Berbagi Pengalaman VOI dan Mojok tentang Pencomotan Artikel di Ruang Digital
Ilustrasi foto (Sumber: Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Suatu malam di pekan-pekan silam, sebuah chat masuk ke grup WhatsApp redaksi VOI. Seorang rekan redaksi mengirim deretan link artikel dari berbagai situs web yang isinya hasil comot artikel-artikel VOI tanpa izin. Hari ini kawan-kawan di Mojok bereaksi atas pengalaman serupa. Kita dalami pergulatan ini, yang sangat personal tapi penting dipahami.

"Itu yang terdata," tulis awak redaksi VOI yang kebetulan menulis semua artikel yang dicomot itu. Jumlahnya tujuh artikel. Dicomot situs web berbeda. Ada yang mengubah hanya pada bagian kata sambung. Ada yang cuma memodifikasi paragraf awal. Lainnya didominasi teknik copy-paste (copas).

Dan laporan malam itu bukan temuan pertama artikel VOI yang dicopas. Pun dengan Mojok, yang hari ini bereaksi atas pencomotan artikel mereka oleh sebuah situs. Redaktur Pelaksana Prima Sulistya menjelaskan sejauh kontribusinya di Mojok, setidaknya ia telah menemukan lima kali pencomotan konten Mojok tanpa izin.

"Variatif. Ada yang comot artikel. Ada yang ilustrasi. Juga pernah alih wahana, tulisan di Mojok dibacakan ulang untuk jadi konten YouTube," kata Prima, dihubungi VOI, Jumat 12 Agustus.

Prima telah menghubungi pengelola situs web terkait. Seperti biasa, kata Prima, Mojok selalu mengedepankan prasangka baik. "Mungkin yang ngelola orang banyak dan penanggung jawab enggak tahu bahwa konten mereka ada yang dicuri dari Mojok." Tapi kata Prima respons yang ia dapat tak sesuai harapan. "Saya kontak. Sejak jawaban pertama malah sana ngegas."

"Dia bersikukuh enggak mau dibilang mencuri. Katanya lebih tepat disebut 'mengambil tanpa izin.' Alasan dia link artikel asli dikirim staf Pak Rizal Ramli ke dia, terus dia muat aja gitu. Saya kan heran, kok orang media bisa santai muat konten media lain. Dia sebut alasan, tapi alasannya ganti-ganti."

Mojok menuntut dua hal kepada pengelola situs tersebut. "Cabut artikel dan minta maaf ke Mojok di medsos Indonews. Yang kedua tidak diladeni." Prima mengatakan reaksi ini diambil Mojok untuk membela hak cipta penulis.

"Kami dihidupi kontributor (penulis di luar redaksi mojok). Teman-teman penulis inependen ini enggak semua punya platform dan sumber daya memperkarakan penyelewengan hak mereka."

"Mencuri. Plagiat. Salah. Titik. Lha, dia tulisan yang terpublikasi itu datangnya dari ruang kosong apa gimana? Enggak usah ngitung duit. Lihat saja waktu yang dihabiskan penulis buat menulis, editor untuk menyunting, dan ilustrator membuat ilustrasi. Barang itu jelas punya siapa, hukumnya juga jelas: kalau mau pakai, pinjam, ambil, atau apa pun, harus atas izin."

Bukan kerja mudah

Ilustrasi foto (Sumber: Pixabay)

Dalam praktiknya, menulis bukan pekerjaan mudah. Seperti dikatakan Prima di atas. Tak perlu bicara kerugian uang atau hal-hal materiel lain. Coba hitung proses literasi dan kreatif dari penciptaan sebuah karya tulis.Artikel berjudul Mengenang Tayangan TV Berkualitas 90-an: Dari Keluarga Cemara hingga Si Doel Anak Sekolahan, yang dicomot situs bernama Media 24 Jam, misalnya.

Penulis mengumpulkan tiga buku --Berani Nolak TV (2005), Robinhood Betawi (2001), Ketoprak Jakarta (2001)-- dan mewawancarai budayawan Betawi, Masykur Isnan untuk membuat satu artikel tersebut. Lalu Media 24 Jam tinggal menyalin denan mengganti judul menjadi Mengenang Tayangan TV Berkualitas 90-an, dari Keluarga Cemara Hingga Si Doel. Selebihnya, copas, bahkan tanpa mencantumkan sumber. 

