Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah melakukan uji coba pembukaan mal dan pusat perbelanjaan di beberapa tempat dengan prokes ketat. Yang boleh masuk cuma warga yang sudah vaksin. Di DKI, Gubernur Anies Baswedan sudah menerapkan kebijakan serupa lebih dulu. Tak cuma mal, ia juga mensyaratkan sertifikat sudah vaksin untuk segala jenis aktivitas. Namun sayangnya, mendikotomi orang yang divaksin dan belum divaksin, dianggap tak cukup efektif dalam menjaga kesehatan masyarakat. 

Wakil Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah akan melakukan uji coba pembukaan secara gradual untuk mal, pusat perbelanjaan di daerah PPKM Level 4. "Pemerintah akan melakukan uji coba pembukaan secara gradual untuk mal, pusat perbelanjaan di (daerah) level 4 dengan memperhatikan implementasi protokol kesehatan," ujar Luhut dalam konferensi pers, Senin 9 Agustus malam.

Lebih lanjut Luhut menjelaskan, uji coba pembukaan pusat perbelanjaan dan mal akan dilakukan di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya dengan kapasitas pengunjung 25 persen. Sementara warga yang boleh masuk mal harus sudah divaksin dan tidak boleh berusia di bawah 12 tahun dan orang tua di atas 70 tahun. 

Di Jakarta, Gubernur Anies Baswedan sudah menerapkan aturan wajib sudah vaksin lebih dulu. Bahkan kebijakan tersebut tak hanya berlaku bagi mal saja. Hampir semua kegiatan termasuk jasa cukur rambut, restoran, dan lainnya harus melakukan pemeriksaan vaksin terhadap pengunjungnya. 

Ilustrasi (Sumber: Antara)

Tak didukung sains

Marty Makary, seorang profesor dari John Hopkins University School of Medicine, Amerika Serikat, berargumen mewajibkan vaksin untuk setiap orang, baik tua maupun muda, tak punya dukungan sains yang kuat. Menurutnya landasan munculnya kewajiban vaksinasi karena risiko kematian akibat COVID-19 terjadi secara merata di dalam sebuah populasi adalah asumsi yang keliru. 

Kita yakin vaksin baik untuk mengurangi infeksi dan bahkan melindungi pasien dari kematian akibat COVID-19. Vaksin dapat menurunkan tingkat infeksi penyakit pandemi ke tingkat virus musiman ringan. 

Kalau kebijakan vaksin bagi seluruh petugas tenaga kesehatan itu masih masuk akal. Karena mau bagaimana pun juga mereka adalah orang yang, atau berpotensi, bersinggungan erat dengan pasien COVID-19. Sehingga vaksinasi akan sangat membantu mereka terlindung dari paparan penyakit.

Adapun mereka yang memilih untuk tidak divaksinasi mungkin bisa dibilang telah mengambil jalan hidup berisiko. Tapi kata Makary, itu bukan berarti mereka dapat menimbulkan ancaman kesehatan masyarakat bagi yang sudah kebal dari virus. 

"Gagasan bahwa kita harus memvaksinasi setiap makhluk hidup untuk mengendalikan pandemi berdasar pada asumsi yang salah bahwa risiko kematian akibat COVID-19 didistribusikan merata dalam populasi. Tidak demikian," kata Makary dalam tulisannya di U.S.News.

Makary bilang, sangat sulit bagi virus untuk menginfeksi seseorang yang masih muda dan sehat. "Dan itu masih terjadi sampai sekarang."

Ilustrasi (Foto: Unsplash)

Imunitas alami

Selain itu, alasan lain mengapa kebijakan wajib vaksin untuk semua orang dinilai tak perlu adalah karena kita tak dapat mengesampingkan adanya "imunitas alami", kekebalan yang muncul setelah terkena infeksi COVID-19. Menurut Makary, dalam hampir dua tahun pandemi terjadi, ia mengamati pasien yang telah terinfeksi memiliki kekebalan alami efektif dan kuat. 

"Dengan kekebalan alami, tubuh mengembangkan antibodi ke seluruh permukaan virus. Bukan hanya protein lonjakan yang dibuat dari vaksin," kata Makary. 

Kekuatan kekebalan alami juga baru-baru ini divalidasi dalam sebuah penelitian di Israel. Data yang dipresentasikan kepada Kementerian Kesehatan Israel menyebut pasien sembuh COVID-19 jauh lebih kecil kemungkinannya terinfeksi selama gelombang pandemi dibandingkan orang yang divaksinasi.

