Kita Sambut Juara All England Pertama dari Indonesia, Tan Joe Hok
Tan Joe Hok (Sumber: Badminton Talk)

Bagikan:

JAKARTA - Tan Joe Hok adalah legenda bulu tangkis Indonesia. Tan Joe Hok menjuarai banyak pertandingan dunia. Ia membawa tim Indonesia menjuarai Piala Thomas tiga kali (1958, 1961, dan 1964), Asean Games 1962 serta All England 1959. Catatan Tan Joe Hok di All England istimewa karena jadi gelar juara pertama yang diraih Indonesia.

Di balik itu semua, Tan Joe Hok pernah hidup serba kekurangan. Ia tak punya raket juga tak paham teknik. Salah satu cara Tan Joe Hok melatih kecepatan bermain justru dari pertandingan tinju. Berkat usaha yang tak kenal lelah, Tan Joe Hok jadi pemain tak terkalahkan. Ia dijuluki: The Giant Killer (pembunuh raksasa).

Tan Joe Hok lahir di Bandung pada 11 Agustus 1937. Ia adalah anak kedua dari enam bersaudara. Ayahnya, Tan Tay Ping bekerja sebagai pedagang tekstil yang sering meninggalkan rumah demi mencari pundi-pundi pendapatan. Kehidupan Tan Joe Hok sekeluarga serba pas-pasan dan makin susah kala keluarganya mulai hidup berpindah-pindah sebagai imbas perang kemerdekaan.

Bandung, Sumedang, dan Tasikmalaya pernah disinggahinya. Hidup berpindah-pindah membuatnya pandai mengamati lingkungan sekitar, termasuk mengamati permainan orang tuanya bermain bulu tangkis bersama tetangga. Ketertarikan Tan Joe Hok bermain bulu tangkis mulai menjadi-jadi saat ia tinggal kembali di Bandung. Di kediamannya di Jalan Satria 15, Cicendo, Bandung, ayahnya membangun lapangan bulu tangkis sederhana, dengan garis lapangan dibuat dari bambu.

Tan Joe Hok (Sumber: Commons Wikimedia)

“Setiap hari lapangan itu tak pernah sepi. Sejak pagi sampai malam, keluarga dan para tetangga bergantian bermain badminton di sana. Saya, yang waktu itu berusia 13 tahun, cuma jadi anak bawang yang ditugasi membawa kok dan raket. Keseringan menonton membuat minat saya bermain bulu tangkis makin besar. Sayangnya, saya tak punya raket. Sebagai pengganti raket, saya gunakan kelom (sandal dari kayu) milik ibu saya. Dengan kelom dan kok bekas yang bulunya tinggal tiga lembar, saya sering mengajak pembantu kami, Mang Syarif, bermain badminton bersama,” ungkap Tan Joe Hok dikutip Nunuy Nurhayati dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Tan Joe Hok Perintis di Pentas Bulu Tangkis (2009).

Meski bermain dengan alat seadanya, Tan Joe Hok mulai menunjukkan bakat di bulu tangkis. Tan Joe Hok memberanikan diri meminjam raket ayahnya. Menggunakan raket pinjaman itu, banyak orang yang telah mahir bermain bulu tangkis dikalahkan Tan Joe Hok dengan mudah. Dengan raket itu juga Tan Joe Hok banyak menjuarai pertandingan tingkat lokal.

Orang-orang kemudian memuji cara bermainnya yang cepat. Padahal kala itu Tan Joe Hok belum mengerti teknik. Tan Joe Hok mengakui kunci dari gerakan cepatnya ada pada gerakan kaki, yang ia pelajari dari pertandingan tinju di Bandung. Ia sangat terkesan dengan gerakan kaki para petinju. Tan Joe Hok meniru gerakan itu dengan berlatih skiping. Makin hari, intensitasnya bermain bersama keluarga semakin tinggi.

