Para Orangtua Harus Tahu, Perilaku Perundungan Ternyata dapat Dipicu Rasa Tidak Berdaya
Perilaku perundungan bukan melulu arena rasa superioritas, namun dapay pula dipicu rasa tidak berdaya karena dominasi orangtua yang berlebihan terhadap anak. (Freepik)

Bagikan:

JAKARTA - Dunia pendidikan di Indonesia kembali disorot. Tapi, lagi-lagi yang menjadi perhatian adalah masalah bullying alias perundungan. Nasib pilu dialami siswi kelas 2 SD Menganti, Gresik. Dia disebut mengalami buta setelah matanya dicolok dengan tusuk bakso oleh kakak kelasnya.

Dituturkan ayah korban, Samsul Arif (36), peristiwa tersebut terjadi karena anaknya yang berinisial SAH menolak memberi uang jajan kepada pelaku. Menurut pengakuan kepada keluarganya, korban dicolok-colok mata kanannya dengan tusuk bakso hingga terluka di sebuah lorong di sekolah ketika sedang berlangsung lomba 17 Agustus. 

Yang lebih memprihatinkan lagi, berdasarkan pengakuan siswi setelah diperiksa Unit Perlindungan Anak dan Perempuan Polres Gresik, korban mengaku memang sering dipalak kakak kelasnya. Bahkan, pemalakan tersebut terjadi sejak duduk di bangku kelas 1 SD.

Pola Asuh Penting untuk Mendeteksi Agresivitas Anak

Kasus perundungan yang terjadi di sekolah sudah sangat banyak. Dan kasus bullying termasuk masalah yang paling sering dibahas di dunia pendidikan, namun belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Menurut hasil asesmen nasional Kemendikbudristek, ada 24,4 persen siswa atau peserta didik berpotensi mengalami insiden perundungan di satuan pendidikan atau sekolah.

Hal tersebut dikatakan Plt Sekretaris Ditjen PAUD Dikdasmen Kemendikbudristek Praptono pada Kamis, 24 Agustus silam.

“Kemendikbudristek dengan asesmen nasional kemarin, kita mendapat sebuah angka temuan yang sangat luar biasa, dan ini menuntut kepada kita untuk serius menangani. Yang pertama adalah 24,4 persen peserta didik, berdasarkan pengakuan mereka berpotensi mengalami insiden perundungan di satuan pendidikan,” kata Praptono.

Yang terjadi pada SAH di SD Menganti, Gresik bisa dikatakan terdapat dua jenis perundungan. Pertama adalah pemalakan dan kedua ketika dia dicolok matanya oleh tusuk bakso karena menolak memberikan uang jajan kepada pelaku.

Masyarakat pasti terheran-heran mengapa seorang anak yang masih di usia sekolah berani melakukan tindakan kekerasan. Meski pada kenyataannya, belakangan ini memang cukup sering kasus-kasus di mana seorang anak melakukan tindakan di luar nalar, seperti yang dilakukan oleh pelaku.

Bahkan banyak orangtua yang mengeluhkan kenakalan anak, padahal mereka seharusnya menjadi orang terdekat. Penyebab kenakalan remaja dan anak tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan orangtua. Selain itu, lingkungan pertemanan juga bisa menjadi salah satu faktor yang menentukan.

Menjadi orangtua masa kini memiliki tantangan lebih berat dibandingkan masa lalu, salah satunya karena perkembangan teknologi yang berkembang sangat pesat. (Freepik/DC Studio)

 Dikatakan oleh Psikolog Klinis dan Forensik Kasandra Putranto, perundungan merupakan perilaku yang kompleks dan dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan. Meskipun rasa superioritas bisa menjadi salah satu motivasi di balik perilaku perundungan, namun tidak selalu demikian dan terdapat banyak faktor lain yang juga memainkan peran penting.

“Kondisi ini bisa muncul dari rasa tidak berdaya atau ketidakamanan mereka yang mereka kompensasi dengan cara merendahkan orang lain. Selain itu bisa jadi merupakan upaya mereka untuk merasa lebih baik dengan memperlihatkan kelemahan orang lain,” kata Kasandra kepada VOI.

“Jika anak sering kali menyaksikan atau mengalami perilaku agresif di rumah atau di lingkungannya, mereka mungkin cenderung meniru perilaku tersebut. Ini bisa membuat mereka kurang peka terhadap dampak emosional dari perilaku mereka, termasuk efek buruk dari bullying. Anak-anak mungkin merasa perlu untuk melakukan bullying agar diterima oleh kelompok mereka atau agar tidak menjadi sasaran sendiri,” ujar Kasandra melanjutkan.

Di kesempatan berbeda, dosen Psikologi Universitas YARSI, Melok Roro Kinanthi menuturkan pola asuh permisif juga berkontribusi membentuk perilaku agresif pada anak.

“Selain itu, pola asuh yang permisif dengan terlalu memanjakan anak tanpa batasan berpotensi menimbulkan perilaku maladaptif termasuk agresivitas pada ana,” kata Melok Roro Kinanthi.

Pantau Aktivitas Anak dengan Teknologi

Menjadi orangtua di era sekarang ini memang memiliki tantangan tersendiri karena adanya kemajua teknologi. Tanpa diragukan lagi, teknologi sudah sangat dekat dengan kehidupan, termasuk anak-anak. Menurut jajak pendapat nasional oleh Common Sense Media pada 2019, 43% anak-anak memiliki telepon pintar saat usia mereka 11 tahun.

Namun, perkembangan teknologi juga disinyalir turut andil dalam maraknya kenakalan pada anak dan remaja. Ketika kemajuan teknologi tidak ditanggapi secara bijak, maka bukan tidak mungkin justru dapat memberikan dampak negatif pada anak.

Orangtua perlu mengendalikan konten-konten apa saja yang bisa dibuka oleh anak. Jangan sampai konten yang seharusnya dibuka oleh orang dewasa seperti misalnya kekerasan justru dengan mudah diakses oleh anak.

“Dengan banyaknya informasi yang tersedia di internet, sulit bagi para orang tua memantau apa aja yang terpapar pada anak-anak mereka, termasuk konten yang tidak pantas atau interaksi dengan orang asing,” demikian dikutip dari Cerritos Collage.

Berdasarkan data Kemendikbudridtek sebanyak 24,4 persen anak di Indonesia berpotensi mengalami perundungan di sekolah. (Antara)

Kasandra Putranto menekanpen pentingnya peran orangtua untuk memantau aktivitas anak dengan teknologi sehingga dapat menghindari perilaku negatif dampak teknologi.

“Orangtua juga perlu memantau aktivitas online anak, agar dapat membantu mengenali indikasi atau tanda-tanda cyberbullying atau perilaku negatif lainnya,” tutur Kasandra.

“Pendampingan orangtua selama masa tumbuh kembang anak merupakan hal yang mutlak diperlukan. Orangtua perlu mengenali profil psikologis anak sejak dini, dengan membangun komunikasi terbuka, mendengarkan mereka dengan penuh perhatian tanpa menilai atau menghakimi,” kata Kasandra lagi.