Bagikan:

JAKARTA - Saat pandemi COVID-19 berkepanjangan di Indonesia, Garin Nugroho membawa kabar gembira. Sutradara dari Jogjakarta ini bisa mementaskan teater bertajuk "The Planet – A Lament" di International Theater Amsterdam, Belanda dan di Open Air Theater Gustaf-Grundgens-Platz di Dusseldorf, Jerman akhir Juni lalu.

Apakah di Jerman dan Belanda sudah tidak ada COVID-19? Bagaimana bisa penonton hadir secara langsung dalam pementasan teater tersebut? Benarkah COVID-19 bisa diatasi? Melalui perbincangan virtual, Garin Nugroho menceritakan pengalamannya kepada VOI, 16 Juli lalu.

"Saat ini kita sedang PPKM jadi di rumah saja. Kemarin ada rencana untuk bikin film juga diundur. Pementasan di Belanda dan Jerman terjadi karena sebenarnya di Eropa kan ada tahap vaksin tiga, setelah vaksin uji coba publik semua. Jadi semua pementasan pertunjukan teater, musik, sepakbola itu di tes bagaimana crowd-nya seperti apa, pengaruhnya seperti apa," ujar Garin.

Garin Nugroho (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Sutradara Setan Jawa ini mengatakan ada beberapa negara di Eropa yang membuat pelonggaran seperti di Belanda. "Ketika kita kesana, ada pelonggaran itu. Meskipun pemerintahnya kemudian minta maaf karena pelonggaran menghasilkan kasus baru COVD-19. Festival-festival sedang dibangun, tetap dengan protokoler COVID-19. Di Belanda fasilitas 50% dari kapasitas bisa diisi, tetap pakai swab antigen," ujarnya.

Sementara di Jerman, di ruang publik tidak perlu pakai masker lagi. "Tapi kalau pertunjukan di dalam ruangan tetap pakai masker. Pertunjukan teaternya harus out door. Ini semacam kebersamaan membangun penanggulangan masalah-masalah COVID-19 itu," kenangnya.

"Banyak negara memang sudah mencoba membuka festival internasional untuk menguji coba apakah mampu dilonggarkan secara longgar sekali. Dan menurut saya apa yang menarik untuk dipelajari adalah komunikasi panduan yang terukur. Keberhasilannya apa, kegagalannya apa, semacam itu," imbuhnya.

Garin Nugroho (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

The Planet - A Lament menceritakan kisah yang menyentuh tentang penciptaan kembali alam setelah dunia hancur akibat bencana alam yang diambil berdasarkan mitologi Papua. Pentas teater ini mengangkat ritual penyembuhan atas dunia yang berduka sambil memberikan harapan bagi mereka yang ditinggalkan.

"Pertunjukan The Planet – A Lament kan temanya melanisia, tetang alam, wabah tsunami dan sebagainya," ujar Garin.

Diceritakan bahwa setelah terjadi bencana alam yang menghancurkan dunia, terdapat seorang manusia yang selamat yang diberikan amanah sebuah telur untuk meneruskan kehidupan di dunia. Dalam pagelaran ini, Garin Nugroho bekerja sama dengan 24 pemain dan tim dari berbagai wilayah di Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, serta dari berbagai wilayah Indonesia lainnya.

Dalam pagelaran tersebut, Garin juga mengangkat berbagai budaya Indonesia, seperti dari Papua, Flores, Sumatera Utara, dan Jawa. Pemain teater ini juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Karena pemain berasal dari berbagai daerah di Indonesia, Garin harus 'senam jantung' di setiap proses perjalanan.

"Untungnya pemain The Planet – A Lament semua selama dari berangkat sampai pulang. Meskipun ada ketegangan-ketengangan. Semua pemain-pemain dari Papua, NTT, Merauke, setiap proses kan harus swab. Jadi kita selalu tegang menunggu hasil swab," kenangnya.

Tangtangan terbesar selain pementasan itu sendiri adalah menjaga spirit dan pemahaman protokol COVID-19. "Karena dari institusi di Eropa juga banyak pertanyaan kan. Dan begitu banyak syarat yang harus kita temui. Termasuk sentuhan di panggung tidak boleh lama, itu penyesuaian. Jadi spirit harus dijaga," papar sutradara Daun di Atas Bantal ini.

"Sampai Belanda mau pertunjukan, swab lagi. Nanti baru muncul ketegangan karena ada hasilnya yang belum keluar semua. Jadi antara semangat dan kemampuan, semangat untuk tetap mengikuti prokes dan kepercayaan diri harus tetap tinggi," tambahnya.

Yang membuat Garin bisa bernafas lebih lega adalah The Planet – A Lament ini sudah pernah pentas di Australia dan semua dibiayai oleh luar negeri. "Ya sudah mereka melihat pemainnya dari berbagai pulau, itu semua proses harus dilalui. Dan itulah tantangannya. Di Belanda juga disiapkan ruangan untuk latihan, tapi dengan sistem karantina," katanya.

Penyesuaian Karya di Indonesia

Garin Nugroho (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Selain pentas teater di Belanda dan Jerman, Garin Nugroho juga menjadi Produser Eksekutif untuk pentas teater Nurbaya. Musikal ini dikerjakan oleh Garin Nugroho, kelompok Teater Musikal Nusantara (TEMAN), dan BOOW Live berdasarkan novel klasik Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli.

Berbeda dengan produksi lainnya, Serial Musikal Nurbaya ini seluruhnya diisi oleh pekerja seni yang mengikuti rangkaian program online pencarian para seniman-seniman muda berbakat Indonesia yang dimulai sejak Desember 2020 yang lalu melalui program online Mencari Siti.

Para pekerja seni ini telah melalui latihan vokal, koreografi, dan akting yang mendetail dan intensif untuk menampilkan kisah adaptasi karya sastra Indonesia ini dengan kemasan baru tanpa meninggalkan unsur kedaerahan masyarakat Minang.

Selain itu, Garin juga memproduksi film A Perfect Fit yang tayang di Netflix. Seluruh proses syuting film ini dilakukan di Bali. Dengan jumlah kru ratusan orang, Garin harus siap dengan risiko produksi di tengah pandemi.

"Memang karang-kadang sering kali goyah juga. Seperti kemarin membuat film A Perfect Fit dengan membawa 150 kru ke Bali di tengah pandemi bulan Desember. Kalau ada yang kena, mundur produksi jadi mahal dan sebagainya. Kalau memikirkan betul ribetnya, kayak mau ke Eropa itu, aduh nggak usah sajalah gitu. Tapi kemudian ketika kita berfikir banyak orang membutuhkan produktivitas dan ekonomi. Jika kita mampu melalui prosedur protokoler yang baik dan tetap produktif itu membangkitkan semangat di masa pandemi," tuturnya.

Garin Nugroho (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Kecintaaan pada seni, pada akhirnya membuat Garin terlarut pada proses produksi dan mampu mengontrol kekuatiran yang timbul karena pandemi. "Begitu saya mengatakan iya, segala kerumitan itu saya lupakan. Meskipun ketika bikin film dengan total kru 200 orang, setiap tes anti gen itu kuatir ada yang kena nggak, ada yang kena nggak. Kalau ada yang kena mundur syutingnya, biaya nambah mahal. Repot kontrak pemain lagi," katanya.

Beruntung selama proses produksi, tidak ada kru yang terpapar COVID-19. "Kesehatan, imun tubuh, kesadaran untuk menjaga tubuh agar tidak terpapar, harus ada kebersamaan semacam itu," tegasnya.

Tapi tak ada badai yang tak reda. Ibarat menantang pandemi dengan tetap kreatif, Garin justru menghasilkan format karya baru untuk musikal Nurbaya yang secara digital lebih menarik.

Serial Musikal Nurbaya bukan cuma memperhatikan musik saja tapi juga secara visual. Dengan budaya pop modern culture dimana dunia fashion memang sedang mengalami perubahan besar yang mengubah gaya berbusana menjadi lebih modis.

Garin Nugroho (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Dengan menggabungkan proses digital, pementasan yang disiarkan di YouTube ini lebih memanjakan penonton karena bisa melihat detail kejadian di panggung. Sesuatu yang sulit didapat tentunya ketika penonton duduk di kursi untuk menonton teater di panggung.

"Di tengah krisis pandemi yang harus serba online dan disertai percepatan tehnologi memaksa kita hidup dengan tehnologi, virtual experient, dan juga terpaksa harus melakukan metode-metode komunikasi online dalam. Maka ketika terjadi budaya online ada upaya-upaya penjelajahan agar enak ditonton secara online bukan cuma offline," katanya.

Meskipun banyak hambatan dan tantangan, Garin menyebut banyak penemuan baru. "Kalau pentas teater tiga hari misalnya, paling cuma ditonton 4.000 saja. Tapi lewat online, penontonnya bisa ratusan ribu malah juta. Oleh karena itu, perta baru online melahirkan kita pada perjalanan baru yang harus kita catat sebagai panduan baru ketika bekerja," katanya.

Fasilitasi pemerintah, menurutnya, wajib untuk memberikan panduan yang cukup jelas. "Menurut saya panduan pemerintah kurang jelas, sehingga orang mencari panduan sendiri dalam memahami COVID-19. Saya berharap kalau COVID-19 tidak bisa tuntas, ada fasilitasi pemerintah dalam penyesuain di online. Ada bentuk seni yang bisa hidup di online, ada bentuk seni yang tidak cocok di online, itu harus diperhatikan pemerintah," katanya.

Adaptasi institusi penting di Indonesia, perlu standarisasi tehnologi supaya tidak terjadi ketimpangan akses dan pada akhirnya terjadi ketimpangan proses berkarya.

Semangat terus beradaptasi ini pula yang membuat Garin Nugroho selalu menggandeng anak muda untuk kolaborasi. 40 tahun berkarya, Garin Nugroho tak lelah menularkan energi dan ilmunya pada sutradara-sutradara baru.

"Seni itu kerja kolaborasi karena itu sutradara perlu menemukan sumber daya yang tumbuh terus menerus. Mungkin film tidak perlu itu, tapi anda sebagai guru dan sutradara, anda perlu komunitas untuk tumbuh bersama. Saya bekerja dengan anak muda dan terus mendampingi. Karena nanti kalau saya butuh bakat baru mereka sudah tumbuh dengan baik," katanya.

"Saya seorang guru yang harus punya kemampuan untuk membagikan ilmu dan pengetahuannya kepada orang yang berbakat. Merayakan 40 tahun berkarya saya bekerja dengan berbagai jenis karya, ruang tayang, dan generasi."

Garin Nugroho