JAKARTA – Angka perempuan di Indonesia yang memilih tidak memiliki anak atau childfreee mengalami peningkatan dalam empat tahun terakhir. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) fenomena childfree tidak hanya terjadi di kalangan perempuan dengan latar belakang pendidikan tinggi.
BPS belum lama ini merilis laporan bertajuk ‘Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia’ dan diketahui jumlah perempuan yang memilih untuk tidak memiliki keturunan meningkat dalam empat tahun ke belakang, meski angkanya sempat turun saat pandemi COVID-19.
Menurut laporan tahunan tersebut, prevalensi perempuan di Indonesia yang memilih childfree adalah 8,2 persen atau setara dengan 71.000 perempuan. Laporan yang dirilis BPS ini menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) terhadap perempuan berusia 15-49 tahun yang pernah menikah tapi belum pernah melahirkan, serta tidak menggunakan kontrasepsi.
Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Veronica Tan mengungkapkan, fenomena childfree ini terjadi karena masyarakat sudah mulai banyak yang teredukasi mengenai pengasuhan anak.
Dikatakan Veronica, perempuan yang memiliki edukasi merasa perlu tanggung jawab besar dalam membesarkan anak. Jika tidak sanggup, mereka akan merasa bersalah.
“Makanya saya bilang untuk perempuan yang teredukasi mereka ngerti bahwa anak itu menjadi sebuah beban kalau kita tidak memberikan yang terbaik dengan kualitas,” kata perempuan yang disapa Vero ini.
“Akhirnya mereka memilih ‘saya saja enggak bisa memberikan kualitas dengan baik, ngapain saya punya anak’” imbuhnya.
Didominasi Perempuan Tak Bekerja
Influencer muda Gita Savitri pernah dihujani hujatan warganet karena ia secara terang-terangan menganut childfree alias tidak ingin memiliki keturunan. Di tengah hujatan para warganet, Gitsav, begitu sapaannya, mengungkapkan sejumlah alasan yang melatarbelakangi keputusannya untuk tidak memiliki anak sendiri.
Mulai dari susahnya menjadi ibu sampai klaim kesetaraan gender yang ia anggap hanya omong kosong ketika memiliki anak.
“Gw SADAR betul bahwa mengurus anak itu kontraknya SEUMUR HIDUP. Makanya gw gak mau,” tulis Gitsav di Instastory-nya.
Meski menuai pro dan kontra, kenyataannya prevalensi perempuan yang memilih childfree di Indonesia cenderung naik dari tahun ke tahun. Pada 2019 misalnya, prevalensi tersebut hanya 7 persen kemudian turun menjadi 6,3 persen setahun kemudian atau saat COVID-19. Namun angka tersebut terus naik menjadi 6,5 persen dan 8,2 persen masing-masing di tahun 2021 dan 2022. BPS memprediksi angka tersebut lebih tinggi lagi di tahun ini.
Dewasa ini, perempuan yang memilih childfree kerap diidentikan dengan perempuan yang berpendidikan tinggi, paling tidak di jenjang S1 ke atas. Keputusan untuk mengejar pendidikan hingga karier disebut-sebut menjadi alasan perempuan lebih memilih tidak memiliki anak.
Namun data BPS yang baru dirilis baru-baru ini memunculkan fakta lain. Keputusan hidup childfree di Indonesia justru lebih tingginya presentasenya pada perempuan dengan pendidikan SMA ke bawah.
Data SUSENAS 2022 juga mencatat sekitar 57 persen perempuan yang memilih childfree ternyata tidak aktif dalam kegiatan ekonomi atau tidak bekerja. Sementara perempuan childfree yang bekerja bergerak di sektor perdagangan. Data ini memperkuat anggapan bahwa kesulitan ekonomi menjadi faktor utama seseorang untuk tidak punya anak.
Kendati demikian, BPS menganalisis ada kemungkinan faktor lain yang berperan. “Akan tetapi, gaya hidup homoseksual kemungkinan juga menjadi alasan tersembunyi,” tulis laporan tersebut.
Penerimaan Terhadap Childfree Meningkat
Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto mengamini faktor-faktor tersebut. Ia menyebut faktor ekonomi berperan sangat penting yang memengaruhi keputusan perempuan di Indonesia memilih hidup childfree.
“Perempuan yang mengalami kesulitan ekonomi mungkin merasa tidak mampu untuk membesarkan anak, sehingga memilih untuk hidup tanpa anak sebagai solusi,” ujar Kasandra kepada VOI.
Selain itu, persepsi tentang keluarga juga turut memengaruhi. Kata Kasandra, perubahan dalam pandangan terhadap keluarga dan peran gender dapat memengaruhi keputusan untuk tidak memiliki anak. Banyak perempuan kini melihat bahwa mereka tidak perlu memiliki anak untuk merasa lengkap atau bahagia.
BACA JUGA:
Perempuan yang menginginkan kemandirian dan kebebasan dalam hidup juga cenderung memilih tidak punya anak. Bagi mereka, memiliki anak dianggap bisa membatasi kebebasan mereka untuk mengeksplorasi kehidupan dan mengejar minat pribadi.
“Lingkungan sosial dan budaya juga memengaruhi keputusan ini. Di beberapa komunitas, ada peningkatan penerimaan terhadap pilihan childfree, yang membuat perempuan merasa lebih nyaman untuk mengambil keputusan tersebut,” jelas Kasandra.
Keputusan untuk tidak memiliki anak memiliki dampak positif maupun negatif bagi sebuah keluarga. Kemandirian finansial, memiliki waktu luang dan energi untuk diri sendiri, serta peluang kesehatan mental yang baik disebut termasuk di antara dampak positif bagi keluarga yang menganut childfree.
“Pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak sering kali memiliki lebih banyak kebebasan finansial. Mereka dapat mengalokasikan sumber daya untuk investasi, perjalanan, atau pengembangan diri,” ucap Kasandra.
“Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pasangan yang childfree dapat mengalami tingkat stres yang lebih rendah, karena mereka tidak menghadapi tantangan dan tekanan yang datang dengan pengasuhan anak,” imbuhnya.
Kendati demikian, keputusan childfree juga diiring dampak negatif seperti menghadapi stigma di masyarakat yang menganggap bahwa memiliki anak adalah norma. Selain itu, beberapa pasangan childfree khawatir tentang siapa yang akan merawat mereka saat mereka menua, karena tidak memiliki anak untuk mendukung mereka.
“Beberapa pasangan mungkin merasa kehilangan koneksi emosional yang sering kali datang dengan pengasuhan anak dan pengalaman berbagi yang mendalam,” pungkasnya