Bagikan:

JAKARTA - Pada 22 Desember 1928, Kongres Perempuan digelar pertama kali untuk membicarakan masalah hak dan perlindungan perempuan. Kini, kaum perempuan telah memiliki kemajuan dari berbagai bidang. Kongres inilah yang menetapkan tanggal 22 Desember sebagai peringatan Hari Ibu.

Namun, setelah 93 tahun berlalu, perempuan Indonesia belum mendapatkan rasa aman dari ancaman kekerasan, terutama kekerasan seksual. Hal ini disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah.

"Catatan tahunan Komnas Perempuan 2021 merekam bahwa sepanjang tahun 2020 terjadi 299.991 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke berbagai lembaga pengada layanan," kata Alim dalam keterangannya, Rabu, 22 Desember.

Alim menuturkan, kekerasan seksual menjadi kasus kekerasan yang paling tinggi dilaporkan, dilanjutkan oleh kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi. Perempuan dengan disabilitas pun tak luput dari tindak kekerasan seksual. Dari seluruh jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas, 79 persennya adalah kekerasan seksual.

Alim juga menggarisbawahi kekerasan seksual yang terjadi di dunia pendidikan, baik tingkat menengah maupun pendidikan tinggi, baik pendidikan umum maupun berbasis keagamaan.

Komnas Perempuan mencatat, kekerasan di lembaga pendidikan menduduki 4,2 persen, dan pelaku kekerasan seksual ini justru berprofesi sebagai pendidik, yaitu guru, guru ngaji/ustad, tokoh agama dan dosen.

"Kekerasan seksual ini terjadi karena ada relasi kuasa antara korban dan pelaku. Berdasar sejumlah kasus yang ada, kasus baru terungkap beberapa tahun kemudian setelah pelaku memakan banyak korban," jelas Alim.

"Budaya bungkam karena adanya relasi kuasa dan intimidasi serta anggapan keliru yang masih mengakar dalam masyarakat mengenai kekerasan seksual sebagai aib yang harus ditutupi, menyebabkan banyak korban kekerasan tidak mendapat perlindungan dan keadilan," lanjutnya.

Sayangnya, saat angka kekerasan seksual di Indonesia masih tinggi, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tak kunjung disahkan. Padahal, RUU ini sudah diusulkan oleh Komnas Perempuan bersama Jaringan Masyarakat Sipil dan Forum pengada layanan sejak tahun 2012 dan masuk dalam Prolegnas DPR RI pada Januari 2016.

Karena terus menjadi perdebatan, naskah ini tersendat di DPR RI periode 2014-2019. RUU tersebut kemudian diusulkan kembali kepada DPR RI periode berikutnya. Sayangnya, belum kunjung disahkan sebagai RUU inisiatif DPR RI hingga sekarang.

"Perbedaan sudut pandang yang cenderung diwarnai oleh kepentingan politik seolah menutup mata dan telinga serta mengabaikan suara perempuan korban kekerasan seksual yang makin tragis dengan dampak yang semakin kompleks," ujarnya.

Oleh sebab itu, Komnas Perempuan sebagai mendesak kepada DPR RI dan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sudah didesakkan oleh Gerakan masyarakat sipil selama 9 tahun terakhir, mengingat Indonesia dalam kondisi darurat kekerasan seksual.