Kakek di Bone Sulsel Nikahi Perempuan 19 Tahun, Uang Panaik Rp10 Juta, Kalau Kamu?
Kakek Bora menikahi perempuan bernama Ira Fazilah, perempuan 19 tahun.

Bagikan:

MAKASSAR - Pernikahan dengan rentang usia sangat jauh kembali memantik perhatian di Sulawesi Selatan. Kakek Bora menikahi perempuan bernama Ira Fazilah, perempuan 19 tahun.

"Iya benar ada pernikahan," kata Kepala Desa Bana, Ishak, kepada wartawan, Rabu, 7 April

Ishak mengungkapkan kakek Bora dan Ira Fazilah melangsungkan pernikahan di Desa Bana hari ini. Keduanya merupakan warga Desa Bana, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone, Sulsel. Gadis tersebut dinikahi dengan uang panaik atau istilah umumnya dikenal mahar Rp10 juta.

"Uang panaiknya 10 juta," sebut Ishak.

Keduanya disebut lebih dulu menjajaki perkenalan hingga akhirnya seiya sekata naik ke pelaminan. Ishak menyebut keduanya mempunyai hubungan keluarga.

"Ada hubungan keluarga," ujar Ishak.

Foto pernikahan kakek Bora dan Ira beredar di media sosial. Perempuan Iza cantik mengenakan busana pengantin warna putih perak. 

Sementara kakek Bora juga mengenakan warna yang sama. Keduanya tampak bahagia. Sementara Iza tak henti mengumbar senyum.

Tentang Uang Panai

Cerita uang panai dari ratusan juta hingga miliaran kerap wara-wiri di media sosial. Perempuan Bugis yang dipinang dengan nilai fantastis pasti jadi sorotan perbincangan.

Di Sulawesi Selatan, fenomena uang panai ini pernah disorot terkait pernikahan model Vieranni asal Jeneponto. Maharnya disebut-sebut mencapai Rp1,7 miliar.

Sempat viral juga lamaran seorang perempuan asal Malangke Barat, Luwu Utara, Sulsel. Panainya disebut ratusan juta ditambah rumah dan perhiasan.

"Selamat mappetuada sepupu cantik ku. Semoga dilancarkan sampai hari H. Pemecah rekor di Malangke Barat, uang panai 300 juta, mahar 1 unit rumah ditambah 1 setel berlian," unggahan salah satu kerabatnya di Facebook ini tersebar dengan cepat di media sosial.

Uang panai memiliki arti uang belanja yang diberi oleh calon suami kepada calon istrinya menurut adat masyarakat suku Bugis. Uang pernikahan dari dulu hingga sekarang masih berlaku bagi pria yang ingin melamar wanita pujaan hatinya.

Uang panai ini bisa dianggap beban bagi lelaki bila nominalnya terlampau besar.  Nominal uang panai biasanya tergantung dengan strata wanita yang akan dilamar. Semakin tinggi stratanya, uang panai akan semakin tinggi. Misalnya, kecantikan, keturunan bangsawan, pendidikan, hingga pekerjaannya.

Lantas bagaimana pandangan tentang uang panai dalam perspektif budayawan? Prof. Dr. Nurhayati Rahman yang juga Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas) menyinggung dua pesta paling besar yang dimiliki suku di Sulsel. Keduanya yakni pesta perkawinan di Bugis dan pesta kematian di Toraja.

Pesta perkawinan bagi orang Bugis di Sulsel menjadi prestise yang berkaitan dengan siri yakni harga diri, martabat.  Karena itu, pasangan yang akan menikah harus berupaya ekstra memastikan bisa menyajikan santapan untuk para undangan. Seluruhnya dibebankan kepada pihak laki-laki.

Menengok zaman dulu, laki-laki menurut Nurhayati berusaha mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya agar bisa melamar perempuan yang didambakan.

"Jadi ini yang hilang sekarang etos kerjanya laki-laki sekarang yang hilang, negatifnya yang ditonjolkan," kata Nurhayati kepada VOI.

Ada 4 syarat untuk bisa mengangkat derajat laki-laki dan perempuan yakni keberanian, kekayaan, kekuasaan dan kecerdasan. Untuk urusan melamar, faktor keberaniaan dan kekayaan jadi perhatian.

"Kalau PNS, buruh, atau dokter, laki-lakinya tidak sederajat, suruh uang panai yang banyak. Begitu prinsipnya itu bisa keliling dapurmu 7 kali, maksudnya mampukah kasih makan anak istrimu," ujarnya.

"Yang sekarang ini masalah terjemahan. Orang bilang kalau PNS, dokter, orang kaya orang uanya, pengusaha besar, apa dan sebagainya harus bawa uang panai yang banyak. Padahal nggak begitu, dalam aturan adat kita, kalau misalnya sederajat semampu-mampunya dan untuk biaya belanja saja," sambung Nurhayati. 

Uang panai ini menurut Nurhayati bisa dipersepsikan negatif karena dikomersilkan dan merusak citra adat Bugis. Misalnya, seperti tawar-menawar uang panai bila laki-laki ingin melamar anak perempuan.

Tapi uang panai juga bisa memicu hal positif. Karena laki-laki itu akan bekerja keras agar bisa mencukupi uang panai. 

Besaran uang panai tergantung, tak ada standar bakunya. Nurhayati menyebut ada orang tua perempuan yang menginginkan pesta besar. Di situ terjadi negosiasi uang panai. 

Biasanya uang ini juga dipertunjukkan saat dalam prosesi lamaran. Tapi jumlah disebut Nurhayati dirahasiakan.

“Uang panai ini bagi orang Bugis Makassar memang peristiwa adat adalah peristiwa yang sangat sakral ditunggu dan dipuja, seperti halnya orang Toraja mengumpulkan uang untuk pesta kematian," kata dia.