JAKARTA - Peran wanita dalam kehidupan di dunia begitu besar. Ia dapat melakukan apa pun. Antropolog, Marvin Harris pernah mengungkap, wanita, secara jasmani dan rohani mampu mengerjakan segala tugas dasar produksi dan keberlangsungan hidup secara mandiri, bahkan tanpa bantuan laki-laki.
“Wanita dapat melakukan setiap pekerjaan yang bisa dilakukan oleh laki-laki, meski kurang efisien bila yang dibutuhkan tenaga kasar. Perempuan mampu berburu dengan anak panah dan busur, mencari ikan, memasang jebakan, dan menebang pohon jika diajari atau diperbolehkan belajar,” ungkap Harris dalam buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (2019).
Salah satu cerminan perspektif itu dipegang teguh oleh orang Bugis. Saking berharganya wanita, dalam upacara daur hidup pernikahan, seseorang laki-laki harus memberikan mahar yang dikenal dengan istilah "uang panai'" atau panaik, sebagai syarat mutlak melangsungkan pernikahan.
Uang panai' yang dikeluarkan terhitung tak sedikit. Dikutip dari tulisan Renisah Nur dalam Mutu Manikam (2018), jumlah uang panai' yang diberikan kepada keluarga mempelai wanita tergantung pada kedudukan dan pendidikan calon istri. “Semakin tinggi pendidikan atau keturunan calon istri (misalnya berasal dari keluarga bangsawan atau terpandang), semakin tinggi pula uang panai' yang diberikan. Jumlah uang panai' juga ditentukan oleh keluarga mempelai wanita.”
Tak heran, lewat uang panai', kesungguhan calon mempelai pria mendapatkan wanita pujaan hatinya dapat terlihat. Pun sebagai bukti bahwa orang Bugis sangat menghargai keberadaan perempuan sebagai makhluk Tuhan yang sangat berharga.
Nilai luhur dalam uang panai'
Kami menghubungi Budayawan Sulawesi Selatan, Feby Triadi untuk mendapat gambaran terkait tradisi tersebut. Feby menjelaskan, uang panai' yang dalam bahasa Bugis sering dilafalkan menjadi Doi menre' telah berlangsung sejak lama di kalangan masyarakat Bugis.
Tradisi ini lestari tak lain karena memiliki nilai-nilai luhur. Soal rasa saling menjaga dan kerja keras, terutama. “Lazimnya, uang panai’ yang merupakan pemberian pihak laki-laki untuk tanggungan pesta dan bekal kehidupan untuk perempuan.”
Meski begitu, di era kekinian, kata Feby, nilai itu sedikit mengalami perubahan, menyesuaikan tuntutan zaman. Zaman yang berubah, maka peningkatan jumlah uang panai’ ikut-ikutan mengalami perubahan. Perubahan itu jadi bukti jikalau kreasi luhur manusia ternyata mampu menjawab perubahan dan perkembangan zaman.
Proses meminang gadis Bugis
Dalam rentetan prosesi lamaran orang Bugis, Feby menjelaskan posisi uang panai' berada di tahap kedua. Di atas uang panai' ada tahapan Mappese-pese, yaitu momentum seorang pemuda menaksir perempuan.
Dalam tahap itu, seorang pria akan memberanikan dirinya melamar pujaan hatinya. “Jika keluarga perempuan setuju, barulah si laki-laki menunjuk perwakilan keluarganya untuk bertamu membicarakan tahap selanjutnya.”
“Kedua, madduta atau massuro, sebuah pertemuan yang biasanya dilaksanakan oleh perwakilan keluarga laki-laki ke keluarga perempuan. Di dalamnya ada saling lempar pantun orang antara perwakilan pabbicara (negosiator) orang Bugis untuk menentukan nominal uang panai' yang akan diberikan.”
Sebagai tahap ketiga, maka baru dilaksakan Mappenre doi, yakni saat pihak keluarga laki-laki membawa uang panai' yang disepakati bersama. Pada momentum inilah rombongan dari keluarga laki-laki langsung mengunjungi keluarga perempuan.
Tahap keempat yang Mappettu ada, yaitu menentukan hari baik dan jenis pesta resepsi yang akan dilakoni. Terakhir, berlangsungnya pernikahan atau ijab Kabul.
Penuh kritikan
Setali dengan lestarinya uang panai', arus kritikan tentang tradisi ini juga deras. Beberapa orang menganggap uang yang diminta oleh pihak keluarga wanita kerap kali menyulitkan karena di luar batas kemampuan.
Bahkan, kritikan juga hadir melalui sebuah film layar lebar rekaan Halim Gani Safia berjudul Uang Panai’ (2016). Dalam salah satu adegan, menceritakan pihak keluarga laki-laki yang baru pulang bernegosiasi uang panai'. Kala itu pihak keluarga laki-laki merasa keberatan dengan jumlah uang panai' yang diminta.
Sang ayah kemudian berkata, “Begitulah zaman sekarang. Kita sendiri yang membuat susah diri kita sendiri. Dulu, yang namanya uang panai’ adalah bentuk penghargaan kepada calon mempelai wanita. Nah, sekarang angkanya pun harus disebut."
Sang ibu juga tak tinggal diam. “Itulah, pak. Tiap tahun uang panaik naik terus. Nikah semakin mahal. Saya rasa ini menjadi ajang gengsi.”
Sembari menyeruput kopi, ayahnya kembali menambahkan. “Sebenarnya, dalam agama Islam, yang wajib itu adalah mahar. Dan mahar itu bukan uang panai’”
Kritik lainnya diungkap Susan Bolyard Millar dalam buku Perkawinan Bugis (2009). Ia memandang tradisi uang panai’ sebagai penanda status yang boros dan bersifat pamer.
BACA JUGA:
“Dalam setahun, sepasang suami istri yang sedang mencapai masa jaya akan siap mengawinkan anak laki-laki mereka yang paling menjanjikan, yang cukup layak dipasangkan dengan wanita berstatus lebih tinggi dengan jumlah uang belanja yang lebih tinggi.”
Kendati demikian, Feby menjelaskan sudut pandang lain. Uang panai' dapat dilihat sebagai upaya keluarga wanita melindungi --jika tak ingin disebut mengintervensi-- calon pengantin perempuan dari pilihan yang tak sesuai standarisasi keluarga itu.
Ketika keluarga wanita mulai menargetkan nominal panai’ yang tinggi di luar batas kemampuan, hal itu biasanya adalah bentuk penolakan secara halus. “Karena jika rasa saling suka yang direstui oleh keluarga, berapapun nominal uang panai’ maka tentu itu tidak menjadi masalah yang besar,” tutupnya.