Pelecehan Seksual <i>Online</i>: Kenapa Orang Kirim Gambar Penis dan Apa yang Bisa Dipelajari dari Kasus Revina VT?
Ilustrasi foto (Utsman Media/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Sebuah pesan masuk ke Inbox Twitter selebgram, Revina VT. Isinya pesan menggoda plus foto seorang lelaki memamerkan alat kelaminnya. Revina membalas kekerasan seksual itu dengan meneror pengirim pesan. Kerentanan kekerasan seksual di media sosial adalah fakta. Maka mengedukasi diri jadi penting. Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Revina?

Apa yang dialami Revina masuk dalam ranah kekerasan berbasis gender online (KBGO). Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) merilis panduan mengenal modus KBGO. Merujuk United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), dijelaskan terminologi KBGO, yaitu kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan seks atau gender.

Internet Governance Forum memaparkan bahwa KBGO mencakup spektrum perilaku, termasuk penguntitan, intimidasi, pelecehan seksual, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan eksploitasi. Versi Komnas Perempuan ada delapan jenis kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi, salah satunya penyebaran konten intim tanpa persetujuan. Ini yang dialami Revina.

Selain itu ada juga jenis lain, seperti pelecehan di ruang-ruang maya, peretasan, ancaman penyebaran foto dan video intim hingga sextortion atau pemerasan lewat video intim. Data terbaru Komnas Perempuan yang dirilis 2021 menyebut ada 940 laporan langsung yang masuk sepanjang tahun 2020. Angka itu meningkat tajam dibanding 2019, di mana ada 241 kasus.

Secara global, survei Plan International menunjukkan 58 persen perempuan pernah mengalami pelecehan online. Sebanyak 50 persen juga mengaku lebih banyak menghadapi pelecehan online ketimbang offline. Survei itu melibatkan 14 ribu perempuan berusia 14-25 tahun di 22 negara, termasuk Indonesia, Amerika Serikat (AS), dan Brasil. Di 2020, jumlah kasus meningkat tajam.

Kasubdiv Digital At-Risks SAFEnet Ellen Kusuma KBGO SAFEnet Ellen Kusuma menjelaskan penggunaan teknologi digital, termasuk internet jelas mengamplifikasi kerentanan serta dampak pelecehan seksual. Dan segala peningkatan data di atas terkait erat dengan situasi pandemi. "Intensitas penggunaan platform digital meningkat, terlebih pada masa pandemi," katanya kepada VOI, Senin, 16 Agustus.

Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfa Anshori menyoroti kegagapan publik dalam interaksi dunia maya, khususnya remaja dan anak-anak. "Kehadiran teknologi juga menghadirkan dimensi kekerasan seksual yang lain, tetapi bukan teknologinya yang salah, hanya kita yang masih gagap," kata dia, dikutip dari Tempo, Senin, 16 Agustus.

Kenapa orang mengirim gambar kelamin tanpa persetujuan?

Sebuah studi mengungkap alasan kenapa orang, khususnya pria mengirim gambar kelamin mereka, bahkan tanpa persetujuan. Diterbitkan Journal of Sex Research, studi itu menganalisis hasil survei terhadap 1.087 pria heteroseksual. Survei itu berisi informasi demografis, narsisme, perilaku seksual, seksisme, dan motivasi di balik pengiriman gambar kelamin.

Setengah dari partisipan mengaku pernah mengirim gambar kelamin tanpa diminta. Dilansir PsyPost, para pria itu kebanyakan berusia muda. Mereka juga cenderung lebih narsis dan seksis. Motivasi paling umum mereka adalah harapan mendapat balasan menerima konten seksual. Ada juga harapan gambar kelamin mereka membuat penerima bergairah.

Ilustrasi foto (Utsman Media/Unsplash)

Hanya 18 persen yang menyatakan pengiriman gambar kelamin itu dilakukan untuk kepuasan pribadi. Beberapa partisipan mengaku mengirim foto kelamin mereka untuk memunculkan emosi negatif pada penerima: takut, syok atau jijik. Menurut penulis studi dari Universitas Politeknik Kwantien, Cory L. Pedersen, studi ini membantah persepsi banyak perempuan selama ini.

"Orang kebanyakan percaya alasan utama pria mengirim foto penis tanpa persetujuan adalah karena mereka tidak menyukai wanita atau seksis, malu, atau mengekspresikan permusuhan mereka terhadap wanita," tutur Cory.

"Studi ini mengungkapkan alasan utama pria mengirim foto penis adalah untuk transaksi. 'Aku akan menunjukkan milikku dan kamu tunjukkan milikmu'. Atau bisa juga berburu pasangan. 'Kamu sudah melihat penisku, mari kita berhubungan', ” tutur Cory lebih lanjut.

Apa yang penting disoroti dalam masalah kekerasan seksual online?

