JAKARTA - Ondel-ondel adalah bagian dari tradisi masyarakat Betawi. Boneka kayu itu bahkan jadi ikon Jakarta. Eksistensi ondel-ondel terkenal sebagai boneka penolak bala sejak dulu kala. Kehadiran ondel-ondel dianggap sakral, hanya dihadirkan jika Jakarta diserang wabah. Hal ini yang membuat citra ondel-ondel menyeramkan.
Ondel-ondel belakangan mengikuti selera zaman. Tak cuma soal wabah. Ondel-ondel juga dihadirkan di hari-hari besar. Boneka yang tadinya menyeramkan berubah jadi jenaka. Perubahan itu jadi kunci ondel-ondel dikenal di seantero negeri.
Sekalipun dikenal luas sebagai perwujudan danyang desa (penolak malapetaka), tak ada yang pasti terkait kapan barongan –nama lain ondel-ondel-- muncul di kehidupan orang Betawi. Sebuah versi menyebut ondel-ondel sebagai penolak bala sudah ada sejak abad ke-17.
Sejarawan JJ Rizal yakin pegadang Inggris, Edmund Scott yang pertama mewartakan keberadaan ondel-ondel. Edmund Scott ada di Banten selama 1603-1605.
“Namun asal-usul ondel-ondel Jakarta sukar dikatakan hasil adaptasi dari Banten, biar kata kerajaan itu pernah membawahkan dan memberi banyak pengaruh kepada Sunda Kalapa. Ditemukan data antropologis yang menunjukkan ondel-ondel tumbuh dari kebudayaan agraris Betawi yang masih berjejak dalam upacara baritan atau bersih desa di beberapa pinggiran Jakarta, terutama di Cireundeu dan Ciputat,” ungkap JJ Rizal dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Ondel-Ondel dan Korupsi (2011).
JJ Rizal menjelaskan boneka raksasa yang ditulis Edmund Scott "een reuse en een monster" sebagai manifestasi kekuatan pelindung kampung. Fakta itu karena ondel-ondel yang dilihat oleh Edmund Scott pada 1605 jadi bagian iring-iringan yang mengantar Pangeran Jayakarta, WIjaya Krama saat merayakan upacaran sunatan Raja Banten, Abdul Mufakhir yang masih berusia sepuluh tahun.
Iring-iringan itu terdiri dari tiga ratus penjaga istana, tiga ratus wanita pembawa banyak hadiah --emas, uang, dan kain sutra-- serta sepasang boneka berbentuk raksasa.
Eksistensi ondel-ondel
Setelahnya, ondel-ondel mulai dikenal luas seiring eksisnya boneka ini masuk kota saat ada hajatan besar. Kala itu, ondel-ondel berpadu dengan kesenian tanjidor aktif dan jadi bagian dari acara besar, seperti tradisi perayaan tahun baru masehi, cap gow meh, dan hari raya lebaran.
Demikian pula saat mewabahnya kolera di Batavia (Jakarta). Kedatangan wabah itu membuat orang Betawi dan orang China di Batavia menanggapi wabah dengan cara tak lazim.
“Ada pula (kaum bumiputra) yang mengadakan ritual massal untuk mengusir penyakit. Dalam sebuah surat kabar berbahasa Melayu yang terbit pada 1888, terdapat berita tentang para tokoh kampung yang mengadakan arak-arakan (ondel-ondel) melewati kawasan tempat orang Indonesia sambil memanjatkan doa. Sementara itu, di kalangan orang China muncul kebiasaan memanggil barongsai untuk berkeliling pecinan jika terdapat ancaman wabah kolera karena mereka percaya bahwa setan penyebar kolera takut pada barongsai,” tulis Susan Blackburn dalam buku Jakarta Sejarah 400 Tahun (2011).
Tiap kehadiran ondel-ondel, khalayak yang menonton begitu semarak. Sekalipun masih takut-takut jika dikejar oleh barongan. Apalagi, dalam setiap kehadiran ondel-ondel sering diselingi oleh kesenian musik yang meleburkan budaya Betawi dan Portugis, tanjidor.
Resep menggabungkan kesenian tanjidor dan arak-arakan boneka juga telah lebih dulu populer di Portugal. Resep yang sama akhirnya nampak di Batavia.
Lebih lengkap terkait tanjidor, kami pernah mengulasnya panjang lebar dalam tulisan “Gaung Tanjidor dari Kediaman Tuan Tanah Portugis”.
“Di Portugal sampai hari ini Tangedores mengikuti pawai-pawai keagamaan pada pesta penghormatan pelindung masyarakat, umpamanya pesta Santo Gregorius, pelindung kota Lisbon, pada tanggal 24 juni. Alat-alat yang dipakai adalah tambur Turki, tambur sedang, seruling, dan aneka macam terompet. Biasanya pawai itu diikuti boneka-boneka besar yang selalu berjalan berpasangan. Satu laki-laki, yang lain perempuan, dibawa oleh dua orang, yang satu duduk di atas bahu orang yang berjalan. Boneka-boneka itu mirip benar dengan ondel-ondel Betawi yang mengiring rombongan tanjidor,” tertulis dalam buku Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (1988).
Makna ondel-ondel bagi masyarakat Betawi
Lebih dalam lagi mengenai ondel-ondel, kami menghubungi budayawan Betawi, Masykur Isnan. Menurutnya, ondel-ondel bagi masyarakat Betawi memiliki nilai sosiologis dan filosofis.
Jauh sebelum ondel-ondel mulai ngamen, Masykur Isnan mengungkap ondel-ondel sengaja dihadirkan sebagai bentuk ikhtiar. Pertama, ikhtiar melawan wabah. Kedua, ikhtiar melawan gagal panen.
Itulah mengapa ondel-ondel hadir berpasang-pasangan. Ondel-ondel wanita digadang-gadang sebagai manifestasi Dewi Sri (Dewi keseburan). Masyarakat Betawi percaya kehadiran ondel-ondel wanita dapat membawa kesuburan sawah-sawah sehingga tak gagal panen.
Sementara, ondel-ondel laki-laki adalah perwujudan hal buruk. Karenanya ondel-ondel lelaki digambarkan dengan wajah merah menakutkan.
“Dulunya, ondel ondel digambarkan sebagai bentuk durjana atau keburukan yang digambarkan dengan rupanya yang seram dan tidak elok, warna merah dan gigi bertaring menjadi dominan, diarak keliling kampung, lalu dihancurkan sebagai simbol segera sirnanya keburukan. Dalam konteks itu, ondel-ondel dikatakan sakral. Seiring waktu, ondel-ondel pun bertansformasi sebagai bentuk keriaan atau kesenangan, wajah ondel-ondel digubah sedemikian rupa menjadi lebih jenaka dan menghibur,” ucap Masykur Isnan dihubungi oleh VOI, Rabu, 24 Mei.
Masykur Isnan juga menambahkan transformasi itu termasuk dalam lingkup positif. Lantaran itu, ondel-ondel dikenal luas sebagai budaya dan kearifan lokal dari masyarakat Betawi asli, utamanya sejak Gubernur Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) memimpin Jakarta.
Di tangan Ali Sadikin, selain memercantik Jakarta, ondel-ondel yang sempat mati suri dihidupkan kembali. Ondel-ondel kemudian menjadi ikon dari Jakarta.
Wujud suka cita Ali Sadikin akan budaya Betawi diperlihatkannya kala Jakarta memeringati ulang tahun ke 450 pada 1977. Di situ Ali menghadirkan arak-arakan yang meriah, salah satunya ondel-ondel.
Tambah semarak lagi. Pada perayaan itu penyanyi kenamaan Ibu Kota, Benyamin Sueb tampil membawa kagu kesayangannya Ngarak Ondel-Ondel.
“Tak kurang dari hampir 70 peserta barisan turut mengambil bagian dalam acara arak-arakan itu. Di antaranya 60 orang membawa bendera Merah Putih, 100 orang lebih membawa umbul-umbul, sekian banyak rombongan drum band, ondel-ondel 60 pasang, penganten Betawi di 10 delman, sepeda motor. Pendeknya kemeriahan yang tidak bisa saya lupakan. Semoga ini jadi kenang-kenangan bagi penduduk Jakarta juga. Hakekatnya ini keramaian untuk masyarakat Jakarta,” ucap Ali Sadikin dikutip Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH JAKARTA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.