JAKARTA - Proses mencari jodoh bisa sangat rumit. Mendalaminya secara ilmiah dapat menambah keruwetan itu. Ada proses panjang yang melibatkan cinta, komunikasi, ikatan, komitmen, atau banyak unsur lain yang diyakini secara berbeda oleh setiap orang. Namun, dalam beberapa budaya, proses pencarian jodoh bisa sesederhana membukakan pintu pertemuan antara dua orang. Mak comblang adalah salah satu budaya itu.
Mencari jodoh adalah pekerjaan paling membutuhkan kesabaran. Psikoanalis dan filsuf sosial, Erich Fromm menganalogikan proses pencarian jodoh seperti anak yang belajar naik sepeda. Manusia akan terus jatuh dan mencoba hingga akhirnya menemukan cara untuk terus melaju tanpa terjatuh.
Erich juga menjelaskan tentang perasaan jatuh cinta sebagai salah satu inti dari proses pencarian jodoh. “Perasaan jatuh cinta biasanya akan timbul dan berkembang ketika tersedianya komoditas-komoditas yang ditawarkan. Sedangkan, bentuk cinta hanya akan terjadi ketika kedua belah pihak telah menemukan objek terbaik mereka pada pasangannya,” ungkap Erich dalam buku The Art of Loving (1956).
Dalam beberapa budaya, proses menemukan jodoh --jika yang dimaksud adalah seseorang yang Anda nikahi-- bisa jauh lebih sederhana. Alih-alih menjalani proses jatuh dan bangun, seseorang dapat menemukan jodohnya melalui orang lain. Dalam konteks ini, yang kami maksud adalah mak comblang.
Dikenal luas dalam budaya Betawi. mak comblang adalah mediator atau perantara dalam hal perjodohan. Lazimnya, mak comblang memiliki keahlian tertentu terkait urusan perjodohan. Alwi Shahab, dalam tulisan berjudul Mak Comblang dan Roti Buaye (2009) menjelaskan, mak comblang umumnya adalah perpanjang tangan orang tua jejaka dalam mencari jodoh bagi sang anak.
“Sesuai dengan namanya, mak comblang bertugas mencari perempuan calon mantu atau none calon mantu, sesuai permintaan orang tua si jejaka.”
Keahlian yang dimaksud adalah terkait komunikasi: pandai bicara dan bergaul. Hal menarik lainnya, orang yang biasanya jadi mak comblang adalah wanita yang telah berumur (paruh baya). Entah bagaimana, klasifikasi itu terbangun dengan sendirinya, seiring reputasi yang mereka lakoni.
Tercatat, sampai 1950-an, tradisi ini masih langgeng karena kebanyakan gadis Betawi saat itu masih dipingit. Sampai-sampai, untuk keluar rumah saja, sang anak perawan mesti ditemani oleh keluarga atau pun asisten rumah tangga (ART).
Tapi, kala ada acara khusus macam pesta perkawinan, si gadis akan disiapkan berdandan seelok mungkin untuk menarik perhatian orang tua calon suami atau bahkan si pemuda sendiri yang mungkin akan langsung minta dikawinkan oleh gadis pujaan. Di situlah mak comblang memainkan perannya.
“Lamaran tidak dilakukan langsung oleh orang tua sang jejaka, melainkan oleh utusan keluarga pihak pria yang juga dikenal baik oleh keluarga wanita. Selain itu, keluarga pria juga meminta seorang wanita yang dipercaya, yang biasanya disebut mak comblang untuk menyelidiki kesungguhan keluarga wanita berbesan dengan mereka,” tulis Emot Rahmat Taendiftia dalam buku Gado-gado Betawi: Masyarakat Betawi dan Ragam Budayanya (1996).
Peran mak comblang
Setelah diutus oleh keluarga pemuda, mak comblang langsung mendatangi rumah keluarga sang gadis idaman. Berawal kecocokan, biasanya orang tua gadis dengan suka cita memperlihatkan anaknya di hadapan mak comblang sembari disambut dengan acara minum teh.
Setelah si anak gadis masuk barulah mak comblang dan orang tua gadis berbincang. Bak diplomat, mak comblang pun menggelar diplomasi. Dari sisi orang tua, biasanya mereka akan bercerita panjang lebar mengenai kelebihan anak gadisnya.
“Mpok ngkali aje ude denger cerite orang. Anak saye itu perawan yang baik. Tapi itu kan kate orang.” Kalimat bersayap makin gencar jika mak comblang memperlihatkan perhatian lebih serius.
Tak sekali dua kali mak comblang melancarkan aksinya. Bisa berhari-hari untuk kedua pihak saling meyakinkan. Bagi mak comblang, biasanya yang dilakukan adalah meyakinkan pihak orang tua gadis bahwa jejaka yang akan menikahinya adalah orang yang pandai mengaji, mapan, atau jago silat, khas anak Betawi.
Sementara mak comblang beraksi, sang jejaka yang sudah mendapatkan ‘lampu hijau’ melangsungkan tradisi ngelancong (datang) ke rumah si gadis. Saat ngelancong, sang jejaka hanya ditemui oleh ayahnya saja. Sementara, si gadis hanya diperbolehkan mengintip dari balik pintu atau celah-celah jendela, mengingat tujuan dari ngelancong hanya memperkenalkan diri kepada keluarga si gadis.
Abdul Chaer, dalam tulisan Betawi Tempo Doeloe (2015), menjelaskan, hasil dari ngelancong niscaya akan dibicarakan oleh si jejaka ke keluarganya. Tradisi ngelancong tak dilakukan berlarut-larut. Biasanya, sejak ngelancong, pihak keluarga si gadis langsung meminta keluarga jejaka untuk cepat-cepat datang melamar. Tujuannya agar silaturahmi berjalan harmonis seiring tersambungnya hubungan kekeluargaan.
“Jika keluarga dan si perjaka menyetujui gadis itu untuk menjadi istri si perjaka, maka masuk tahap lamaran. Sebaliknya, jika rapat keluarga sepakat untuk tidak setuju, maka acara lamaran itu tidak ada.” tutur Abdul Chaer.
BACA JUGA:
Untuk mendapatkan gambaran lebih lanjut terkait peran mak comblang, kami menghubungi tokoh muda Betawi, Masykur Isnan. Dia mengatakan, hadirnya mak comblang memberikan bukti bahwa masyarakat Betawi memiliki andil besar dalam mempopulerkan kata mak comblang. Selain itu ia melihat mak comblang sebagai bentuk penghormatan tinggi masyarakat Betawi terhadap wanita. Penghormatan yang mencerminkan aspek religius.
Jejaka tak bisa sembarang berkomunikasi dengan wanita, mengingat wanita bagi orang Betawi memiliki nilai yang sangat tinggi. Untuk itu, mak comblang yang menjembatani komunikasi terbatas itu dan hanya hadir dalam setiap pernikahan Betawi. Namun, dalam perjalanannya, mak comblang dikenal luas sebagai orang yang menghubungkan laki-laki dan perempuan dalam perjodohan atau percintaan.
“Realitanya, dewasa ini peran mak comblang tetap hadir, tapi dengan bentuk dan cara yang berbeda mengikuti perkembangan zaman. Peran mak comblang kemudian bersalin diri sesuai era kekinian. Misalnya saja biro biro jodoh secara komersil atau memanfaatkan relasi kekeluargaan, kekerabatan, dan pertemanan,” ucapnya kepada VOI, Kamis, 9 Juli.