Ilustrasi foto (Mika Baumsteir/Unsplash)

Kasubdiv Digital At-Risks SAFEnet Ellen Kusuma memaparkan salah satu masalah besar dari fenomena KBGO adalah tidak adanya contoh kuat di publik bahwa pelaku KBGO bisa mendapat hukuman setimpal. "Yang terlihat adalah korban yang mudah dikriminalisasi atau kekosongan produk hukum yang dapat membawa keadilan dan pelindungan bagi korban KBGO."

Masalah selanjutnya adalah minimnya literasi digital dengan pemahaman perspektif gender. Padahal menurutnya tindakan preventif di kasus serangan digital, termasuk KBGO jauh lebih membantu ketimbang tindakan mitigatif yang terbata. Dalam banyak aduan yang diterima SAFEnet, banyak korban yang tidak memiliki kematangan literasi dalam keamanan digital.

Lebih lanjut Ellen Kusuma menyebut perempuan lebih rentan mengalami KBGO. Hal itu dipengaruhi patriarki. Posisi perempuan cenderung dinomorduakan dalam banyak aspek kehidupan. "Masyarakat kita, termasuk norma dan bahkan perangkat hukum yang diciptakan dan digunakan memuat dengan kental pandangan patriarki yang merugikan perempuan."

"Seperti ketika menjadi korban malah kerap dapat stigma, diskriminasi, penyalahan atau victim blaming. (Perempuan) kerap menjadi objek daripada subjek, terutama jika menyangkut ketubuhannya, termasuk juga seksualitasnya, lebih dilihat kecantikannya daripada prestasi atau karyanya."

Apa yang harus dilakukan jika mengalami atau menemukan KBGO?

Ketika menemukan kekerasan seksual di media sosial, hal pertama yang harus kita lakukan adalah melaporkan ke pihak platform digital di mana konten itu diunggah. Jangan berinteraksi dengan unggahan itu apalagi menyebarkannya lebih lanjut karena dengan begitu kita tak lebih dari pelaku kedua yang menambah beban jejak digital korban.

"Jadi kalau menemukan konten memuat KBGO, langsung lapor. Atau bila bingung melapor dengan kategori apa di platform digital tersebut, bisa kirim aduan kepada kami melalui https://awaskbgo.id/layanan," kata Kasubdiv Digital At-Risks SAFEnet Ellen Kusuma.

Jika menjadi korban ada empat hal yang dapat dilakukan. Merujuk panduan SAFEnet, hal pertama adalah dokumentasikan hal-hal yang terjadi pada diri kamu. Bila memungkinkan, dokumentasikan secara detail, yakni dengan kronologis yang dapat membantumu memproses laporan dan pengusutan oleh pihak berwenang: platform tempat terjadinya KBGO ataupun kepolisian.

Kedua, pantau situasi yang kamu hadapi. Analisis betul apa mungkin kamu menghadapi pelaku sendiri, meski hal itu tidak dianjurkan. Analisismu terhadap situasi jadi penting untuk memutuskan apa yang paling baik dan aman untuk diri sendiri. Ketiga, hubungi bantuan. Carilah individu, lembaga atau institusi yang dekat dan terpercaya yang dapat memberi bantuan.

Kamu bisa menghubuni Komnas Perempuan yang menyediakan saluran pengaduan di telepon 021-3903963 dan 021-80305399. Pengaduan juga dapat dilakukan melalui surel ke komnasperempuan.go.id. Langkah terakhir adalah melaporkan dan memblokir pelaku. Ellen menyoroti reaksi Revina dalam kasusnya. Ellen menyayangkan apa yang dilakukan Revina.

"Di satu sisi saya menyayangkan tindakan yang diambil Revina karena bagaimana pun penyebaran konten intim secara non-konsensual adalah bentuk kekerasan. Revina pun telah menjadi korban kekerasan yang sama atas pelaku (Yoga). Namun kemudian Revina juga merespons dengan serupa."

"Cara ini juga yang sering dilakukan pelaku-pelaku lain yang mengintimidasi korban, yang tidak bisa bersuara seperti Revina. Jadi, dalam hal ini, respons Revina sendiri tidak kami benarkan. Yang terjadi adalah kekerasan dibalas dengan kekerasan, Maka lingkaran kekerasannya tidak selesai.

Meski begitu Ellen juga memahami keputusasaan Revina hingga ia memilih tindakan meneror pelaku pelecehan. "Indonesia memang belum memiliki produk hukum yang dapat melindungi perempuan dari pelecehan seksual online ataupun kekerasan berbasis gender online." Yang kerap terlihat justru situasi di mana korban selalu berada dalam posisi tidak berdaya.

"(Korban) dapat menghadapi kriminalisasi, misalnya dengan UU ITE/UU Pornografi atas KBGO, berupa penyebaran konten intim non-konsensual yang ia hadapi alih-alih mendapat perlindungan."

Pemerintah dituntut membangun sistem hukum yang adil dan melindungi korban agar tidak ada lagi korban yang terpaksa melakukan retaliasi atas tindakan pelaku dengan kekerasan. Ellen juga mendorong pemerintah membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan merevisi UU ITE dan UU Pornografi yang membebani korban kekerasan seksual.

*Baca Informasi lain soal PELECEHAN SEKSUAL atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya