Bagikan:

JAKARTA – Di tengah tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia, fakta lain mengungkap sebuah ironi. Riset yang dilakukan oleh Populix dan KitaLulus menunjukkan perusahaan juga mengalami kesulitan mencari calon karyawan.

Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat disuguhi kabar soal gelombang PHK yang terjadi terus menerus. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat telah terjadi PHK bagi 32.064 tenaga kerja dari Jauari sampai Maret 2024.

Pemerintah menyebut ini terjadi karena ekonomi yang lesu sejak pandemi COVID-19. Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menjelaskan faktor terjadinya PHK termasuk struktural, mulai dari salah kebijakan Undang-Undang Cipta Kerja karena investasi yang masuk kualitas serapannya justru rendah, hingga jaring pengaman bagi pekerja banyak dipangkas.

Para pembicara dalam diskusi Naker Fest di Jakarta, yang mengungkapkan sebanyak 46 persen perusahaan kesulitan mencari calon karyawan disebabkan oleh kesenjangan dalam beberapa kriteria yang dibutuhkan pemberi kerja dengan tenaga kerja yang tersedia. (ANTARA/HO)

Tapi di tengah badai PHK selama setahun terakhir, ada fakta mengejutkan yang diungkap riset Populix dan KitaLulus. Riset tersebut menunjukkan sebanyak 46 persen perusahaan kesulitan mencari calon karyawan.

Keterampilan Teknis Pelamar Rendah

Riset ini didasarkan pada survei terhadap 1.330 pencari kerja, 530 pemberi kerja, 100 perusahaan, serta analisis terhadap satu juta data dari job portal KitaLulus yang dikumpulkan pada Juni 2024. Padahal data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ada 7,2 juta orang mengganggur per Februari 2024.

"Analisis terhadap satu juta data pelamar kerja dan permintaan tenaga kerja di job portal KitaLulus menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang diminta, semakin besar pula kesenjangan dengan ketersediaan tenaga kerja," kata Head of Social Research Populix, Vivi Zabkie.

Riset tersebut mencatat sebanyak 50 persen perusahaan menilai keterampilan teknis pelamar masih pada tingkat pemula atau rendah, sedangkan 35 persen perusahaan menilai keterampilan lunak atau soft skill pelamar belum cukup baik. Selain itu, tingkat pendidikan yang dibutuhkan perusahaan juga tidak sebanding dengan tenaga yang tersedia.

Menurut catatan, ketersediaan lowongan untuk tingkat pendidikan SMP hanya 13 persen, S1 sebanyak 16 persen, dan jenjang S2 sebesar 19 persen. Ini masih jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah pencari kerja.

Seorang pencari kerja sedang memindai kode QR dari sebuah perusahaan yang membuka lowongan dalam Job Fair II yang diadakan oleh Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi (Nekertransgi) Jakarta Barat di Mall Taman Palem, Jalan Kamal Raya, Cengkareng Timur, Jakarta Barat, Selasa (1/8/2023). (ANTARA/Risky Syukur/am)

Di samping itu, secara rasio jumlah pencari kerja, pencari kerja lulusan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam cukup banyak, tapi jumlah lowongan kerja yang tersedia sedikit. Kondisi ketimpangan ini membuat pencari kerja yang masih menganggur merasa lebih tidak percaya diri.

“Responden pencari kerja yang belum memiliki pekerjaan lebih banyak yang merasa insecure karena lebih banyak mengungkapkan kesulitannya, seperti pengalaman yang dibutuhkan terlalu tinggi (68 persen), tingkat pendidikan yang dibutuhkan terlalu tinggi (59 persen), serta khawatir akan banyaknya pesaing (53 persen),” kata Vivi.

Mismatch antara Permintaan dan Penawaran

Pengamat ekonomi dari Center of Law and Economic Studies (CELIOS) Nailul Huda menganalisis fenomena kesulitan perusahaan mendapatkan karyawan di tengah badai PHK dalam setahun terakhir.

Huda menyebut ada mismatch atau ketidakcocokan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, sehingga perusahaan kesulitan menemukan calon pekerja yang sesuai.

“Lulusan SMK lebih banyak yang menganggur karena ketrampilan mereka tidak sejalan dengan kebutuhan industri,” kata Huda saat dihubungi VOI.

Ketidakcocokan ini, kata Huda, tidak melulu soal perbedaan keterampilan pencari kerja dengan kebutuhan pemberi kerja. Saat dua hal tersebut bersinergi, tidak jarang ada kendala lain yang menjadi penghalang seperti pertimbangan usia dan gaji dari pencari kerja.

“Usia yang sudah terlalu mature tentu membutuhkan gaji yang lebih tinggi. Namun demikian, banyak perusahaan yang ingin usia muda dengan gaji rendah, tapi dengan pengalaman,” imbuhnya.

“Maka dari itu, mismatch ini harus dikurangi dengan intermediasi dunia usaha dengan pendidikan, terutama pendidikan vokasi (SMK dan Diploma),” ucap Huda lagi.

Pendidikan vokasi masih menjadi perbincangan khalayak, setelah menyumbang jumlah pengangguran terbesar di tingkat nasional. Berdasarkan tingkat pendidikan, pada 2024 angka pengangguran dari lulusan SMK sebesar 9,01 persen dari total 7,47 juta orang menganggur. Sementara itu, angka pengangguran dari lulusan SD (2,32 persen), SMP (4,11 persen), dan SMA (7,05 persen). Lulusan D4/S1/S2/S3 menyumbang 5,25 persen pengangguran dan lulusan D3 ke bawah menyumbang 4,83 persen pengangguran.

Padahal pendidikan vokasi dibuat untuk menghadirkan tenaga kerja yang siap kerja. Tingginya angka pengangguran terdidik ini kemudian menimbulkan tanda tanya besar mengenai efektivitas pendidikan vokasi dalam menjawab kebutuhan industri.