Pada Mei lalu, tercatat ada 7.700 kasus baru di Israel. Sekitar lebih dari 3.000 orang yang telah divaksinasi terinfeksi dalam gelombang terbaru. 

Sementara jumlah orang yang terinfeksi kembali dari orang sudah pernah terinfeksi jumlahnya lebih kecil. Sehingga muncul perbandingan, kekebalan imunitas alami lebih kuat 6,72 kali dari imunitas yang terbentuk setelah vaksinasi. 

Atas landasan itu pula Dokter Makary menilai mewajibkan vaksin pada orang yang sudah punya kekebalan alami, "tidak memiliki dukungan ilmiah." Dia menilai argumen soal manfaat vaksin yang bisa meningkatkan umur panjang kekebalan tidak punya data hasil klinis sebagai pendukung. Sedangkan sebuah studi dari Cleveland Clinic mengungkap, bahwa memvaksinasi orang dengan kekebalan alami tidak menambah tingkat perlindungan mereka. 

"Jadi, alih-alih berbicara tentang orang yang divaksinasi dengan yang tidak, kita harus bicara tentang yang kebal dan yang tidak kebal," tulis Makary.

Kata Makary, kekebalan tubuh adalah sesuatu yang dapat diuji orang dengan tes antibodi sederhana.  Menurutnya sertifikat vaksin harus mencatat seseorang sudah mendapat kekebalan alami atau belum. 

"Saya tidak merekomendasikan seseorang dengan sengaja mendapat infeksi COVID-19 untuk mendapat kekebalan alami, tapi dokumen bukti vaksinasi harus mencatatnya," kata Makary. 

Risiko vaksin dua dosis

Selain soal imunitas alami, Makary juga mengkritisi vaksin dua dosis pada anak-anak. Ia mengatakan mungkin standar dua dosis vaksin terlalu tinggi dan memicu respons inflamasi yang kuat. 

"Dosis tunggal vaksin mungkin sangat efektif pada anak-anak usia 12 hingga 15 tahun, seperti yang dilaporkan oleh Universitas Tel Aviv. Untuk saat ini, hingga kami mendapatkan data yang lebih baik, saya merekomendasikan satu dosis untuk anak-anak sehat yang belum pernah mengidap COVID-19 di masa lalu," tulis Makary.

Dia menjelaskan vaksinasi dua dosis tak memiliki uji klinis yang lengkap untuk dilakukan. Sehingga ada kekhawatiran potensi tingkat dampak komplikasi vaksin dosis kedua pada beberapa anak muda tak diketahui secara utuh. 

Profesor Makary juga menyinggung soal kematian Simone Scott (19) dan Jacob Clynick (13). Keduanya meninggal tak lama setelah mendapatkan dosis vaksin kedua dan pengembangan inflamasi jantung. 

"Ada 19 kematian lainnya pada pemuda di bawah usia 25, menurut CDC. Karena uji klinis tidak cukup bertenaga untuk mendeteksi kejadian langka seperti ini, saya ingin tahu lebih banyak tentang kematian tersebut sebelum membuat rekomendasi menyeluruh," kata Makary. Lalu bagaimana di Indonesia? 

Berita soal kematian setelah mendapatkan vaksin beberapa kali mencuat. Setidaknya Kontan mencatat, ada tiga orang yang meninggal pasca disuntik vaksin COVID-19 AstraZeneca. 

Salah satunya Trio, pemuda 22 tahun asal Jakarta. Usai divaksin, dia merasakan efek samping vaksinasi berupa pusing hingga demam. 

Ia menolak dibawa ke rumah sakit saat suhu tubuhnya 39 Celcius. Lalu, esok harinya kondisinya melemah dan meninggal dunia di klinik.  

Namun, Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) Hindra Irawan Safari mengatakan, tiga kasus tersebut bukan akibat dari vaksin AstraZeneca secara langsung. Karena keterbatasan data, Hindra mengatakan ini jadi sulit bila dibilang terkait imunisasi. 

"Kebetulan ada dokter dan melihat, dan diagnosisnya death on arrivial. Jadi sulit untuk menentukan penyebab kematiannya, karena enggak ada data, enggak pernah periksa sama dokter, datang sudah meninggal, kata Hindra dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR yang disiarkan kanal YouTube DPR RI, 20 Mei. 

*Baca informasi lain tentang VAKSIN atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya