JAKARTA - Maudy Ayunda tiba-tiba dihujani kritik di media sosial, karena gagasannya tidak diterima banyak warganet. Belum lama ini, Maudy mengatakan akan menghapus soal pilihan ganda pada ujian sekolah seandainya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
“Kalau assessment-nya itu open ended question, bukan multiple choice (pilihan ganda), pasti murid belajarnya beda, guru juga ngajarnya beda, sehingga akhirnya yang di-grading itu critical thinking dan analyzing dibandingkan sama memorization (menghafal). Tapi di luar itu, misi terbesarku adalah pengen membangun cinta belajar di Indonesia,” kata Maudy, seperti diunggah di akun Tiktok @felicia.tjiasaka.
Tapi sayang pendapat Maudy Ayunda menuai cibiran. Banyak warganet yang menilai pelantun lagu Perahu Kertas ini tidak memahami kondisi terkini pendidikan di Indonesia. Seorang warganet bahkan menyarankan Maudy Ayunda berpengalaman mengajar terlebih dulu di sekolah negeri atau daerah tertinggal, terluar, terdepan, dan perbatasan.
"Baiknya maen ke sekolah-sekolah negeri dulu, apalagi yg di pelosok, terus liat kondisi real para tenaga pengajar di sana, sebelum muluk-muluk ngomong pengen jadi menteri," balas @rizkirandom.
Penghapusan Soal Pilihan Ganda Hanya Masalah Teknis
Dikutip dari situs Kementerian Keuangan Learning Center (KL C2), jenis soal terbagi dua yaitu tes objektif dan subjektif (esai atau uraian). Tes objektif adalah tes yang disusun sedemikian rupa dan telah disediakan alternatif jawabannya. Tes bentuk objektif dapat dipilah menjadi tes benar-salah, menjodohkan, dan tes pilihan ganda.
Terkait tes pilihan ganda yang dibahas Maudy Ayunda, dianggap memiliki beberapa kekurangan antara lain peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan jawaban sendiri, terdapat kecenderungan anak didik tidak belajar secara mendalam, dan keterbatasan dalam memodifikasi kegiatan pembelajaran.
Namun menurut Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, apa yang dikatakan Maudy Ayunda perihal rencananya menghapus soal pilihan ganda jika menjadi Mendikbud hanya masalah teknis. Satriwan berujar, masalah pendidikan di Indonesia jauh lebih besar dari hanya sekadar menghapus soal pilihan ganda.
“Pernyataan ini mendistorsi masalah pendidikan nasional. Karena masalah pendidikan nasional bukan cuma soal pilihan ganda atau esai. Soal pilihan ganda tidak masalah, kalau itu mendorong anak untuk berpikir kognitif. Pilihan ganda yang tidak baik cuma sampai kognitif level satu. Kalau guru mampu membuat soal pilihan ganda dengan kognitif level 4,5,6 itu bagus,” kata Satriwan saat berbincang dengan VOI.
Satriwan menambahkan, melihat kondisi pendidikan Indonesia saat ini, impian menghapus soal pilihan ganda sulit terwujud. Pasalnya, tenaga pengajar di Indonesia sendiri belum memadai.
Apalagi jika kita tidak menutup mata terhadap fakta di lapangan, di mana satu guru di sekolah negeri sangat mungkin mengajar sampai 10 kelas, dengan jumlah siswa sekitar 40 orang per kelas. Satriwan juga menyoroti privilege seorang Maudy, yang mungkin tidak dirasakan sebagian besar anak di Indonesia.
“Apa yang dikatakan Maudy hanya persoalan teknis yang dibahas. Maudy tidak merasakan mengajar di SD Negeri, yang satu guru bisa mengajar 10-15 kelas. Soal pilihan ganda dipilih bukan tanpa alasan, waktu kan guru tidak hanya untuk mengoreksi soal saja. Coba bayangkan kalau semuanya esai,” Satriwan menambahkan.
“Selain itu Maudy juga kan punya privilege. Dia sekolah di sekolah swasta elite, jadi dia tidak merasakan bagaimana kondisi di sekolah negeri.”
Masalah Pendidikan Indonesia Sangat Kompleks
Kita semua tahu bahwa pendidikan Indonesia memiliki masalah yang begitu kompleks. Mulai dari masalah perundungan di sekolah, sumber daya yang tidak merata, sampai apresiasi terhadap guru-guru di daerah yang dirasa kurang.
Belum lagi soal tingkat literasi di Indonesia yang masih sangat rendah. Dikutip dari laman resmi DPR, menurut penilaian berdasarkan Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM), skor Indonesia pada tahun 2022 sebesar 64,48 dari skala 1-100. Angka tersebut dinilai masih belum menggembirakan dan terus menjadi masalah nasional yang memprihatinkan.
Hal inilah yang menurut Satriwan yang seharusnya menjadi perhatian utama, bukan malah ‘hanya’ mempermasalahkan soal pilihan ganda.
BACA JUGA:
“Mestinya dia menyampaikan pesan mengenai pendidikan nasional yang lebih penting, misalnya soal angka literasi dan numerisasi. Seperti yang kita ketahui, satu dari dua anak kita belum mencapai kemampuan minimal di bidang literasi dan numerisasi,” Satriwan menjelaskan.
“Mengenai guru. Persoalan guru di Indonesia sangat kompleks. Kesejahteraan guru sangat rendah, guru non-ASN tidak punya honor yang layak, masih ada yang Rp500 ribu sebulan. Kompetensi guru juga masih menjadi PR, distribusi guru yang tidak merata. Guru hanya tersentralisasi di kota yang sara dan prasarananya memadainya. Di desa yang masuk kategori 3T (Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar) sangat jauh dari memadai," kata Striawan lagi.