Bagikan:

JAKARTA - Dewasa ini, menjual barang bekas demi meraup keuntungan bukan perkara sukar. Kemajuan teknologi informasi jadi salah satu faktor yang mempermudah segalanya. Namun, ada tradisi yang tak tergantikan. Salah satunya garage sale. Pernah berbelanja dalam garage sale? Tahukah darimana asal-usul skema jual-beli ini?

Memang, di masa ini, gelaran garage sale berkembang luas. Toko daring yang menjual murah barang dalam jumlah banyak pun termasuk garage sale. Namun, sejatinya, garage sale lahir sebagai kegiatan yang membutuhkan interaksi fisik, di mana pembeli dan penjual dapat saling bercengkerama, baik dalam tawar menawar atau pertukaran informasi lainnya.

Diungkap oleh Hendry E. Ramdhan dalam buku Bisnis Kreatif di Rumah (2012), garage sale merupakan bisnis yang dapat hidup sepanjang tahun di kota-kota besar. Untuk itu, garage sale yang awalnya hanya memanfaatkan garasi rumah, kemudian banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dengan mengemas garsel menjadi acara rutin.

“Bisnis menjual barang bekas yang masih layak pakai ini cukup bersinar sejak 2012 sampai satu tahun ke depan karena harga (murah) dari barang-barang. Mulai dari baju, sepatu, celana, tas, dompet, atau kamera. Uniknya, yang membuat garsel eksis tak lain karena orang-orang mencari barang-barang murah di tengah harga barang yang semakin hari semakin meningkat.”

Tak heran, kebanyakan barang yang dijual merupakan barang pribadi yang jarang terpakai. Karenanya, mereka yang ingin mendapatkan barang dengan harga miring, sering datang lebih pagi dari jam yang ditentukan. Hal itu adalah salah satu strategi yang kesohor dengan moto: siapa cepat dia dapat.

Cikal bakal garage sale

Dikutip dari Henk Schulte Nordholt dalam buku Outward Appearences (1997), dijelaskan, cikal bakal garage sale berakar dari kebiasaan orang Belanda yang melakukan lelang sedari abad ke-19. Kala itu, pelelangan perabotan dan peralatan rumah menjadi lumrah dilakukan oleh pejabat Belanda yang masa tugasnya habis di Hindia-Belanda (Indonesia).

Otomatis, barang-barang itu lalu dilelang. Siapa yang mengajukan penawaran tertinggi, merekalah yang didaulat menjadi empunya barang. “Terlepas dari motif-motif penghargaan umum atau sogokan sukarela terhadap barang-barang Belanda, beberapa penawar juga ingin mendapatkan koleksi objek-objek yang memiliki kekuatan selain pusaka yang telah mereka kenal.”

Selebihnya, tradisi lelang memang sudah menjadi tradisi orang Belanda di Nusantara, seperti lelang budak, packher candu, judul dan rumah gadai. Tapi, lelang perabotan rumah selalu menarik perhatian orang-orang di Hindia-Belanda pada saat itu.

Saking mudahnya penyelenggaraan lelang perabot, pejabat Belanda tak perlu repot-repot mengurus perabotan rumah tangga mereka. Sebab, ada makelar yang mengurus barang-barang yang dilelang. Tak hanya itu, mereka yang berhasil menjual banyak perabotan kemudian memiliki dana tambahan untuk menjalani kehidupan di tempat yang baru.

Ilustrasi foto (Sumber: Wikimedia Commons)

Selain itu, sebagai siasat meramaikan acara lelang, pejabat Belanda biasanya menggunakan kereta kuda untuk menginformasikan ke seantero kota terkait acara tersebut. Namun, setelah adanya surat kabar, promosi pun ikutan berubah. Tampaknya, pejabat Belanda pada masa itu lebih suka membawa uang ketimbang membawa barang.

“Perlu pula dicatat pengumuman-pengumuman lelang (lewat surat kabar) menjadi penanda keberangkatan pejabat Belanda untuk pensiun. Selebihnya, pejabat tersebut memberi kesempatan kepada setiap orang untuk mengungkapkan rasa simpatinya kepada mereka yang akan pulang, dengan membeli perabotan rumah tangga rekannya dengan harga yang baik,” dikisahkan Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Batas-Batas Pembaratan (1996).

Puncak kejayaan tradisi lelang di kalangan orang Belanda pun populer pada abad ke-20. Saat itu, arus pergantian pejabat dan pedagang semakin ramai. Zeffry Alkatiri dalam buku Jakarta Punya Cara (2012), menjelaskan lelang akan makin semarak kala orang yang melelang perabot berasal dari kalangan pejabat kaya. Di situlah keriuhan mulai terdengar, yang mana tiap orang kemudian berebut untuk memiliki barang sebagai tanda persahabatan.

Pergeseran

Pada tahun 1970, terjadi pergeseran. Garage sale tiba-tiba dikaitkan dengan kebutuhan mencari barang murah. Istilah lelang perabot rumah yang tadinya populer, lambat laun berubah menjadi garsel. Setali dengan itu, momentum garsel tak pernah dilewatkan oleh orang-orang pada zaman Orde Baru yang kebanyakan hidup dalam kekurangan. Garsel pun jadi tempat mereka mencari barang murah dan terjangkau di tengah keterbatasan.

“Melihat celah demikian, banyak para ekspatriat yang telah habis masa jabatannya, mengumumkan dalm iklan surat kabar akan menjual berbagai barangnya. Tetapi, ada juga yang diam-diam, karena sudah lebih tahu bagaimana cara menghubungi makelar barang tersebut,” tulis Zeffry.

Unkinya, dari fenomena garsel orang-orang dapat mengetahui stereotip bangsa asalnya. Misalnya, orang Amerika yang memiliki kebiasaan boros dan tidak mau repot, membuat mereka tak sabaran dalam menjual barang dengan harga murah. Sampai-sampai, sisa barang yang dianggap tak layak, akan dibuang seluruhnya, tanpa terkecuali.

 “Tetapi, beberapa ekspatriat dari negara Eropa tertentu, mencirikan stereotip kepelitan dan kehematannya. Sehingga barang yang sebetulnya tak layak untuk digunakan lagi, ternyata masih dipajang untuk dijual,” tutup Zeffry.