Bagikan:

JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengkritisi penyusunan draf awal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang kini menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Hal ini disampaikan usai DR menggelar rapat pleno penyusunan RUU versi tanggal 30 Agustus 2021 yang diterbitkan Badan Legislasi DPR RI.

LBH Jakarta menyebut ada ketentuan yang hilang dan kurang, sehingga mengakibatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual menjadi jauh dari rasa keadilan dan kepastian hukum.

"Draf RUU PKS versi Baleg DPR RI belum mengakomodir secara komprehensif segala upaya untuk menghapus kekerasan seksual," tulis keterangan LBH Jakarta pada laman resminya, dikutip pada Minggu, 5 September.

Terdapat 16 catatan kritis yang diungkapkan LBH Jakarta dalam menyikapi draf awal RUU PKS, yakni sebagai berikut.

  1. Hilangnya asas dan tujuan pembentukan undang-undang membuat arah penghapusan kekerasan seksual menjadi tidak jelas.
  2. Dihapusnya tindak pidana perbudakan seksual.
  3. Dihapusnya tindak pidana pemaksaan perkawinan.
  4. Ketentuan mengenai pemaksaan aborsi dihilangkan.
  5. Tidak adanya tindak pidana pemaksaan pelacuran.
  6. Pengubahan nomenklatur tindak pidana perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual telah mereduksi pemaknaan atas tindakan perkosaan itu sendiri.
  7. Tidak dimuatnya tindak pidana kekerasan berbasis gender online.
  8. Menyamakan unsur kekerasan seksual terhadap korban dewasa dan anak.
  9. Tidak diaturnya pidana berupa tindakan bagi pelaku.
  1. Tidak adanya perlindungan khusus bagi korban dengan disabilitas.
  2. Hilangnya pengaturan yang mewajibkan pemerintah dalam pemenuhan hak korban adalah bukti nyata negara lari dari tanggung jawab.
  3. Tidak diaturnya hak-hak korban, keluarga korban, saksi dan ahli membuat mereka berada dalam posisi rentan ketika menjalani proses penegakan hukum.
  4. Tidak adanya kewajiban Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk melindungi dan memenuhi hak-hak korban.
  5. Arah upaya pencegahan tidak diatur secara komprehensif dalam draf sehingga tindakan preventif yang seharusnya menjadi perhatian serius menjadi terabaikan.
  6. Tidak dimuatnya larangan aparat penegak hukum (APH) melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakkan hukum tindak kekerasan seksual sama halnya mengamini status quo yang tidak berpihak pada korban.
  7. Menghilangkan peran paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual.

Dari catatan ini, LBH Jakarta mempertanyakan kepada pembentuk undang-undang, mau dibawa ke arah mana perlindungan korban dan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual.

LBH Jakarta menuntut agar Baleg DPR RI memasukkan seluruh catatan LBH Jakarta untuk dirumuskan untuk diatur menjadi pasal demi pasal ke dalam draf RUU PKS.

"LBH juga menuntut Baleg DPR RI segera membuka seluas-luasnya ruang partisipasi publik dengan melibatkan secara aktif korban, pendamping, kelompok masyarakat dan ahli yang konsisten mendorong pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual untuk merumuskan kebijakan pasal demi pasal terhadap RUU PKS," ungkapnya.

Kemudian, Baleg DPR RI diminta untuk mendengarkan, mempertimbangkan, dan mengimplementasikan masukan yang komprehensif dari berbagai kalangan yang mempunyai visi besar untuk mencegah serta menghapuskan kekerasan seksual melalui RUU PKS.