JAKARTA – Kasus bullying atau perundungan di SMA Binus School International masih menjadi perbincangan. Kriminolog menyebut kekerasan fisik dan psikis yang diduga dilakukan sejumlah siswa senior terhadap juniornya sebagai perundungan ekstrem.
Berita perundungan yang terjadi di sekolah internasional di kawasan Tangerang Selatan ini pertama kali beredar pada Senin (19/2/2024). Anak artis, anak mantan anggota DPR yang juga petinggi di salah satu stasiun TV swasta, dan anak pejabat disebut terlibat dalam perundungan tersebut.
Hingga Jumat (23/2/2024) baru Vincent Rompies, yang buka suara terkait dugaan keterlibatan anaknya, Legolas Rompies.
"Pertama saya sangat berempati, atas kejadian atau peristiwa yang terjadi saat ini dan juga harapannya si semoga tidak ada lagi peristiwa-peristiwa atau kejadian seperti ini di masa mendatang baik di lingkungan sekolah atau di lingkungan terdekat semuanya tidak ada lagi," kata Vincent Rompies di Polres Tangerang Selatan, Kamis (22/2/2024).
Evaluasi Orangtua dan Anak
Mendapati anak sebagai pelaku perundungan bukan sesuatu yang mudah diterima. Perasaan marah dan kecewa hampir pasti muncul ketika mengetahui anak kita diduga menjadi pelaku perundungan.
Menurut psikolog klinis Kasandra Putranto, orangtua perlu menerima fakta bahwa anak telah melakukan sebuah kejahatan kepada orang lain dan melakukan evaluasi adalah hal yang harus dilakukan.
“Jangan membenarkan apa pun yang sudah dilakukan oleh anak. Kumpulkan data mengenai apa yang sudah dilakukan anak dan lakukan evaluasi mengapa hal tersebut bisa terjadi,” kata Kasandra kepada VOI.
“Bangun kedekatan dengan anak dan dengarkan pendapat mereka mengenai apa yang sudah ia lakukan,” ia menambahkan.
Kasandra Putranto menjelaskan, salah satu penyebab anak menjadi pelaku bullying adalah karena orangtua yang sering membanding-bandingkan anak atau kurang memerhatikan kebutuhan emosional anak.
Perundungan Ekstrem
Sampai saat ini belum diketahui apa motif para pelaku melakukan kekerasan kepada korban. Menurut kabar yang beredar di media sosial, insiden ini terkait dengan perploncoan agar diterima dalam kelompok atau geng GT.
Perundungan yang dilakukan anggota GT cukup memprihatinkan. Menurut pemeriksaan dokter, korban mengalami lebam dan terdapat luka bakar. Katanya, korban dipukul dengan balok kayu dan disundut rokok. Reza Indragiri Amriel, psikolog forensik, menuturkan perundungan yang diduga dilakukan belasan siswa senior SMA Binus School Serpong sebagai perundungan ekstrem.
Reza melanjutkan, kasus perundungan meski pelakunya adalah anak di bawah umur, tidak bisa ditolerir. Ia menyarankan langkah diversi dan litigasi bisa dijalankan bersamaan. Sebab bagaimanapun, anak masih memiliki masa depan.
"Seakan-akan kita harus memilih, memenjarakan anak atau tidak memenjarakan anak. Padahal dalam praktik di banyak negara antara diversi dan litigasi bisa dikombinasikan,” kata Reza.
"Misal anak-anak menjalani program pembinaan yang sifatnya gabungan: dari sore hingga pagi, anak berada di lapas anak. Kemudian pagi hingga sore, anak dikeluarkan dari lapas dan menjalani pembinaan yang berbasis pada masyarakat,” imbuhnya.
Perihal hukuman terhadap pelaku perundungan, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono mengatakan satuan pendidikan belum bisa memberi efek jera terhadap pelaku. Hal ini mengakibatkan kekerasan seperti perundungan terhadap anak masih terus terjadi.
Selain itu, sumber daya manusia yang terlibat dalam tim pencegahan dan penanganan di sekolah tidak semuanya memiliki kompetensi perlindungan anak yang komprehensif.
"Penanganan pelaku kekerasan di satuan pendidikan baru tahap penegakan aturan, belum menyentuh pada pemulihan dan penyadaran terhadap dampak perilaku negatif yang dilakukan dapat menyakiti orang lain dan merugikan diri sendiri, sehingga tidak muncul efek jera bagi pelaku yang berkelanjutan," kata Aris, mengutip Antara.
Aris menambahkan, perundungan masih sering terjadi di sekolah karena satuan pendidikan masih belum memahami bahwa selain fungsi pembelajaran, sekolah juga harus menjalankan fungsi perlindungan.
"Edukasi, sosialisasi, penguatan sistem pencegahan, dan penanganan pada satuan pendidikan masih belum maksimal. Rutinitas target kurikulum hanya pada capaian pengetahuan dan keterampilan, tetapi pada ranah sikap dan karakter anak masih belum mendapatkan perhatian serius," ujar Aris.
Dampak Serius Jangka Panjang
Perundungan hampir selalu memiliki dampak negatif pada korban, meski tidak semuanya demikian. Hasil sejumlah riset menunjukkan korban perundungan mengalami dampak serius. Selain trauma, korban juga disebut bisa bunuh diri.
Survei Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui Global School-based Student Health (GSHS) pada 2015 menunjukkan, 1 dari 20 remaja di Indonesia pernah memiliki keinginan bunuh diri. Dari data tersebut, sebanyak 20,9 persen memiliki niat bunuh diri karena sebelumnya menjadi korban perundungan.
BACA JUGA:
Selain itu, perilaku agresif di antara remaja, termasuk kekerasan dan perundungan, memiliki kaitan dengan meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental sepanjang masa kehidupan, fungsi sosial dan hasil belajar yang buruk.
Ini senada dengan hasil penelitian Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) 2018 yang melaporkan bahwa perundungan memiliki kaitan dengan kinerja membaca yang lebih rendah.