPR RI sesuai jadwal pada tanggal 25 November mendatang bertepatan dengan momen peringatan Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional. Hal ini dikarenakan banyak korban kekerasan seksual datang dari kaum perempuan.

Hanya saja, belum adanya titik temu fraksi-fraksi di DPR masih menjadi kendala. Fraksi-fraksi yang memelopori RUU TPKS disebut akan terus berupaya membangun kesepahaman dan empati terhadap korban di segenap stakeholder.

“Kesabaran harus menjadi kuda-kuda. Optimisme harus digelorakan. Setidaknya di Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan ini kita masih memiliki harapan akan lahirnya UU yang mampu melindungi dan memulihkan korban,” kata Willy.

Ditambahkannya, DPR RI akan terus merespons kegelisahan publik terkait isu tersebut. Willy meminta masyarakat percaya bahwa DPR senantiasa berpihak terhadap korban kekerasan seksual.

“Kami setia pada isu-isu yang menjadi konsen kita. Publik bisa melihat totalitas kami yang tidak hanya menjaga akan tetapi juga terus berjuang merealisasikan lahir UU perlindungan terhadap korban TPKS. Sedari awal kami sadar ini tidak akan mudah. Namun yang tidak mudah bukan berarti tidak bisa,” pungkas Legislator dari Dapil Jawa Timur XI ini.