Bagikan:

JAKARTA - Tim bulu tangkis Indonesia dipaksa mundur dari Yonex All England 2021 karena masalah protokol kesehatan COVID-19. Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) protes, menyebut ini sebagai cara menjegal Indonesia meraih gelar juara. Seperti apa capaian Indonesia dalam sejarah All England?

Manajer tim Indonesia, Ricky Soebagdja menjelaskan, ada salah satu penumpang positif COVID-19 di dalam penerbangan yang ditempuh tim Indonesia dari Istanbul, Turki ke Birmingham, Inggris. Menurut klarifikasi Badminton World Federation (BWF), hal ini terjadi karena peraturan pemerintah Inggris.

Otoritas kesehatan Inggris, National Health Service (NHS) meminta tim Indonesia agar melakukan isolasi mandiri selama sepuluh hari karena satu pesawat dengan si pasien COVID-19. Dengan ketentuan itu artinya tim Indonesia --baik atlet, ofisial, pelatih-- tak bisa keluar dari Crowne Plaza Birmingham City Centre hingga 23 Maret.

Hal ini sejatinya aneh. Seorang pemain tunggal putri Turki, Neslihan Yigit diizinkan melanjutkan kesertaannya di All England 2021 meski Yigit sejatinya juga ada di pesawat yang sama dengan tim Indonesia dan si pasien COVID-19.

Ketua Umum PBSI Agung Firman Sampurna melihat apa yang dialami tim Indonesia sebagai ketidakadilan. Agung bahkan menyebut ini sebagai cara menjegal Indonesia dari persaingan turnamen.

Agung bilang para pemain Indonesia yang turun di All England 2021 sebagai tim berbahaya. Tim itu, kata Agung adalah kandidat terkuat untuk merebut gelar juara.

Agung menyebut para pemain Indonesia yang turun berlaga di All England 2021 merupakan tim yang berbahaya. Mereka menjadi kandidat terkuat untuk merebut gelar juara.

Agung Firman melepas pemain ke All England (Sumber: Antara)

“Dengan persiapan kami sekarang, dengan kondisi yang ada di PBSI saat ini, memang salah satu jalan untuk membuat Indonesia tidak bisa menjadi juara adalah dengan tidak bisa bertanding,” cetus Agung dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis, 18 Maret.

“Karena kalau bertanding, kita memang pemain yang sangat berbahaya. Kita adalah kandidat juara satu yang paling kuat dan sudah mengalahkan (pemain-pemain) Inggris,” tambah Agung.

Riwayat juara Indonesia di All England

Agung Firman punya keyakinannya, soal tim terbaik yang berangkat ke All England 2021. Tapi, bagaimanapun tetap sulit memprediksi jalannya sebuah turnamen olahraga. Bagaimana kalau lihat sejarah? Seberapa kuat Indonesia dalam sejarah All England?

Lompat ke tahun lalu. Di All England 2020 Indonesia meraih satu gelar juara lewat ganda campuran, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti. Menjalani partai final di Birmingham Arena, Praveen/Melati menaklukkan perlawanan pasangan Thailand, Dechapol Puavaranukroh/Sapsiree Taerattanachai.

Praveen/Melati menang setelah melakoni rubber game dengan skor 21-15, 17-21, dan 21-8. Bagi Praveen, kemenangan ini mencatatkan dirinya sebagai pemain putra Indonesia pertama yang berhasil menjuarai nomor ganda campuran di All England sebanyak dua kali dengan pasangan berbeda.

Sebelumnya, duet Praveen bersama Debby Susanto juga sukses menyumbang gelar juara pada All England 2006. Capaian Praveen bersama Melati dan Debby adalah gelar ke-48 bagi Indonesia, keberlanjutan dari riwayat juara Indonesia di All England.

Gelar pertama Indonesia di All England dipersembahkan oleh Tan Joe Hok pada tahun 1959. Tahun itu Indonesia mengirim dua wakil di nomor tunggal putra. Selain Tan Joe Hok, ada juga Ferry Sonneville. Keduanya menembus babak akhir dan menciptakan "all Indonesian final".

Tan Joe Hok (Sumber: Commons Wikimedia)

Setelah Tan Joe Hok, Indonesia harus menunggu selama sembilan tahun hingga kembali jadi juara All England. Di 1968, Rudy Hartono menjawab penantian itu. Bukan cuma dari tangan Rudy di tunggal putra, di nomor ganda putri, Minarni Sudaryanto/Retno Koestijah juga menyumbang gelar.

Total, ada tiga gelar All England yang didapat Indonesia dalam kurun waktu itu. Berlanjut ke tahun-tahun berikutnya, penampilan Rudy di All England makin tak ada obat. Ia memborong gelar juara tunggal putra selama tujuh tahun berturut-turut hingga 1974, sebelum dikalahkan Sven Pri dari Denmark dalam All England 1975.

Rudy Hartono di All England 1972 (Sumber: Rolls Pes)

Satu tahun berselang, All England 1976, Rudy kembali jadi juara. Di periode keemasan Rudy, sejumlah pebulu tangkis lain juga mencatatkan gelar juara All England. Ganda putra, Christian Hadinata/Ade Chandra, misalnya yang juara pada 1972-1973.

Ada juga Tjun Tjun/Johan Wahjudi yang menjuarai All England 1974-1975. Era keemasan Rudy berakhir kemudian. Namun, tidak bagi tim Indonesia. Bakat baru muncul. Liew Swie King merebut tiga gelar juara All England: 1978, 1979, dan 1981.

Sejak itu, nomor tunggal putra Indonesia puasa gelar. Cukup lama hingga Ardy Wiranata memberi kejutan dengan merebut gelar juara tunggal putra All England 1991. Tahun 1993 dan 1994, Hariyanto Arbi bergelar. Keberhasilan Arbi jadi penutup kejayaan sektor tunggal putra Indonesia di All England. Tak ada lagi juara hingga hari ini.

Berbeda dengan ganda putra. Sektor ini jadi yang paling subur gelar di masa-masa All England selanjutnya. Setelah Tjun Tjun/Johan Wajudi, nama-nama lain muncul dengan sumbangan gelar All England.

Kevin/Marcus (Sumber: PBSI)

Sebut saja Rudy Heryanto/Hariamanto Kartono (1981 dan 1984), Rudy Gunawan/Eddy Hartono (1992), Rudy Gunawan/Bambang Suprianto (1994), Ricky Subagja/Rexy Mainaky (1995 dan 1996), Tony Gunawan/Halim Haryanto (2001), Candra Wijaya/Sigit Budiarto (2003), Ahsan/Hendra (2014 dan 2019) dan Marcus/Kevin (2017 dan 2018).

Sektor tunggal putri jadi yang paling minim gelar. Susy Susanti jadi satu-satunya pebulu tangkis Indonesia yang pernah juara All England. Susy mencatat setidaknya empat gelar: 1990, 1991, 1993 dan 1994. Ganda putri juga tak begitu baik. Hanya ada dua pasangan yang pernah juara. Setelah Minarni/Retno di 1968, ada pasangan Verawaty/Imelda Gunawan yang menyusul pada 1979.

Liliyana Natsir dan Tontowi Ahmad (Sumber: BadmintonIndonesia.org)

Ganda campuran cuma sedikit lebih baik dari ganda putri. Sektor ini hanya mencatatkan empat pasangan juara All England. Pertama, Christian Hadinata/Imelda Wiguna pada 1971. Setelahnya, ada Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang juara beruntun 2012 sampai 2014.

Melanjutkan seniornya, Praveen/Debby menyumbang gelar juara pada 2016. Yang terbaru, Praveen mendapat juara pada tahun 2020 bersama pasangannya, Melati Daeva Oktavianti. Total, Indonesia telah mengoleksi 48 gelar All England.

Jumlah itu membawa Indonesia menempati posisi empat negara dengan raihan gelar juara terbanyak di All England. Peringkat pertama ada Inggris dengan 189 gelar. Dominasi yang sulit disaingi karena peringkat kedua, Denmark hanya mengoleksi 88 gelar, tiga gelar lebih banyak dibanding China --dengan 85 gelar yang berada setingkat di atas Indonesia.

*Baca Informasi lain soal BULU TANGKIS atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

 

BERNAS Lainnya