Bagikan:

JAKARTA - Konsep childfree jadi perbincangan setelah beberapa selebritas lokal, seperti Gita Savitri dan Cinta Laura mengungkap keinginan menerapkan childfree. Cinta Laura menyebut keinginan itu sebagai logika sadar. Dunia telah dibebani begitu banyak populasi, kata Cinta. Isu overpopulasi jadi kekhawatiran banyak pihak selama bertahun-tahun. Tapi, benarkah kelahiran manusia mengancam Bumi? Berapa banyak populasi yang bisa ditampung oleh bumi?

Cinta Laura, dalam sebuah akun YouTube mengatakan, "Aku suka melihat fakta. Dunia kita sangat overpopulasi. Terlalu banyak manusia yang tinggal di dunia ini," kata Cinta, dikutip Jumat, 20 Agustus. Cinta Laura bukan satu-satunya. Survei yang dilakukan penulis buku Childlesness in United States, Tomas Sobotka menunjukkan kekhawatiran terhadap overpopulasi sebagai salah satu alasan paling umum kenapa seseorang memilih childfree.

Selain kekhawatiran pada dampak overpopulasi, ada juga alasan seperti ketakutan tak dapat memberi fasilitas hidup layak untuk anak, keterbatasan finansial atau karier. Yang menarik, penelitian ini membantah anggapan bahwa keputusan childfree diambil berdasar egoisme. "Penelitian tak menemukan alasan (childfree) adalah karena seseorang tidak ingin bersenang-senang atau berbagai alasan yang kerap memunculkan stigma negatif (soal childfree)."

Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa keputusan childfree adalah pilihan sadar dan logis. Hal ini diamini Zoe Krupka, psikoterapis yang berbicara untuk podcast ABC Ladies. Menyoroti perempuan, Krupka mengatakan sebagian besar keputusan childfree "tidak didasari pada hal-hal yang berada di luar kendalinya." Dan keputusan seorang perempuan untuk childfree tidak dapat dijadikan acuan untuk menilai bagaimana mereka berinteraksi dengan anak-anak.

"Tidak berarti (perempuan) menutup diri dari kemungkinan menjadi orang tua bersama atau orang tua tiri atau menjadi bibi atau membantu rekan atau saudara mereka mengurus anak. Mereka membuat keputusan secara sadar. Bukan didasarkan pada ketidaksuburan atau kesempatan atau keadaan di luar kendalinya," tutur Zoe.

Logiskah konsep overpopulasi dalam keputusan childfree?

Ilustrasi foto (Kelly Sukema/Unsplash)

Sejak bertahun-tahun overpopulasi jadi perhatian banyak pihak. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat populasi dunia berada di angka 7,7 miliar orang. Pada 2030 PBB memprediksi pertumbuhan populasi mencapai 8,5 miliar penduduk. Tahun 2050, prediksi PBB menunjukkan akan ada 9,7 miliar populasi. Angka itu akan terus meningkat, hingga pada tahun 2100, PBB memprediksi 11,2 miliar populasi hidup di Bumi.

Bumi ini tentu saja tak bertambah luas untuk dihidupi. Persoalan lain adalah mengenai sumber daya. Banyak pihak khawatir sumber makanan, air, dan energi tak akan mampu mengimbangi pertumbuhan populasi dunia. Tapi bagaimanapun angka-angka di atas tidak benar-benar eksplisit menunjukkan manusia sudah pasti malapetaka, sebagaimana pikiran Thanos. Meski belum tentu juga manusia jadi berkah bagi bumi ini. Setidaknya ada yang bisa dilakukan.

Seperti dikatakan Gandhi: Dunia ini menyediakan kecukupan untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk keserakahan semua orang. 

Pada 2016, David Satterthwaite dari International Institute for Environment and Development in London merilis hasil penelitiannya. Ia mengutip kata-kata Gandhi di atas dalam pemaparan studinya. Menurutnya jumlah manusia modern di Bumi relatif kecil. Dan yang terpenting, "Bukan jumlah orang di planet ini yang jadi masalah tapi jumlah konsumen dan skala serta sifat konsumsi mereka," tutur Satterthwaite, dikutip BBC.

Artinya, pertumbuhan populasi tak berarti kiamat selama manusia mampu mengubah pola konsumsinya. Dan ini membutuhkan peran semua manusia karena analisis menunjukkan konsumen rumah tangga bertanggung jawab untuk lebih dari 60 persen emisi gas rumah kaca di dunia. Sementara, sektor yang sama juga bertanggung jawab untuk 80 persen penggunaan lahan, material, serta air di dunia, tiga kekhawatiran utama dari overpopulasi.

"Kita semua suka menyalahkan orang lain, pemerintah, atau bisnis ... Jika kita mengubah kebiasaan konsumsi kita, ini akan berdampak drastis pada jejak lingkungan kita juga," ungkap Diana Ivanova dari Norwegian University of Science and Technology in Trondheim.

Lebih spesifik, studi ini menunjukkan bahwa negara-negara yang cenderung kaya berkontribusi besar pada masalah lingkungan. Satu orang yang tinggal di kota-kota berpenghasilan tinggi dapat menciptakan "enam hingga 30 ton setara CO2 per tahun." Satterwhaite mengatakan banyak penduduk di perkotaan berpenghasilan rendah yang konsumsinya sangat rendah, bahkan hampir tak berkontribusi apa-apa terhadap emisi gas rumah kaca.

Fakta ini menegaskan bagaimana pola konsumsi memengaruhi nasib bumi, bukan manusianya. Maka, jika merujuk lebih spesifik pada siapa yang menentukan nasib Bumi ke depan, mereka adalah orang-orang kaya yang dimaksud Satterwhaite. Dan ketimbang pertumbuhan populasi, Satterwhaite lebih mengkhawatirkan perubahan pola konsumsi masyarakat miskin yang menyesuaikan pola konsumsi masyarakat kaya di dunia.

Berapa banyak populasi yang bisa ditampung Bumi?

Ilustrasi (Cory Schadt/Unsplash)

Sepuluh ribu tahun lalu jumlah manusia beberapa juta. Hingga 1800-an, jumlah populasi dunia bahkan tak melewati satu miliar. Bahkan hingga 1920-an, populasi dunia tak menyentuh dua miliar. Namun pertumbuhan terus terjadi. Pesat. Pada konteks ini disimpulkan bahwa tak ada preseden nyata yang dapat digunakan untuk mengukur konsekuensi dari pertumbuhan populasi.

Dan terbukti, manusia telah berkali-kali salah memprediksi ini. Angka sebelas miliar adalah kekhawatiran banyak otoritas dunia hari ini. Angka itu bagai batas maksimum daya tampung Bumi terhadap manusia. Corey Bradshaw dari University of Adelaide, Australia menjelaskan semua bergantung pada pertumbuhan peradaban, termasuk teknologi dan gaya hidup, yang salah satunya adalah pola konsumsi. Pernyataan Bradshaw jadi cocok dengan penelitian Satterwhaitte.

Laporan PBB tahun 2012 merangkum 65 prediksi ilmiah tentang berapa populasi maksimum yang bisa dtiampung Bumi. Saat itu angka delapan miliar jadi yang paling banyak disebut dalam prediksi. Angka itu sedikit lebih banyak dari populasi manusia saat ini. Namun, meski Bumi tampak buruk, belum ada tanda-tanda berakhirnya peradaban, sebagaimana prediksi terburuk dari dampak overpopulasi. 

Dan kesalahan prediksi itu bukan yang pertama. Di awal abad ke-20, George Knibbs, dalam buku The Shadow of the World's Future menyarankan angka 7,8 miliar sebagai batas maksimum populasi dunia. Ia menyoroti masalah kesuburan tanah yang dapat berdampak pada ketersediaan pangan di masa depan. Namun, tiga tahun setelahnya, Carl Bosch memenangi Nobel untuk pengembangan pupuk kimia.

Artinya, semua amat tergantung pada perilaku manusia dan perkembangan pengetahuan serta teknologi. Kata overpopulasi jadi sulit menemukan logikanya. Tak ada yang berlebihan bagi peradaban yang menyadari pentingnya merawat Bumi.

*Baca Informasi lain soal LINGKUNGAN atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya