Bagikan:

JAKARTA - Umumnya, beragam prosesi panjang akan dijalani oleh pengantin dalam pernikahan orang Betawi. Namun, satu simbol yang memiliki makna kuat, yakni roti buaya. Makanan khas orang Betawi ini menyiratkan simbol kesetiaan. Sebuah teladan dari hewan paling setia.

Kehadiran roti buaya yang biasanya memiliki panjang 50 sentimeter selalu menempati posisi penting, alias wajib dalam acara seserahan orang Betawi. Alasannya, karena kehadiran roti buaya mempunyai makna penting sebagai lambang kesetiaan dalam kehidupan etnis Betawi.

Menurut sejarah, tradisi memberi roti buaya sebagai seserahan telah dilakukan sedari dulu. Uniknya, tradisi ini hadir untuk menyaingi orang-orang Eropa di Batavia (Jakarta) yang kala itu menunjukkan cinta dengan cara memberi bunga pada lawan jenis sebagai simbol kasih sayang.

Orang Betawi tak mau kalah, mereka kemudian menjadikan sebuah roti buaya sebagai simbol kesetiaan. Tradisi itu pun tetap lestari hingga hari ini.

Untuk lebih jelasnya, kami menghubungi Tokoh Muda Betawi Masykur Isnan. Baginya, roti buaya pun memililk nilai sosiologis dan filosofis bagi orang Betawi. Apalagi, etnis Betawi telah sedari dulu hidup dekat dengan sungai dan rawa. Oleh sebab itu, etnis Betawi erat dengan habitat buaya berada.

“Bagi orang Betawi, kesetiaan buaya cuma salah satu wujud yang diteladani. Sebab, dalam roti buaya turut melambangkan hal lainnya juga seperti kejantanan, penuh kekuatan, serta kesabaran saat berburu mangsa. Jadi, dalam roti buaya yang menjadi seserahan, semua sifat buaya yang baik-baik itu dapat terwakili dalam roti buaya ,” ungkapnya saat dihubungi VOI, 22 Juni.

Dalam hubungannya roti buaya untuk seserahan, Abdul Chaer dalam buku Betawi Tempo Doeloe (2015), menjelaskan panjang lebar. menurutnya, seserahan roti buaya dibawa bersamaan sejak awal prosesi, mulai dari prosesi palang pintu sampai akad nikah. Kehadirannya masuk dalam arak-arakan pengiring mempelai pria menuju rumah mempelai wanita.

Selain kehadiran ketua rombongan yang merangkap juru pantun, seorang pembaca sike, dan seorang jago silat, tak ketinggalan, para sanak famili juga ikut dalam rombongan yang membawa barang-barang anteran, mulai dari kue-kue, perlengkapan pakaian, sepasang roti buaya atau sebuah roti buaya yang menggendong anaknya.

“Roti buaya yang sepasang sebagai lambang kesetiaan dalam berumah tangga. Menurut kepercayaan orang Betawi, buaya adalah binatang yang hanya mempunyai satu pasangan dan merupakan binatang yang bersih. Sedangkan roti buaya yang menggendong anak sebagai lambang bahwa buaya adalah binatang yang sayang pada anak dan keluarga,” tulis Abdul Chaer.

Tak hanya Abdul Chaer. Ratih Kumala, dalam buku Kronik Betawi (2008), menyebut pesta penikahan orang Betawi umumnya tak berdana besar. Bahkan beberapa cenderung pas-pasan. Namun, adanya ragam prosesi budaya Betawi, termasuk kehadiran roti budaya, pesta pernikahan jadi begitu meriah.

“Roti buaya, sebagai lambang kesetiaan pun sengaja dibuat besar-besar. Konon, buaya adalah binatang setia. Tak seperti merpati. Buaya hanya hidup dengan satu pasangan seumur hidupnya. Sedang merpati, jika pasangannya pergi, bisa mencari pasangan lain,” tulis ratih.

Meski begitu, tak semua orang memandang buaya sebagai lambang dari kesetian. Masih banyak yang menganggap istilah buaya memiliki makna yang menyimpang. Dikutip dari Samsudin Adlawi dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Binatang yang Memperkaya Bahasa (2012). Ia mengungkap, setidaknya ada dua istilah yang mengunakan kata ‘buaya,’ yakni istilah buaya darat dan roti buaya.

Meski sama-sama menggunakan ‘buaya’, dua istilah itu memiliki makna yang kontras. “Masyarakat Betawi tidak asing dengan roti buaya. Sebab, dalam acara perkawinan Betawi, seorang mempelai pria diwajibkan menyediakan roti buaya. Selain sebagai simbolisasi kesetiaan mempelai pria terhadap mempelai wanita, roti buaya merupakan simbolisasi janji sehidup-semati. Ini sesuai dengan sifat buaya jantan, yang memang dikenal setia kepada pasangan seumur hidupnya.”

Tak heran, buaya darat kebalikannya. Istilah buaya darat dipakai untuk menggambarkan lelaki yang menduakan, menigakan, bahkan mengempatkan pasangannya. “Ini sangat kontras dengan kenyataan dalam dunia perbuayaan.”

Bukti setia buaya

Perihal bukti buaya setia telah banyak diulas ragam literasi. Isinya kurang lebih sama, yakni mengungkap seekor buaya jantan hanya memiliki satu pasangan. Sepanjang hidup, ia hanya kawin dengan satu betina. Bahkan, konon, jika betinanya mati, buaya jantan tetap akan menjaga janji kesetiaannya. la tidak akan mengawini betina lain hingga ajal menjemput.

Salah satu buktinya, bisa dilhat dalam jurnal yang dikeluarkan kelompok peneliti dari Rockefeller Wildlife Refuge (RWR) di Louisiana, Amerika Serikat pada 2008. Dalam penelitiannya selama sepuluh tahun, mereka fokus meneliti kesetiaan buaya. Hasilnya mereka dibuat takjub karena buaya jantan tak akan berpaling ke betina lainnya, dan begitu sebaliknya.

Sampai-sampai, buaya jantan akan selalu melindungi si betina yang hendak bertelur, dan si jantan akan menjaga telur-telur tersebut hingga tiba waktunya bayi-bayi menetas. Atas dasar itu, buaya dianggap setia kepada pasangan. Kalau pun si Betina mati terlebih dahulu, maka si jantan tak akan kawin lagi atau mencari pasangan baru. 

“Kami menemukan bahwa 70 persen dari buaya betina kita yang disatukan kembali akan menunjukkan kesetiaan kepada pasangannya. Kami takjub karena pasangan buaya yang dikawinkan bersama pada tahun 1997 masih akan berkembang biak bersama pada tahun 2005 dan masih bersama beberapa tahun setelahnya,” ungkap peneliti RWR dalam jurnal Loyal Alligators Display Mating Habits Of Birds (2008).