Sangat Mungkin Vonis Hukuman Mati Ferdy Sambo Berubah Jadi Seumur Hidup
Ferdy Sambo ketika hendak menjalani persidangan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (VOI/Irfan Meidianto)

Bagikan:

JAKARTA – Hukuman mati Ferdy Sambo apakah tetap akan mengacu ke KUHP sebelumnya, atau mengacu ke aturan KUHP baru yang disahkan pada 6 Desember 2022? Sebab, ada pergeseran paradigma terkait pidana mati.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau aturan KUHP baru, pidana mati tidak lagi menjadi pidana pokok, melainkan pidana khusus yang diancamkan secara alternatif.

Seperti yang tertera dalam Pasal 98 UU tersebut, “Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.”

Sehingga, proses pelaksanaannya juga berbeda. Ini bisa terlihat dalam Pasal 100 KUHP baru:

(1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:

a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau

b. peran terdakwa dalam tindak pidana.

(2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

(3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ferdy Sambo saat mendengarkan vonis hukuman mati terhadapnya, yang dibacakan Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso di PN Jakarta Selatan, Senin 13 Februari 2023. (Tangkapan layar YouTube)

(4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(5) Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan.

(6) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untu diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

KUHP baru, menurut Pengamat hukum pidana dari JFB Indonesia Legal Consultant, Farizal Pranata Bahri, memang baru berlaku 3 tahun setelah resmi diundangkan. Namun, aturan tersebut kemungkinan bisa diterapkan dalam perkara Ferdy Sambo.

Bila nantinya Ferdy Sambo mengajukan upaya hukum lanjutan hingga memakan waktu 3 tahun misalnya, hakim Mahkamah Agung bisa menggunakan aturan terbaru untuk memutus perkara.

“Apalagi, kalau nantinya di peninjauan kembali terdapat bukti-bukti baru yang bisa membuktikan bahwa Ferdy Sambo misalnya bukanlah otak dari pembunuhan berencana terhadap Yosua, hakim bisa memutus menggunakan aturan KUHP baru,” kata Farizal kepada VOI pada 14 Februari 2023.

“Ini bukan berarti retroaktif atau berlaku surut seperti asas hukum pidana yang berlaku, namun terhadap beberapa ketentuan asas tersebut bisa dikesampingkan,” sambung Farizal.

Vonis Seumur Hidup

Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Liona Nanang Supriatna mengatakan dalam prinsipnya hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Vonis pidana mati Ferdy Sambo yang berlaku saat ini tetap mengacu ke aturan sebelumnya.

“Berbeda dengan kejahatan HAM, kalau pidana tidak boleh karena asas legalitas. Lain hal, bila ada upaya hukum lanjutan yang bisa memakan waktu lebih dari 3 tahun, atau setelah KUHP baru berlaku pada 2026 nanti,” ucapnya kepada VOI pada 14 Februari 2023.

Lagipula, bila itu yang terjadi, Nanang menduga kuat hakim di tingkat yang lebih tinggi akan mempertimbangkan kembali ultra petita. Sehingga, vonis mati akan berubah menjadi vonis seumur hidup, mengacu kembali ke tuntutan jaksa.

“Jarang hakim pengadilan negeri menjatuhkan vonis lebih dari tuntutan jaksa. Mungkin hakim akan mempertimbangkan ini,” katanya.

Bila benar Ferdy Sambo dihukum seumur hidup, apakah ada jaminan dia tidak mendapat grasi, amnesti, dan bentuk pengurangan hukuman lainnya?

Pengurangan hukuman, menurut Nanang, akan tetap ada. Namun selama putusan pengurangan hukuman diberikan dengan pertimbangan yang tepat, itu tidak jadi masalah.

