Sejarah <i>'Dutch Wife'</i>: Indonesia sebagai Satu-satunya Bangsa yang Tidur dengan Guling
Ilustrasi foto (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Tahukah kamu, berdasar literasi, bantal dan guling sebagai pelengkap tidur nyatanya hanya ada di Indonesia. Kehadirannya yang tak ada di negera lain membuat guling jadi barang yang unik. Saking uniknya, tidur bersama guling jadi daya tarik pelancong yang berkunjung ke Indonesia sejak dulu.

Presiden Pertama Indonesia, Soekarno sangat membanggakan keberadaan guling sebagai salah satu identitas bangsa. Sebagaimana yang tulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (1965). Ia menjelaskan pandangan Bung Karno yang mengagungkan orang Indonesia sebagai bangsa yang hidup dalam getaran perasaan.

“Manusia Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kamilah satu‐satunya bangsa di dunia yang mempunyai sejenis bantal yang dipergunakan sekedar untuk dirangkul. Di setiap tempat‐tidur orang Indonesia terdapat sebuah bantal sebagai kalang hulu dan sebuah lagi bantal kecil berbentuk bulat‐ panjang yang dinamai guling. Guling ini bagi kami gunanya hanya untuk dirangkul sepanjang malam.”

Tak hanya Bung Karno. Achmad Sunjayadi, dalam buku Pariwisata di Hindia-Belanda 1891–1942 (2019) juga mengangkat keistimewaan guling. Ia bercerita, penulis Inggris, William Basil Worsfold yang berkunjung ke Jawa pada 1892 menyatakan sangat puas dengan pelayanan hotel-hotel yang ada di Jawa.

“Di depan kamar masing-masing terdapat beranda. Tempat tidur dilengkapi kelambu untuk menghindari nyamuk pada malam hari. Di atas tempat tidur ada bantal dan guling yang disebut 'Dutch Wife.'

Istilah Dutch Wife

Boleh jadi, orang Indonesia mengenal bantal yang bisa dipeluk sewaktu tidur sebagai bantal guling. Namun, pada zaman penjajahan Belanda, bantal guling terkenal dengan istilah dutch wife, yang secara etimologi berarti istri Belanda. Istilah itu disematkan bukan tanpa alasan, karena ada sejarah yang melatar belakangi guling disebut sebagai istri Belanda.

Alkisah, guling merupakan produk yang hadir dari kebiasaan membujang serdadu maupun pejabat Belanda di Hindia-Belanda. Ketiadaan wanita Eropa menjadi penyebabnya. Sebagai siasat agar libido tersalurkan, mereka mencoba beragam cara.

Pertama, bagi mereka yang memiliki banyak uang, mudah saja mendatangkan istri maupun kekasih dari negeri Belanda. Kedua, jikalau uang yang terkumpul masih sedikit, maka mengambil seorang wanita pribumi sebagai gundik menjadi opsi.

Ketiga, bagi mereka yang memiliki uang dan malas mengambil gundik, maka rumah bordil adalah pilihan yang tepat. Keempat, kala mereka tak memiliki uang banyak, sementara libido tak tertahan, teman tidur yang paling murah ialah istri Belanda atau guling.

Dijelaskan Haryoto Kunto & Deddy H. Pakpahan dalam Seabad Grand Hotel Preanger, 1897-1997 (2000), sebagian orang Belanda memanfaatkan guling untuk melepas kerinduan terhadap pasangan di negeri Belanda. Lantas, lewat bantal guling mereka kemudian berfantasi seakan-akan benda tersebut merupakan wanita yang dicintainya.

“Bagi pemuda dan pria Belanda yang tinggal di Nusantara, meninggalkan kekasih atau istrinya jauh di negeri Belanda sana, mereka mengobati rasa rindunya dengan cepat berangkat tidur, mengkhayal, seraya memeluk guling erat-erat,” tulisnya.

Cerita soal istri Belanda pun dihadirkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku Tetralogi Pulau Buru, Jejak Langkah (1985). Dalam satu cerita, Pram menggambarkan percakapan yang jenaka antar sesama mahasiswa kedokteran di sekolah Dokter Jawa, School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).

Cerita bermula dari salah seorang yang bernama Wilam membuka percakapan jenaka terkait kehidupan tuan tanah di Hindia-Belanda. Teman-temannya sesama mahasiswa, termasuk Minke ikutan menyimak. “Tahu kalian apa sebab di dalam asrama tidak boleh ada guling?”

Pertanyaan Wilam membuat seisi asrama terdiam menyimak. Ia melanjutkan ceritanya, “Kalian dengarkan baik-baik aku ceritai. Guling, yang kalian sukai di ranjang itu tak akan ditemukan di negeri-negeri lain di dunia. Setidak-tidaknya begitu cerita mamaku. Tak tahulah sepuluh tahun mendatang.”

Lebih lanjut, Wilam menjelaskan eksistensi guling bermula saat orang-orang Belanda dan Eropa lainya datang ke Hindia tak membawa serta perempuan. Alhasil, mereka terpaksa menggundik.

“Tapi orang Belanda terkenal sangat pelit. Mereka ingin pulang ke negerinya sebagai orang berada. Maka banyak juga yang tak mau menggundik. Sebagai pengganti gundik mereka membikin guling –gundik yang tak dapat kentut itu.”

Untuk itu, Wilam berani menjamin sejarah guling tak akan ada pada sastra Jawa atau sastra Melayu. “Itu memang bikinan Belanda tulen, gundik tak berkentut. Dutch Wife.”

Selebihnya Wilam bercerita bahwa orang yang pertama kali memberikan nama Dutch wife adalah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Thomas Stamford Raffles (1811–1816). Hal itu menjadi bukti bahwa ketika inggris menjadi penguasa Hindia, orang Inggris pun ikut-ikutan menyukai tidur dengan guling.

“Bila datang ke Hindia sini, pertama-tama yang dimintanya adalah justru si Dutch wife, gundik tak berkentut itu. Orang Belanda menganggap orang Inggris pelit-pelit di dunia, paling rakus dan sekakar, (sehingga) orang belanda membalas menamai Dutch Wife, sebagai British Doll,” tulis Pram.