“Di negara-negara kecil di timur jauh, bulu tangkis adalah olahraga nasional, dianggap sangat serius. Tan Joe Hok belajar untuk memukul dengan kok bermain di halaman beratap jerami melawan ayahnya, ibu dan tiga saudara perempuannya. Dengan cepat, Tan Joe Hok menguasai semua tembakan dasar bulu tangkis, dia juga mengembangkan pukulan mengiris bulu tangkis yang sulit untuk dikembalikan,” tulis laporan majalah Life bertajuk Indonesian Wins At Badminton (1959).

Kemenangan demi kemenangan

Tan Joe Hok (Sumber: Badminton Talk)

Jalan Tan Joe Hok jadi pemain bulu tangkis profesional dibuka oleh pemain bulu tangkis kenamaan asal Bandung, Lie Tjoe Kong. Lie jadi kalangan profesional pertama yang mengendus bakat Tan Joe Hok. Setelahnya, Tan Joe Hok diajak bergabung dengan tim bulu tangkis Blue White, yang merupakan cikal-bakal dari Klub Mutiara Bandung. Singkat cerita, nama Joe Hok semakin dikenal setelah menjadi jawara di kejuaran nasional bulu tangkis Surabaya pada 1956.

Kekuksesan itu yang membawanya masuk ke dalam tim Indonesia untuk turnamen Piala Thomas. Turnamen itu berlangsung di Singapura pada 1958. Tim Indonesia kala itu bertabur bintang dengan tambahan Tan Joe Hok. Rekan-rekannya di tim Indonesia ada Ferry Sonneville, Tan King Gwan, Njoo Kim Bie, Lie Poo Djian, Olich Solichin, dan Eddy Yusuf. Berkat kecemerlangan tim Indonesia di Piala Thomas, tim itu dijuluki: The Magnificent Seven.

“Pada 15 Juni 1958, untuk pertama kalinya tim bulu tangkis Indonesia berhasil menggondol Thomas Cup yang menjadi lambang supremasi bulu tangkis internasional. Tim Indonesia berhasil mengalahkan Tim Malaya dengan angka 6-3. Kedatangan Tim yang terdiri dari Ferry Sonneville (captain), Tan Joe Hok, Lie Poo Djian, Tan King Gwan, Njoo Kim Bie, Eddy Jusuf, Tio Tjoe Djen, Tan Thiam Beng, Rameli Rikin (non-playing captain), dan R. Jusuf (team maneger) di Bandara Kemayoran mendapatkan sambutan yang meriah dari penduduk Jakarta,” Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003).

Kemeriahan penyambutan itu terlihat di sepanjang jalan dari Bandara Kemayoran menuju Istana Merdeka. Sesampainya di Istana Merdeka, seluruh tim Indonesia langsung disambut Presiden Soekarno. Di momen itulah Tan Joe Hok dan kawan-kawan dinobatkan sebagai pahlawan bulu tangkis Indonesia. Muaranya, karena saat bermain di Piala Thomas, tim Indonesia justru jadi kuda hitam.

Tim Indonesia dipandang sebelah mata. Kendati demikian, tim Indonesia berhasil menggulung semua lawan-lawannya. Tak hanya itu, legitimasi akan kekuatan bulu tangkis Indonesia kembali ditunjukkan oleh pemain bulu tangkis Indonesia saat mengikuti Kejuaraan bergengsi All England 1959.

Di final kejuaraan itu, berlangsung 'all Indonesian final' antara Tan Joe Hok dan Ferry Sonneville. Tan Joe Hok lalu keluar sebagai pemenang sekaligus menjadi orang Indonesia pertama yang menjuarai All England. Dengan demikian, Indonesia mulai disegani oleh dunia.

“Setelah itu, diawali dengan All Indonesian Final antara Tan Joe Hok dan Ferry di kejuaraan paling bergengsi saat itu –All England—nama Indonesia mencuat di dunia Internasional. Pemain-pemain Indonesia menjadi disegani. Lahirlah sebuah negara baru yang kuat bulu tangkisnya, mendampingi negara-negara Amerika Serikat (yang kemudian malah tenggelam), Inggris, Denmark, Malaya, dan Thailand. Era Bulu tangkis bagi Indonesia pun mulai terkuak,” imbuh Brigita Isworo L dan T.D. Asmadi dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).

*Baca Informasi lain soal BULU TANGKIS atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya