JAKARTA - Sejumlah masyarakat di beberapa daerah mengeluhkan kekosongan stok vaksin COVID-19. Carut marut distribusi vaksin menjadi salah satu penyebabnya. Lebih parah lagi, proses penjajakan vaksin ini juga ditengarai terjegal urusan politik.
Di Bekasi misalnya, kemarin lusa Juru Bicara Satgas COVID-19 Kabupaten Bekasi dr Alamsyah mengungkapkan stok vaksin di wilayahnya kosong. "Kosong dari Jumat," katanya kepada Kompas.
Alamsyah mengungkapkan pihaknya telah mengajukan permintaan stok vaksin kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Namun kepastian belum kunjung tiba.
Besar harapan Alamsyah untuk segera menerima stok vaksin COVID-19, baik dari pemerintah pusat maupun Pemprov Jabar. Sebab, Pemerintah Kabupaten Bekasi biasanya melakukan vaksinasi hingga 40.000 orang per hari.
Selain Bekasi, belum lama ini kekosongan stok vaksin juga terjadi di Cianjur Jawa Barat. Jubir Satgas Penanganan dan Percepatan COVID-19 Kabupaten Cianjur, Yusman Faisal menyebutkan stok vaksin COVID-19 sempat kosong selama dua minggu.
Sementara di media sosial Twitter, Pendengung @kurawa mengeluhkan sudah hampir dua minggu vaksin COVID-19 kosong di Jabodetabek. "Kasihan pak, mereka yang mau vaksin ke 1 dan ke 2 sudah resah... Nanti kalau cuek lagi bahaya," tulisnya.
Pak @jokowi sudah hampir 2 minggu Vaksin covid19 kosong dimana2 bahkan di jabodetabek,
Minta tolong pak jokowi supervisi lagi spt saat sidak obat2an covid19 ke Kemenkes dan meneg BUMN
Kasihan pak, mereka yang mau vaksin ke 1 dan ke 2 sdh resah.. nanti kalo cuek lg bahaya
— Rudi Valinka 🇮🇩🇮🇩 (@kurawa) August 19, 2021
Ketimpangan vaksinasi
Sebelumnya, pemerintah menggencarkan program vaksinasi untuk mencapai target minimal 70 persen dari total populasi guna menciptakan kekebalan kelompok. Namun pelaksanannya masih minim. Menurut Our World in Data, per 17 Agustus baru 10,9 persen populasi yang divaksinasi lengkap.
Sementara itu, cakupan vaksinasi yang belum merata antar provinsi juga menjadi soal. Menurut data Kemenkes Per 18 Agustus, baru Jakarta yang sudah lebih dari 50 persen mendapat vaksinasi dua dosis, yakni 54,34 persen.
Sedangkan kedua terbanyak adalah Bali, yang mencapai 43,38 persen populasi yang sudah divaksin dua kali. Sayangnya, di beberapa provinsi lain, cakupan vaksinasi masih sangat rendah.
Lampung misalnya, baru 7,21 persen warganya yang mendapat vaksinasi COVID-19. Demikian Nusa Tenggara Barat yang vaksinasinya baru mencakup 7,82 persen populasi.
Karena persoalan ini, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi sampai pernah menyurati sejumlah menteri agar pelaksanaan vaksinasi COVID-19 bisa dipercepat. “Dan yang terakhir Bapak Gubernur bersurat kepada Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, yang ditembuskan juga kepada Menteri Kesehatan dan Menteri BUMN untuk meminta percepatan droping vaksin,” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, Reihana dalam keterangan resminya yang dikutip RRI.
Reihana mengatakan upaya tersebut dilakukan agar jajaran Dinas Kesehatan Provinsi atau kabupaten/kota bisa menunaikan target vaksin kepada 6 juta warga. “Untuk mempercepat program vaksinasi Covid-19, kami telah melakukan upaya maksimal, dengan segera mendistribusikan setiap kiriman vaksin ke 15 kabupaten/kota."
Kendala tak merata
Masalah lain terkait lemahnya vaksinasi COVID-19 Indonesia adalah karena sebaran vaksinator corona yang diperkirakan masih belum merata. Jumlah tenaga kesehatan memang menjadi salah satu faktor signifikan untuk menyukseskan program pencegahan pandemi ini.
Berdasarkan data Kemenkes yang dikutip Katadata, ada 1,5 juta tenaga kesehatan di Indonesia pada 2020. Namun hampir 50 persen atau 48,8 persennya terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Sisanya, tersebar di berbagai wilayah lain di Indonesia. Misalnya di Sumatera 24,2 persen, 6,6 persen di Bali dan Nusa Tenggara, 7,5 persen di Kalimantan, 9,6 persen di Sulawesi, dan 3,3 persen di Maluku dan Papua.
Faktor lain yang membuat terhambatnya vaksinasi di daerah adalah lantaran belum semua puskesmas di seluruh Indonesia punya logistik yang mendukung. Menurut survei CISDI, 3,8 persen puskesmas tidak memiliki kulkas untuk vaksin yang berfungsi. Seluruh puskesmas tersebut tercatat berasal dari luar Pulau Jawa.
Memang 99 persen puskesmas menyatakan sudah punya alat pembawa vaksin (vaccine carrier). Namun, masih ada 8,7 persen puskesmas yang belum memiliki ice pack yang cukup untuk seluruh vaccine carrier. Padahal ice pack diperlukan untuk menjaga suhu di dalam pembawa vaksin bisa tetap sesuai standar.
Terjegal politik
Selain dari persoalan teknis, ruwetnya distribusi vaksin COVID-19 juga terkendala pandangan politik. Deputi Bidang Kemanusiaan Kantor Staf Presiden (KSP), Abetnego Panca menyebut ada pemerintah provinsi yang sengaja tidak mendistribusikan vaksin COVID-19 karena berbeda pandangan politik dengan pemerintah pusat.
"Saya mau jujur, banyak provinsi yang enggak menyebarkan vaksin yang sudah dibagi ke provinsi ke kabupaten karena perbedaan pandangan politik (dengan pemerintah pusat)," kata Abetnego 18 Agustus dikutip CNNIndonesia.
Abetnego bilang, Presiden Jokowi bukan tak tau terkait masalah ini. Itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa tugas distribusi ini diberikan ke TNI dan Polri. "Di TNI enggak ada (perbedaan politik), di Polri juga."
Penjelasan Abetnego itu keluar tatkala menanggapi temuan relawan LaporCovid-19 yang menganggap pemberian wewenang vaksinasi kepada TNI dan Polri bakal menimbulkan masalah. Terutama soal pemerataan distribusi vaksin ke daerah.
Relawan LaporCovid-19 Firdaus Ferdiansyah mengatakan banyak laporan dari Puskesmas yang kehabisan stok vaksin. "Tetapi ternyata vaksinasinya diselenggarakan pada sentra-sentra milik TNI-Polri," kata Firdaus.
*Baca informasi lain tentang VAKSIN atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.
BERNAS Lainnya
BACA JUGA: