JAKARTA – Sebuah pemandangan memilukan tersebar lewat video yang viral di media sosial. Dalam video tersebut tampak para petani mengamuk dan mencabuti wortelnya. Mereka kecewa lantaran harga wortel turun drastis dalam beberapa bulan ke belakang.
Tidak diketahui pasti di mana pengambilan video tersebut dilakukan. Namun salah satu petani di Desa Pasurenan, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Vandri Dwi, mengaku mengalami hal serupa, yaitu harga jual wortel yang tak sebanding dengan biaya produksi.
Jika biasanya harga wortel bisa mencapai Rp5 ribu per kilogram, sekarang hanya dihargai Rp300 per kg. Harga wortel yang turun drastis membuat para petani terpaksa tidak memanen tanaman mereka, lantaran hasil panen tidak sebanding dengan biaya operasional yang perlu dikeluarkan.
Penurunan harga ini disebut sudah terjadi dalam dua bulan terakhir. Karena harga jual yang tidak sebanding dengan biaya produksi, banyak petani yang akhirnya nyerah. Membiarkan wortel yang siap panen membusuk di lahan atau menjadikan wortel sebagai pakan ternak. Namun ada pula yang membagikan wortel tersebut secara gratis kepada warga.
Tingginya impor wortel dari China disebut menjadi penyebab turunnya harga wortel lokal. Benarkah demikian?
Petani Lokal Kalah Saing
Wortel bukan satu-satunya jenis sayuran yang bikin petani menjerit karena harganya yang anjlok. Sayuran lain seperti kubis juga ikut mengalami penurunan. Kubis yang dibeli langsung dari lahan bahkan hanya dihargai Rp200 per kg, jauh di bawah harga biasanya yang biasa dihargai Rp9.000 per kg. Demikian pula dengan pakcoy dari Rp2.500 menjadi Rp800 per kg, sedangkan sawi putih menjadi Rp800 per kg dari sebelumnya Rp3.000 per kg.
Turunnya harga sayuran, terutama wortel, juga dirasakan petani di daerah lain. Pada Agustus lalu, harga wortel di Karo turun menjadi Rp1.000 per kg. Situasi ini membuat petani frustrasi karena harga jual yang tak bisa menutupi biaya operasional.
Pemerhati pertanian Sumatra Utara (Sumut) Sudarto Sitepu mengatakan adanya kemungkinan harga wortel anjlok akibat Indonesia kebanjiran wortel impor dari China dan Vietnam yang membuat petani lokal tersingkir dan kalah saing.
“Ada yang menyebut kualitas wortel impor ini jauh lebih bagus dibanding wortel lokal. Tapi rasanya, jauh lebih enak wortel lokal. Tapi sekarang konsumen kebanyakan memburu produk luar, sehingga produk lokal kalah saing,” ujar Sudarto.
Petani yang resah akibat anjloknya harga wortel membuat mereka yang tergabung dalam Asosiasi Petani Wortel Karo mendatangi rumah dinas Bupati Karo untuk mempertanyakan sikap pemda. Tak hanya itu, mereka bahkan mengadakan pertemuan dengan Deputi III Kantor Staf Presiden, Kementerian Perdagangan, dan Ditjen Holtikultura Kementerian Pertanian.
BACA JUGA:
Dari hasil pertemuan itu diketahui ada impor dari China sebanyak 2.35 ton ke Pelabuhan Tanjung Perak. Namun menurut Kemendag, impor wortel hanya 0,3 persen dari produksi nasional yaitu 668 ribu ton dalam setahun.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021 produksi wortel Indonesia mencapai angka 720.090 ton, kemudian pada 2022 produksi wortel mengalami peningkatan menjadi 737.965 ton. Tapi tahun lalu, produksi wortel mengalami penurunan menjadi 668.046 ton.
Di sisi lain, impor wortel juga terus meningkat. Jika pada 2017 impor wortel hanya 34,68 ton, pada 2020 Indonesia mengimpor 203,19 ton dan angkanya terus melonjak menjadi 255,58 ton pada 2021.
Lahan Pangan Sempit
Meski memiliki tanah yang luas, Indonesia masih mengandalkan impor sayuran untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. BPS mencatat sejak 2018 Indonesia rutin mengimpor sayuran dari China. Terakhir pada 2023, Negeri Tirai Bambu menjadi pemasok produk sayuran ke Indonesia, yang angkanya mencapai 641.132 ton.
Selain China, Indonesia juga mengimpor sayuran dari negara lain seperti Myanmar, Selandia Baru, Australia, India, Amerika Serikat, bahkan Ethiopia, salah satu negara termiskin di dunia.
Pengamat pertanian Khudori pernah membahas soal ketergantungan Indonesia terhadap impor sayur dan buah dari China. Menurutnya, ini menunjukkan kinerja produksi holtikultura di negara ini tidak bagus.
"Halangan bagi Indonesia untuk mengimpor sudah tidak banyak, dan bea masuk ditekan sangat rendah setelah adanya perjanjian bilateral perdagangan (The ASEAN Free Trade Area/AFTA) dengan China pada 2010," ujar Khudori.
Lebih lanjut, ia menyoroti neraca perdagangan di sektor pertanian dan peternakan yang terus mengalami kenaikan impor. Pemerintah, menurut Khudori berdalih bahwa impor tersebut digunakan untuk mengisi kekosongan produksi pertanian dan peternakan domestik.
"Dari sisi luas lahan pertanian per kapita kita dengan China, Thailand, Vietnam dan India memang jauh tertinggal. Tapi kita lebih baik dari Malaysia dan Filipina," jelasnya.
Meski demikian, luas lahan pertanian dan peternakan tentu menjadi indikator seberapa besar kemampuan sebuah negara bisa memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
"Semakin sempit luas lahan per kapita, semakin kecil produksi pangan dan peternakan yang bisa dihasilkan," tandas Khudori.
Sebagai informasi, saat ini luas lahan pangan Indonesia hanya 0,026 hektare (ha) atau 260 meter persegi per kapita, sehingga menjadi yang paling sempit di dunia. Padahal, populasi penduduk Indonesia adalah yang terpadat keempat di dunia.
Bandingkan dengan Amerika Serikat, yang memiliki populasi ketiga terbesar di dunia, memiliki lahan pangan sebesar 0,511 ha per kapita, sementara India, yang populasinya terbesar di dunia, memiliki lahan pangan 0,131 ha per kapita.