Artikel VOI lain yang dicomot tanpa izin adalah Tradisi Palang Pintu, Bukti Sakralnya Pernikahan Orang Betawi. Artikel yang dibuat dengan menghimpun data dari dua buku --Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006) dan Betawi Tempo Doeloe (2015)-- itu kemudian disalin oleh situs bernama Reporter Satu, dengan hanya ganti judul menjadi Mengenal Tradisi Buka Palang Pintu dalam Prosesi Pernikahan Orang Betawi

"Boleh jadi artikel-artikel itu hanya dibaca 3-5 menit. Tapi waktu untuk membuat satu artikel bisa berjam-jam. Belum lagi soal menghimpun data riset. Bagi media seperti VOI, yang mendisiplinkan sumber data, seperti buku, arsip majalah, dan sumber referensi primer lain, ini tidak mudah," tutur Detha Arya Tifada, kreator dua artikel VOI di atas.

 

"Perlu diketahui saya tidak melarang tulisan saya disebarkan. Namun kita juga tidak bisa naif. Ada keuntungan di balik aksi comot-comot yang dimanfaatkan situs web-situs web itu. Tanpa izin pula. Lagipula tindakan plagiat ini adalah problema lama. Kalau dibiarkan terus rasanya tidak tepat juga."

Bicara untung rugi

Praktisi digital yang juga blogger, Fandy menjelaskan kerentanan praktik copas dan plagiarisme dalam dunia digital. Plagiarisme digital ini tidak cuma terjadi di situs web berbasis artikel tapi juga dalam sastra.

 

Fandy mencontohkan kasus penulis, Tere Liye beberapa waktu lalu sebagai kasus paling sederhana. "Ada yang kayak dibikin status tapi enggak tahu sumbernya. Itu kan terjadi di Tere Liye," kata Fandy pada VOI, Jumat, 13 Agustus.

 

Fandy mencoba berdiri di antara dua pandangan. Katanya dunia digital suka tidak suka memberi ruang luas untuk praktik copas. Dan ini dimanfaatkan banyak pengelola untuk mengembangkan situs web mereka.

 

Dari sudut pandang pengelola situs web, copas memang cara mudah dan untung. Keuntungan paling sederhana yang digambarkan Fandy, pengelola situs web bisa memperoleh traffic dengan data yang diperoleh cuma-cuma.

 

Dan Fandy menyebut media massa berbasis artikel macam Mojok dan VOI memang sasaran empuk para pengelola situs web copas. "Yang jelas semacam Mojok sama VOI pasti di-copas. Website yang indie."

 

"Artikelnya unique. Itu tinggal dikemas dengan modelan judul yang umum. Bayangkan yang didapat (pengelola situs web copas). Mereka dapat konten unik dengan judul yang tinggal mereka ganti lebih umum. Enak sudah."

 

Ilustrasi foto (Sumber: Pixabay)

Lebih lanjut Fandy menyebut melawan budaya kebiasaan copas adalah hal sulit di dunia digital. Bahkan sepengamatannya ada sebuah media massa besar berbasis jejaring yang juga kerap melakukan copas.

Hal yang miris, memang. Tapi terjadi. Dan ini masuk akal lagi-lagi dari sisi pengelola situs web. Apalagi bagi situs besar dengan authority baik. Meng-copas jadi jalan pintas mengembangkan situs mereka.

"Nah ada juga media gede yang dia suka copas. Tapi kalau dia copas pun dia enggak akan bermasalah karena authority-nya lebih kuat dari situs-situs yang dia copas. Tapi iya media besar satu itu copas," tutur Fandy meminta media yang ia maksud tak disebut.

"Yang jelas, jangan harap copas itu berhenti. Yang jelas kalau enggak mau dicopas, enggak usah bikin. Masalahnya tinggal mereka ngasih sumber atau enggak. Itu kan diakusisi (kalau tanpa sumber). Itu bisa UU Hak Cipta atau ITE kayaknya. Gue kurang paham juga."

Selain konteks hukum positif, ada juga etika sejatinya. "Ketika kamu copas kamu harus kasih link, sumber. Ada etikanya di situ. Paling enggak cantumin, sumber, meskipun enggak kasih link. Itu yang berlaku di kalangan blogger dan pengembang web ya. Dari sisi jurnalis pasti berbeda."

*Baca Informasi lain soal DIGITALISASI atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya