Sebilah Golok, Alat Tikam Khas Jagoan Betawi
Kesenian Pencak Silat Betawi (Detha Arya/VOI)

Bagikan:

JAKARTA -

"Kumis setebal akar bahar di lengan, Mata merah belo, persis akik darah di jari tangan. Sepucuk pistol bekas rampasan nica dan sebuah golok terselip di kanan kiri pinggang, Yang dililit sabuk kedot kebal."

Penggalan puisi dari Zeffry Alkatiri berjudul Mat Item

Kira-kira begitulah sosok Mat Item yang digambarkan oleh Zeffry Alkatiri dalam bukunya Dari Batavia sampai Jakarta, 1619-1999 (2001). Sosok Mat Item sebagai seorang yang memiliki ilmu kebal dan jago silat, sudah tentu memiliki ajian berupa senjata tradisional yang selalu berada di kanan maupun kiri pinggang, apalagi kalau bukan golok.

Bahkan, bukan cuma Mat Item. Legenda jago silat Betawi mulai dari Si Pitung, Si Jampang, maupun Entong Gendut, selalu membentengi diri mereka dengan Golok. Gambaran paling nyata dapat dilirik dari film Si Pitung, Banteng Betawi (1971) yang sukses di pasaran.

Sosok pitung yang diperankan oleh Dicky Zulkarnaen, mampu memberikan gambaran ke masyarakat terkait gagah dan tampannya seorang Pitung yang selalu berpenampilan layaknya jago betawi pada umumnya.

Penampilannya mulai dari celana panjang berwarna kuning atau krem, jas tutup berwarna, bersarung ujung serang, peci hitam atau destar, kaki berterompah, dan golok disisipkan pada pinggang yang tertutup oleh jas, menjadi ciri khas utamanya.

Setali dengan si Pitung, gambaran sosok jago lainnya yang selalu tampil dengan golok ialah Si Angkri Jagoan Pasar Ikan. Ditulis oleh Rahmat Ali dalam buku berjudul Cerita Rakyat Betawi Volume 1 (1993). Si Angkri yang digambarkan sebagai seorang jago yang amat ditakuti penduduk di setiap warung makan di Pasar Ikan Karena tak pernah membayar jikalau telah makan, pun memiliki penampilan yang amat sama dengan jago lainnya.

“Mereka selalu berpakaian serba hitam, berikat kepala, dan lengan bergelang akar bahar. Di jari-jari mereka bertengger beberapa cincin batu akik yang besar. Di pinggang mereka selalu terselip Golok,” ucap Rahmat Ali.

Walau begitu, pengaruh Golok sebagai alat tikam tak hanya digambarkan sebagai milik para Jago saja. Margreet Van Till dalam bukunya berjudul Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2006), mengungkap golok pun turut menjadi senjata yang digunakan oleh mereka rakyat biasa yang memberontak atas perlakukan semena-mena para tuan tanah zaman kompeni, semisal di Tambun dan Ciomas.

Tiap pemberontakan yang meledak, selalu membawakan cerita bahwa mereka menggunakan golok sebagai salah satu senjata atau bisa jadi satu-satunya senjata dalam melawan ketidakadilan. “Dalam Pemberontakan di Tambun pada 1869 disebut dengan tegas bahwa pemberontak hanya memiliki golok, tanpa senjata api,” ujar Margreet.

Kondisi yang tak jauh beda juga diperlihatkan pada pemberontakan yang paling dibicarakan di tanah Ciomas pada tahun 1888. Aksi pemberontakan di Ciomas mirip-mirip seperti yang terjadi di Tambun, antara lain karena kebanyakkan pemberontak mengandalkan senjata tradisional Golok sebagai alat perjuangan terlepas dari ketidakadilan.

“Perbedaan kekuatan antara pemberontak dan pengemban kekuasaan kolonial masih lebih memilukan. Saat itu (pemberontakan Ciomas) 75 laki-laki tak berdaya ditembaki dari atas sebuah jurang. Pada pemberontakan seperti itu tak terlihat adanya senjata api di antara penduduk,” tulisnya.

Caption

Golok Betawi

Menurut G. J Nawi penulis buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi (2016). Golok dianggapnya sebagai senjata tajam yang umumnya ditemukan pada masyarakat Melayu dengan penamaan yang berbeda-beda ditiap daerah. Sehingga sebagian besar masyarakat di Pulau Jawa menyebut senjata jenis ‘Bacok’ sebagai Golok.

Seiring waktu, berkat kepopuleran Golok di Batavia (Jakarta) yang sering digunakan oleh para Jago sedari zaman kompeni, pun melahirkan sebuah ungkapan yang terkenal diantara anak-anak hingga orang dewasa berbunyi “bukan laki-laki Betawi namanya kalau tidak memiliki Golok.”

Terkait jenis Golok sendiri. G.J. Nawi menyebut golok Betawi dibagi kedalam dua golongan, yaitu Golok Gablongan dan Golok Sorenan. “Golok gablongan adalah perkakas yang biasa digunakan untuk pekerjaan sehari-hari seperti memotong kayu dan pohon. Ada juga yang menyebutnya bendo atau Golok dapur. Sedangkan Golok sorenan hanya sewaktu-waktu digunakan, untuk keperluan di luar pekerjan harian.”

“Golok sorenan dibedakan menjadi dua. Satunya bernama Golok Sorenan Simpenan untuk memotong hewan (kambing, kerbau, dan sapi) dan satunya lagi, Golok Sorenan Pinggang untuk menjaga diri atau bertarung, yang selalu diselipkan pada pinggang,” ucap G.J. Nawi.

Setali dengan itu Budayawan Betawi yang juga Pimpinan Silat Beksi Kampung Setu Ciganjur, Rohmat S menganggap Golok bukan melulu alat tikam, melainkan dirinya menganggap Golok sebagai sebuah senjata sakral yang tak boleh diperlihatkan apalagi dimainkan secara sembarang di muka umum.

“Golok tidak hanya benda tajam biasa, karena jika diperhatikan, didalam Golok terdapat pula sebuah keindahan serta filosopi yang sungguh tak kalah dengan pusaka lainnya, semisal keris.”

Bagaimana tidak dalam setiap anatomi dari Golok terdapat suatu makna yang mendalam “Gagang Golok melambangkan pegangan hidup, Bilah Tajam diartikan sebagai simbol keberanian, serta sarung yang dimaknai dengan diselimuti oleh agama dan keyakinan,” ucap Budayawan yang akrab di sapa Bang Omat kala dihubungi VOI, 6 April.

Oleh karena itu, wajar jikalau sebagai senjata pusaka, Golok pun diwariskan secara turun temurun dalam masyarakat Betawi. Alasannya, sebagai alat pelindung yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu apabila terlibat masalah dan tak terdapat kata damai. Disitulah, seseorang yang terlahir dengan darah Betawi, cukup memperlihatkan gagang Golok yang dimiringkan, sebagai tanda bahwa dirinya siap bertarung.

Selebihnya, kesakralan Golok juga turut diungkap oleh Tokoh Muda Betawi, Masykur Isnan yang dihubungi VOI beberapa waktu lalu. Dirinya mengungkap sebagai anak muda Betawi sudah musti identik dengan dua hal. “Pertama pandai Mengaji (belajar agama) dan pandai bela diri (silat tradisi betawi).”

“Artinya sedari kecil kami-kami ini sudah terbiasa mengenal Golok, yang mana setiap kami selesai ngaji, kami langsung melanjutkan belajar silat termasuk didalamnya memainkan Golok, yang memang bagi seorang pesilat kudu dapat mempelajari cara penggunaan jurus terutama dengan Golok.” Tutup Masykur Isnan.