40 Menit Pidato Kenegaraan Jokowi Tanpa Singgung Korupsi, Karena Tak Cukup Waktu Atau Hilangnya Komitmen?
Pidato Presiden Joko Widodo (Foto: IG @jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) absen menyebut soal korupsi dalam pidato kenegaraannya di Sidang Tahunan MPR RI Bersama DPR RI menyambut Hari Kemerdekaan RI ke-76.

Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan. Benarkah waktu yang disediakan untuk berpidato tidak cukup ataukah karena komitmen pemberantasan korupsi sudah mulai hilang dari pemerintahan Presiden Jokowi?

Selama menyampaikan pidato kenegaraan dalam waktu kurang lebih 40 menit, Presiden Jokowi hanya satu kali menyebut kata 'korupsi' ketika mengucapkan akronim dari KPK yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Itu pun terjadi saat eks Gubernur DKI Jakarta ini mengucapkan trima kasih kepada sejumlah lembaga negara yang sudah konsisten dan produktif bekerja meski pandemi COVID-19 sedang terjadi.

"Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada lembaga-lembaga negara, juga kepada Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Ombudsman Republik Indonesia, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), atas dukungannya yang konsisten dan produktif selama ini," katanya saat menyampaikan pidato kenegaraan yang ditayangkan secara daring pada Senin, 16 Agustus.

Selebihnya, Jokowi tak menyinggung perihal korupsi maupun komitmennya dalam memberantas praktik rasuah di tengah pandemi.

Karena kurang waktu

Absennya Jokowi membahas korupsi dalam pidato kenegaraannya kemudian ditanggapi oleh Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Faldo Maldini. Menurutnya, hal ini terjadi karena keterbatasan waktu untuk menyampaikan pidato sehingga Jokowi tak leluasa menyampaikan isu lain.

"Tentu saja karena terbatasnya waktu dalam pidato tidak bisa semua persoalan di highlight ileh Presiden dalam pidato kenegaraan kali ini," kata Faldo kepada wartawan, Senin, 16 Agustus.

Dia memastikan Presiden Jokowi tetap berkomitmen dalam melakukan pemberantasan korupsi. Hal ini, kata Faldo, dibuktikan dengan upaya menghadirkan tata kelola pemerintahan yang baik dan inovasi dalam reformasi birokrasi yang salah satunya menghadirkan Online Single Submission (OSS).

"Dengan adanya OSS ini juga berarti memutus potensi rantai korupsi di birokrasi, ini juga menjadi komitmen yang ditunjukkan presiden. Bukan hanya dengan kata-kata tapi kita jawab dengan kerja dan pemenuhan tanggung jawab," tegas Faldo.

Kesampingkan komitmen perangi korupsi

Pihak istana yang diwakili Faldo boleh saja membantah jika ketiadaan bahasan soal korupsi didasari keterbatasan waktu. Tapi bagi peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana hal ini sebenarnya mengindikasikan pemerintah mengesampingkan komitmennya untuk melawan korupsi.

"Dari sekian banyak halaman pidato kenegaraan itu terdapat satu isu krusial yakni hilangnya pembahasan terkait pemberantasan korupsi. Tentu ini mengindikasikan bahwa pemerintah kian mengesampingkan komitmennya untuk memerangi kejahatan korupsi," katanya dalam keterangan tertulisnya yang diterima VOI.

Dirinya menilai, sulit untuk tak menyebut masa depan pemberantasan rasuah bakal makin mengkhawatirkan. Apalagi, merujuk dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dikeluarkan Transparency International kini memburuk karena turun tiga poin dari tahun sebelumnya ke angka 37.

Kurnia juga menyebut masyarakat kini makin mudah mengidentifikasi sejumlah kebijakan pemerintah yang bertolak belakang dengan pemberantasan korupsi selama setahun terakhir. Sehingga, hal tersebut menjadi gambaran kekeliruan pemerintah dalam merumuskan kebijakan.

"Alih-alih memperkuat yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah menjadi salah satu dalang di balik melemahnya agenda pemberantasan korupsi," tegas pegiat antikorupsi itu.

Selain itu ada empat hal lain yang digarisbawahi ICW dari pidato Jokowi yakni minimnya penuntasan tunggakan legislasi untuk mendukung penguatan pemberantasan korupsi; abainya pengawasan terhadap kinerja penegak hukum; gagalnya pemerintah menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik karena banyaknya rangkap jabatan; dan gagalnya pemerintah mengelola penanganan pandemi COVID-19.

"Mulai dari praktik korupsi bantuan sosial yang menjerat mantan Menteri Sosial, rencana vaksin berbayar, konflik kepentingan pejabat publik terkait obat Ivermectin, dan terakhir menyangkut kebijakan penetapan tarif pemeriksaan PCR yang sepatutnya ditinjau ulang termasuk aksesnya bagi masyarakat dengan kelas ekonomi lemah," kata Kurnia.

Sehingga, dengan berbagai permasalahan tersebut wajar saja ketika masyarakat mempertanyakan komitmen pemerintah terutama Presiden Jokowi dalam memberantas korupsi.

"Jika dikatkan dengan dengan pidato kenegaraan presiden, wajar masyarakat kemudian mempertanyakan ulang keseriusan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi," pungkasnya.