Nanang mencontohkan kasus pengeboman pesawat Boeing 747 milik maskapai Pan Am 103 pada 21 Desember 1988. Pesawat meledak di atas Lockerbie, Skotlandia dalam perjalanan dari London ke New York City. Total 259 penumpang dan awak tewas. Puing-puing yang jatuh menghancurkan 21 rumah dan menewaskan 11 orang lagi di darat.

Mahkamah internasional di Den Hag, Belanda memvonis pelaku pengeboman hukuman seumur hidup. Ketika melakukan aksinya, pelaku masih berusia sekitar 40-50 tahunan. Sekarang pelaku sudah tua renta. Akhirnya, karena melihat pelaku sudah tidak berbahaya lagi, hakim memutuskan untuk mengembalikan kepada keluarganya di Libya.

Tujuannya rasa kemanusiaan, agar pelaku dapat merasakan kehangatan keluarga di sisa akhir hidup dan meninggal di tengah keluarga.

Begitupun pada kasus Ferdy Sambo. Hukuman seumur hidup juga paling dijalani hanya beberapa tahun.

“Sekarang, Ferdy Sambo berusia 50 tahun, 20 tahun lagi sudah renta, sakit-sakitan. Lagipula, powernya saat ini sudah tidak seperti dulu. Apakah pejabat berani bermain mata mempertaruhkan martabat dan jabatannya. Apalagi, gara-gara dia citra Polri tercoreng habis. Hampir 100 polisi terbunuh kariernya,” ujarnya.

Kontradiksi Hukuman Mati

Saat ini, dalam catatan Amnesty International, 142 negara sudah menghapus praktik hukuman mati. Tak ada bukti bahwa hukuman mati lebih efektif dalam mengurangi kejahatan daripada hukuman penjara seumur hidup. Hukuman mati justru cenderung digunakan sebagai alat politik.

Meski Freddy Budiman telah dihukum mati, dalam kenyataannya peredaran narkoba tetap masih marak di Indonesia. Lalu, lihat negara-negara yang menerapkan hukuman mati untuk koruptor, apakah efektif?

Negara-negara yang minim praktik korupsi dengan Corruption Perceptions Index (CPI) tertinggi seperti Denmark, Selandia Baru, Finlandia, dan Swedia justru tak menerapkan hukuman mati untuk kejahatan korupsi.

Sejatinya, kata Nanang, pemidanaan itu bukan alat balas dendam, tetapi upaya pembinaan agar pelaku menyadari kesalahannya, bertobat, dan kembali ke jalan yang benar.

Ilustrasi - Hukuman mati sering membuat negara merasa ‘lega’, dan melupakan perubahan sistemik yang sebenarnya perlu dilakukan untuk menghapus kejahatan. (Antara)

“Hukuman mati tidak menyelesaikan masalah, prinsipnya sama-sama menghilangkan nyawa orang lain. Hanya beda kadarnya saja. Pembunuhan pertama ilegal, lalu yang melakukan pembunuhan dibunuh lagi, dilegalkan,” terangnya.

Sehingga, menurut Nanang, pengawasan masyarakat seharusnya lebih mengarah ke proses pemidanaan, bukan soal hukuman mati. Perlu ada perubahan sistemik agar hukuman penjara bisa membuat orang jera.

“Semisal, jangan ada lagi sel-sel khusus untuk kelas bintang 1, bintang 2, 3 sampai 5, sel untuk pedagangan asongan, mahasiswa dan lainnya. Semua elemen, termasuk pemangku kekuasaan harus punya itikad baik dan komitmen. Kalau tidak, aturan sehebat apapun tidak akan bisa jalan,” sambung Nanang.

“Namun, pendapat ini bukan berarti saya mengacuhkan rasa kehilangan yang dialami keluarga korban Yosua ya. Saya hanya mengingatkan masyarakat, yang lebih penting adalah mengawasi proses pemidanannya. Jangan sampai ada karpet merah untuk Ferdy Sambo atau terpidana-terpidana lainnya,” kata Nanang mengimbuhkan.