JAKARTA - Boleh jadi era 1990-an adalah gudangnya sinetron berkualitas. Sebagai hiburan, sinetron tak saja menarik, tapi diisi pula dengan nilai-nilai keteladanan dan edukasi. Deretan sinetron itu muncul dalam judul-judul seperti Keluarga Cemara (1996), Pepesan Kosong (1993), dan Si Doel Anak Sekolahan (1994).
Ketiganya jadi bukti tayangan televisi dapat membawa asas manfaat. Setidaknya narasi itu bertahan sampai hari ini. Kehadiran televisi telah menjelma menjadi media paling digandrungi oleh berbagai lapisan masyarakat.
Laksana gudang hiburan, televisi dapat memberikan ragam suguhan acara. Ada acara musik, kuis, berita, hingga sinetron. Kehadiran sinetron ini kemudian memunculkan dua sisi. Kadang kala sinetron yang ditayangkan memuatkan asas manfaat.
Kadang pula membawa serta efek negatif. Yang mana, efek ini dapat menimbulkan pergeseran nilai yang telah lama dianut masyarakat. Di balik banyaknya sinetron yang tak edukatif, ada pula sinetron yang memiliki muatan positif.
Keluarga Cemara misalnya. Sinetron yang mulai tayang di televisi sejak 1996 sama sekali tidak menampilkan kemewahan, tak mengandalkan aktor rupawan, intrik, dan konflik yang terlalu dibuat-buat.
Ramuan itu jadi alasan tayangan yang ditulis oleh jurnalis senior, Arswendo Atmowiloto begitu disukai masyarakat. Lebih lagi, karena kemampuan penulis menyelipkan muatan pentingnya pendidikan dan kejujuran dalam keluarga.
“Film dan sinetron yang edukatif memang sedikit. Sinetron Indonesia banyak berperang sebagai juru kampanye materialisme dan gaya hidup bebas. Keluarga cemara menjadi salah satu dari sedikit sinetron yang tidak menjual kemewahan, pergaulan bebas, erotisme, dan hantu. Sinetron adalah cerita fiksi (bukan nyata). Tapi apakah harus berlebihan membawa pemirsa ke dunia khayal hingga tidak menginjak bumi?” ujar Kun Sri Budiasih dalam buku Berani Nolak TV (2005).
Mengenalkan budaya Betawi lewat sinetron
Di era 1990-an, tayangan televisi dengan latar belakang budaya Betawi mendobrak layar kaca. Kemunculan Pepesan Kosong dan Si Doel Anak Sekolahan jadi muaranya. Kedua tayangan itu banyak mengangkat budaya Betawi ke permukaan.
Alhasil, bahasa Betawi bergerak sangat ekspansif ke seluruh penjuru Nusantara. Bersamaan dengan itu, kesenian lenong Betawi –lebih lagi senimannya-- ikut terangkat nasibnya. Di tangan sutradara, Ali Shahab, Pepesan Kosong yang mengangkat genre komedi Betawi banyak berperan dalam memunculkan seniman lenong ke layar kaca.
Buahnya, nama Malih Tong Tong (H. Malih) dan Bolot Budek (Muhammad Sulaeman Harsono) kesohor. Sinetron yang menceritakan tentang kegiatan harian di sebuah kelurahan bernama Kampung Bengek kemudian dengan cepat merebut hati penikmat hiburan Tanah Air.
Aksi Bolot Budek yang sering tak nyambung apabila diajak bicara pada lurah atau hansip yang diperankan oleh Malih Tong Tong cukup melegenda hingga melekat ingatan penonton. Kejenakaan itulah yang menjadi alasan kedua seniman lenong Betawi menjadi laku keras, selepas Pepesan Kosong
Mereka bahkan mendapatkan bayaran yang tinggi untuk tiap perannya. “Banyak pihak yang menilai bahwa suatu waktu masyarakat akan menjadi jemu terhadap sinetron lenong di televisi. Terhadap penilaian itu,SM Ardan (tokoh Betawi) menyatakan bahwa hal ini sepenuhnya tergantung pada mereka yang memolesnya,” ujar Alwi Shahab dalam buku Robinhood Betawi (2001).
“Seperti Ali Shahab dan Putu Widjaya, kata SM Ardan, yang menyutradarai beberapa cerita sinetron komedi Betawi itu, Ikut bertanggung jawab agar tetap digemari penonton. Ali sendiri ketika ditanyakan apakah (Neo) Pepesan Kosong yang kini sudah memasuki episode ke-300 masih akan diteruskan, menurutnya, tergantung juga dari rating. Di samping tentunya pihak Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang menyiarkannya,” tambahnya.
Namun, meledaknya kepopuleran budaya Betawi di Nusantara tak lain karena sesosok seniman legendaris, Benyamin Sueb dengan sinetronnya Si Doel Anak Sekolahan pada 1994. Meski Bang Ben (sapaan akrabnya), bukan bertindak sebagai sutradara, kehadirannya dalam sinetron tersebut adalah vital.
Kehadiran Bang Ben dalam serial komedi romantis itu menjadikan Si Doel sebagai sinetron yang disukai oleh 70 persen masyarakat Jakarta. Kepopuleran itu muncul karena dalam beradu peran Benyamin selalu tampak idealis. Bahkan, Bang Ben berani mendobrak hal tabu dengan sesuatu yang baru. Entah itu dalam bentuk ide-ide segar maupun keberanian menyelipkan kritikan demi kritikan.
Oleh sebab itu, nyawa keluarga Betawi yang sederhana begitu terada dalam sinetron Si Doel. Saking hidupnya, banyak dialek Betawi yang populer di penjuru Nusantara. Pun sampai sempat ada ketakutan dari salah satu pakar bahasa Indonesia, jikalau bahasa Indonesia akan tergantikan oleh bahasa Betawi, seiring maha penting Bang Ben dalam peta industri hiburan tanah air.
“Namun daya dobrak paling kuat datang dari penyanyi dan pelawak Benyamin Sueb yang mulai berkiprah tahun 1960-an, Kemudian dari sinetron Si Doel akhir tahun 1990-an. Tanpa sungkan ia mengungkapkan segala ekspresi Betawi dalam dalam lagunya, mulai dari masalah nginjek gituan, sampai dengan kisah lagi mare ditabrak aje. Tidak ada yang tabu di mata Benyamin, semua didobrak. Orang lantas merasa dibebaskan, sehingga pendukung bahasa Betawi semakin luas,” tulis Ridwan Saidi dalam buku Ketoprak Jakarta (2001).
Beda sinetron dulu dan sekarang
Budayawan Betawi, Masykur Isnan melihat kesuksesan sinetron Betawi, utamanya Si Doel sebagai bentuk kerja kolektif. Dalam artian, tiap orang di dalam produksi sinetron berperan besar atas kesuksesan sebuah sinetron dalam menampilkan cerminan masyarakat Betawi.
Di satu sisi, sinetron Si Doel adalah yang paling mampu menampilkan nilai-nilai dan kearifan lokal Betawi. Di antaranya ada cara pandang orang Betawi akan keterbukaan, kesederhanaan, kejujuran, dan kecintaan akan tanah kelahiran.
Sisi lainnya, tergambar dengan jelas bagaimana permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Betawi yang mulai terpinggirkan karena nafsu pembangunan. Permasalahan itu kemudian membawa masalah lainnya seperti laju urbanisme yang masif, minimnya peluang kerja bagi Betawi asli, kemunduran di sektor pendidikan, serta ketidakhadiran negara atas ragam permasalahan tersebut.
“Si Doel adalah bentuk kritik atas kondisi masayarakat Betawi saat itu, dan agaknya masih relevan dengan saat ini. Salah satunya masih teringat jelas diingatan bagaimana maraknya terjadi pengambilalihan lahan orang Betawi atas nama pembangunan yang dilakukan secara tidak adil. Problema itu menjadikan masyarakat betawi seakan terbuang dari rumahnya sendiri,”ungkap Masykur Isnan kepada VOI, Jumat, 4 Juni.
Masykur Isnan menambahkan sinetron pada era 1990-an boleh jadi dikatakan yang paling baik. Tak seperti sinetron-sinetron baru yang muncul tanpa menunjukkan narasinya jelas. Bahkan cenderung tanpa asas manfaat. Ia juga mencotohkan empunya sinetron belakangan justru cuma memikirkan perihal rating.
Karena itu, demi mendapatkan rating yang bagus, hal-hal berbau negatif dan memberikan pengaruh buruk dianggap biasa-biasa saja diramu dalam sebuah produk hiburan. Padahal, Indonesia sudah punya sejarah memiliki sinetron bagus seperti Keluarga Cemara, Pepesan Kosong, dan Si Doel Anak Sekolahan.
“Beda dengan sinetron saat ini yang tidak kaya akan nilai-nilai moralitas, malah cenderung amoral dan tidak bernilai. Kebanyakan hanya bicara soal perselingkuhan dan percintaan. Padahal, masyarakat sejatinya dapat disajikan tampilan yang jauh lebih baik dan mendidik. Bahwa ada yang lebih penting dari sekedar rating, yakni edukasi,” tutup Masykur Isnan.
*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.