Bagikan:

JAKARTA - Membahas terkait Jakarta maupun etnis Betawi, sudah tentu tak ubahnya membahas tentang Indonesia. Sebab, seperti yang pernah diungkap oleh peneliti Lance Castles pada tahun 1967, Jakarta dianggapnya sebagai wajah Indonesia sesungguhnya, yang mana orang-orang dari beragam suku bangsa kemudian melebur menjadi satu identitas baru, yaitu Betawi.

“Di Jakarta, Tuhan sedang membuat orang Indonesia!” begitu ucapnya. Lantas, membahas perihal etnis Betawi kemudian menjadi menarik. Bukan saja terkait prinsip hidup mereka yang taat agama, jago silat, dan berbudaya. Melainkan karena orang Betawi selalu mensakralkan tiga hal utama dalam hidup. Pertama, kelahiran. Kedua, perkawinan. Ketiga, kematian.

Atas dasar itu, seluruh daur hidup orang Betawi erat kaitannya dengan sentuhan budaya yang telah mengakar sedari dulu. Salah satu budaya Betawi yang memiliki sarat makna dan masih dilakonkan sampai hari ini dapat dilihat lewat prosesi pernikahan. Setidaknya, ada kurang lebih belasan prosesi untuk orang Betawi agar benar-benar menyatu dengan sang pujaan hati. Namun, yang paling menarik dan juga banyak dinikmati oleh khalayak, sudah tentu hadir dalam tradisi palang pintu.

Tradisi buka palang pintu

Sebagaimana yang diungkap oleh Alwi Shahab dalam buku Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006), mengungkap tradisi buka palang pintu merupakan bagian penting dalam prosesi perkawinan etnis Betawi, yang mana diawali oleh kedatangan rombongan mempelai pria ke rumah mempelai wanita guna melakukan akad nikah.

Uniknya, sang mempelai pria tak bisa langsung melangsungkan akad karena harus melawati prosesi buka palang pintu terlebih dahulu. Dalam bahasa Betawi, palang diartikan sebagai penghalang supaya orang lain atau sesuatu bisa lewat, dan pintu ialah tempat untuk masuk.

“Kegiatan ini terjadi ketika iring-iringan 'tuan raja mude' (panggilan untuk pengantian pria) pada sore hari hendak masuk ke rumah 'tuan putri' (pengantin perempuan). Ketika hendak memasuki rumah, rombongan dicegat wakil tuan rumah. Menghadapi hadangan ini, rombongan pengantin pria kagak mau kalah tetap bekutet,” ujar Alwi.

Supaya dapat masuk ke rumah untuk menjalankan prosesi akad nikah, kedua bela pihak membawa masing-masing tukang pantun dan jagoan silat alias jawara di kampungnya. Bagaimana tidak, sepanjang tradisi buka palang pintu, kedua belah pihak diharuskan saling balas-membalas pantun. Bahkan, tak jarang dari berbalas pantun, warga yang yang menyaksikan palang pintu ikut larut dalam kejenakaan aksi balas pantun.

Biasanya, sebagai syarat untuk dapat membuka palang pintu, mempelai pria minimal harus pandai mengaji, dan jago silat. Pembuktian itu tak hanya terlihat dari jual-beli serangan saat berduel, pun lewat saling berbalas pantun.

“kalau abang mau melamar harus bisa penuhi syaratnya. Ibarat kata bang: Buah atep buah kenari, burung kutilang di puhun kemboje, kala abang belum mantep kemari, mendingan pulang aje.”

Tak heran, mendengar jawaban tersebut, juru pantun mempelai pria kemudian ikut terbakar amarah dan buru-buru membalas: “beli areng ke Sukabumi, pohon jambu aye kebonan, udeh terlanjur datang kemari, biar kate jadi abu aye lakonin.”

Setelah itu, syarat pertama yakni jago silat mulai dilakonkan. Setali dengan itu, jawara dari masing-masing mempelai unjuk kebolehan sehingga duel tak terhindarkan. Tentu saja yang harus menang ialah jawara dari mempelai pria. Lazimnya lewat dua sampai tiga jurus, pihak mempelai wanita mengatakan: “cukup, cukup.”

Meski begitu, mempelai pria belum diperbolehkan untuk masuk. Kelak, pihak mempelai wanita mempertanyakan sejauh mana ilmu agama dari mempelai pria dengan mengujinya membaca ayat dari kitab suci Al-Qur’an.

Atas dasar telah belajar ngaji sedari kecil sembari dibekali dengan ilmu agama dalam kehidupan sehari-hari, syarat tersebut akhirnya dengan mudah terlewati. Oleh sebab itu, kedua keluarga besar langsung saling bersalaman dan berpelukan dalam rangka mengurangi ketegangan saat berlangsung tradisi buka palang pintu.

Tradisi Palang Pintu (Detha Arya Tifada/VOI)

Pelengkap dan makna tradisi palang pintu

Menariknya palang pintu tak cuma terletak dari ragam aksi balas pantun dan silat saja. terlebih ada hal-hal lain yang membuat palang pintu menjadi menarik. Dikutip dari Abdul Chaer dalam buku Betawi Tempo Doeloe (2015), dirinya mengungkap palang pintu semakin meriah karena dalam rombongan yang turut membawa barang-barang anteran yang terdiri dari kue-kue, perlengkapan pakaian, sepasang roti buaya atau roti buaya yang menggendong anak.

Ada pula hal lainnya yang harus hadir dalam palang pintu. “ada beberapa orag pembawa kembang kelapa, penabuh rebana ketimpring yang akan mengiringi perjalanan rombongan. Di samping itu, di muka rombongan ada sepasang ondel-ondel.”

Lewat tradisi itulah terlihat bagaimana cara orang Betawi dalam memaknai kehidupan. Misalnya hadirnya pembaca sike –pembaca shalawat nabi-- dalam rombongan yang melambangkan menjadi Betawi sudah pasti harus pandai mengaji. Hadirnya, kembang kelapa yang melambangkan hidup itu harus serba guna, mengingat dari akar hingga buah kelapa semua dapat bermanfaat.

Selebihnya, jago silat melambangkan mempelai pria juga ahli dalam bela diri, bukan untuk kepentingan diri sendiri, terlebih untuk membela mereka yang lemah. Lalu, kehadiran ondel-ondel dipercaya sebagai penolak bala. Dalam artian, segala macam bala bahaya, niscaya tak akan menghampiri empunya hajatan nikahan.

Belum lagi, sederet petasan yang dibakar sebagai penanda adanya sebuah hajatan besar, sehingga mereka yang berada di penjuru kampung akan berdatangan menuju acara nikahan. Terakhir, kehadiran roti buaya sepasang melambangkan kesetian dalam berumah tangga.

“Menurut kepercayaan orang Betawi , buaya adalah binatang yang hanya mempunyai satu pasangan dan merupakan binatang paling bersih. Sedangkan roti buaya yang menggendong anak sebagai lambang bahwa buaya adalah binatang yang sayang pada anak dan keluarga,” ucap Abdul Chaer.

Terkait hal itu, kami pun menghubungi Tokoh Muda Betawi, Masykur Isnan untuk mengetahui makna lebih jauh dari tradisi palang pintu. Menurutnya, palang pintu, tak melulu memperlihatkan baku hantam dan kejenakaan orang Betawi dalam bermain pantun. Melainkan, ada pembelajaran penting tentang arti perjuangan, pengorbanan dan kemapanan.

“Maka jelas, bersamaan dengan dimulai tradisi palang pintu, saat itu pula gambaran karakteristik masyarakat betawi sesungguhnya muncul ke permukaan. Oleh sebab itu, penting diketahui oleh banyak orang bahwa ada tiga prinsip yang dipegang oleh etnis Betawi dalam menjalani kehidupan.” Imbuh Masykur.

“Yang pertama menjadi Betawi harus berani menerima perbedaan. Kedua, menjadi Betawi sudah pasti harus berbudaya, yang berarti kami-kami ini sudah akrab dengan budaya dari nenek moyang dan melestarikannya. Ketiga, menjadi Betawi itu dapat menikmati hidup. Dalam artian, setiap masalah yang ada, anggap saja sebagai komedi dalam kehidupan,” tutupnya.