JAKARTA - Bagi orang Betawi, merayakan Idul Fitri di zaman dahulu dan sekarang nampaknya agak berbeda. Pola hidup praktis jadi alasan. Jikalau sekarang orang-orang memiliki fokus memanfaatkan momentum untuk saling berkunjung kepada sanak famili. Nyatanya, dulu jauh lebih semarak. Momen Lebaran tak ubahnya seperti pesta besar yang di dalamnya terdapat pertunjukan ronggeng lenong, tanjidor, keroncong, hingga yang paling paling menarik: ondel-ondel.
Sebagaimana diungkap tokoh muda Betawi, Masykur Isnan, ondel-ondel selalu jadi primadona dari semua pertunjukan yang paling dinanti saat lebaran tiba. Sebab, saat boneka raksasa tersebut mulai masuk kampung, orang-orang, tak peduli tua atau muda, langsung berhamburan keluar rumah demi menyaksikan lenggak-lenggok dari ondel-ondel.
Padahal, tampang sepasang ondel-ondel kalau diperhatikan agak seram namun kemayu. Meski begitu, di situlah letak dari daya tarik ondel-ondel. "Walau seram, alasan ondel-ondel tetap ditunggu kedatangannya tak lain karena adanya ragam perpaduan seni yang berkumpul jadi satu. Ada seni musik, seni rupa, dan seni tari," ucapnya saat dihubungi VOI.
Orang Betawi umumnya terhibur dengan kehadiran ondel-ondel. Bahkan, beberapa di antaranya memberikan persenan uang sebagai bentuk apresiasi. Tak heran, mereka yang menonton sudah yakin betul bahwa kehadiran ondel-ondel juga memiliki nilai yang tak kalah penting, yakni sebagai pengingat orang-orang untuk selalu menjunjung tinggi kebaikan.
Karenanya, ondel-ondel sempat pula dikenal melegenda sebagai boneka tolak bala. Konon, ondel-ondel dahulu juga digunakan untuk menghindari malapetaka oleh warga di kampung-kampung Jakarta. Ondel-ondel diyakini memiliki daya magis, seperti untuk mengobati penyakit atau wabah tertentu.
“Konon, dulu kala di Batavia --nama Jakarta dahulu-- sempat ada suatu wabah yang dikenal dengan istilah variola atau cacar, berkat arak-arakan ondel-ondel, wabah tersebut langsung minggat dari Ibu Kota. Hasilnya, orang-orang jadi percaya bahwa ondel-ondel punya kekuatan,” kata Masykur Inan.
Wajar saja orang-orang percaya. Zaman dulu, pembuatan ondel-ondel dikenal tak bisa sembarang. Dalam proses pembuatan ondel-ondel, biasanya turut disediakan sesajen bubur merah-putih sebagai salah satu pra-syarat. Selain itu, yang wajib ada adalah rujak-rujakan tujuh rupa, bunga tujuh macam, serta asap kemenyan.
Setelah berhasil dibuat, ondel-ondel kemudian diberikan sesajen dan dibasuh dengan asap kemenyan sambil dirapalkan mantra. Hal yang sama pun berlaku bagi para pemainnya. Mereka juga harus melakukan ritual pembakaran kemenyan yang biasanya dikenal dengan istilah “ngukup.”
Ondel-ondel dalam sejarah
Eksistensi ondel-ondel atau yang dulu disebut barongan sudah ada semenjak Jakarta belum jatuh ke tangan Belanda. Sejarawan JJ Rizal angkat bicara terkait hal itu dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Ondel-Ondel dan Korupsi (2011). Menurutnya, keberadaan ondel-ondel sudah mulai tercium lewat catatan seorang pedangang inggris, Edmund Scott yang selama 1603-1605 berada di Banten.
Melalui catatan tersebut, eksistensi ondel-ondel sebagai simbol pengusir keburukan sudah lazim terlihat pada masa itu. “Namun, asal-usul ondel-ondel Jakarta sukar dikatakan hasil adaptasi dari Banten, biar kata kerajaan itu pernah membawakan dan memberikan banyak pengaruh kepada Sunda Kelapa.”
Untuk itu, Rizal lebih memilih untuk mengajak kembali khalayak melihat catatan antropologis ondel-ondel yang tumbuh dari kebudayaan agraris di Betawi. Di situlah khayalak dapat melihat jejak ondel-ondel yang mulai dikenal sebagai bagian dari upacara baritan atau bersih desa pada daerah pinggiran Jakarta, terutama di Cireundeu dan Ciputat.
“Lagi pula, Th. Piageud dalam Javaanse Volkvertoningen (1934) menyebutkan boneka raksasa yang disebut Edmund Scott 'een reuse en een monster' yang tampil pada pesta khitanan Pangeran Abdul Mufakhir itu lazim ditemukan di daerah-daerah berkebudayaan agraris sebagai manifestasi kekuatan pelindung kampung, penolak malapetaka.”
Selebihnya, keberadaan ondel-ondel sebagai simbol anti kekuatan jahat mulai kesohor bersamaan dengan kehadiran bangsa tionghoa yang juga punya tradisi mengarak boneka raksasa. Tak heran, surat kabar 1880-an sering kali memberitakan tradisi tersebut dengan kalimat "pengoesir iblis, iaitoe satoe bonnekka tjina amat besar, jang diseboet Kai-losin."
Susan Blackburn, dalam buku Jakarta Sejarah 400 Tahun (2011) mengungkap hal yang sama. Kepopuleran boneka raksasa tersebut mulai mencuat kala kolera mulai mewabah di Batavia.
Saat itu, orang-orang Indonesia yang bersikap individualis bersiasat dengan mengandalkan khasiat air suci yang berasal dari lokasi keramat dan dilengkapi oleh rapalan doa-doa pemuka agama. uniknya, ada pula ritual massal lain yang diyakini sebagai ondel-ondel.
“Dalam sebuah surat kabar berbahasa Melayu yang terbit pada 1888, terdapat berita tentang para tokoh kampung yang mengadakan arak-arakan melewati kawasan tempat tinggal orang Indonesia sambil memanjatkan doa,” imbuh Susan.
BACA JUGA:
Masa keemasan
Dalam perjalanannya, ondel-ondel sempat dilarang di Jakarta oleh Wali Kota Sudiro pada 1954. Sudiro beranggapan arak-arakan ondel-ondel merupakan tradisi yang tak pantas dilestarikan karena merendahkan kaum pribumi. Untungnya, setelah 30 tahun, datanglah sang juru selamat ondel-ondel yang dikenal sebagai seorang Gubernur Jakarta, Ali Sadikin (1966-1977).
Olehnya, ondel-ondel tak hanya kembali dihadirkan melalui ragam acara seperti upacara daur hidup orang Betawi (khitanan dan perkawinan), hari lebaran, ulang tahun Jakarta, upacara kemerdekaan, penyambutan tamu, dan peresmian kantor. Ali juga mengangkat derajat ondel-ondel yang awalnya dipentaskan dari kampung ke kampung menjadi salah satu ikon Jakarta.
Alhasil, pada pemerintahan Ali Sadikin, kesenian Betawi kembali terangkat dan tak kalah dengan tradisi dari daerah lainnya. Tak hanya Ali saja yang peduli. Seniman legendaeia Betawi, Benyamin Sueb pun ikut-ikutan mempopulerkan boneka penolak bala dengan menyanyikan lagu ciptaan Djoko Subagyo berjudul Ondel-Ondel (1971).
Dikemas dengan musik gambang kromong, lagu tersebut cepat akrab di telinga orang-orang berkat lirik sederhana nan jenaka. Oleh sebab itu, orang-orang yang mendengar dapat langsung demen dan menangkap pesan yang disampaikan oleh sang legenda Betawi lewat lirik:
Nyok kite nonton ondel-ondel, (nyok!)
Nyok kite ngarak ondel-ondel, (nyok!)
Ondel-ondel ade anaknye, (woi!)
anaknye nandak gel-igelan, (oi!)