JAKARTA – Pemilu adalah momen yang penuh tantangan bagi semua yang terlibat dalam kontestasi politik. Tidak hanya mereka yang bertarung di kertas suara, para pendukung juga berpotensi mengalami stres ketika jagoan mereka mendapatkan hasil yang tidak sesuai ekspektasi.
Hasil quick count atau hitung cepat sejumlah lembaga survei menunjukkan pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul jauh dibandingkan dua pesaingnya Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Hingga Rabu (21/2/2024), real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menunjukkan paslon 02 unggul dengan memperoleh 58,77 persen suara, dari 73,37 persen surat suara yang masuk.
Di tengah perasaan gembira Prabowo, dan para pendukungnya tentu saja, banyak pihak yang tidak dengan lapang dada menerima hasil Pemilu. Tudingan kecurangan terus menggema bahkan sesaat setelah hasil hitung cepat bermunculan pada 14 Februari lalu.
Tuduhan kecurangan dari pihak yang kalah kepada yang menang tidak hanya sekali ini terjadi. Setidaknya di dua Pemilu sebelumnya, gaduh dari para pendukung yang kalah kerap mewarnai pemberitaan.
Dipengaruhi Pola Asuh
Perasaan sulit menerima kekalahan sebenarnya tidak hanya terjadi di musim Pemilu. Di berbagai pertandingan maupun kompetisi apa pun, kekalahan pasti menimbulkan kekecewaan dan itu adalah hal yang wajar.
Namun, menurut psikolog klinis Lita Gading, kesulitan menerima kekalahan berakar dari pola asuh orangtua di masa lalu. Tuntutan untuk selalu meraih kemenangan di setiap lomba atau mendapat peringkat satu di sekolah yang terjadi secara terus menerus memengaruhi seseorang menjadi kurang dewasa dalam berpikir, termasuk sulit menerima kekalahan.
“Pola asuh orangtua di masa lalu memengaruhi seseorang kurang dewasa dalam berpikir. Dewasa bukan hanya dilihat dari usia, tapi perilaku, cara berpikir, dan sebagainya,” kata Lita Gading saat berbincang dengan VOI.
“Bagaimana bentuk pola asuh di masa lalu, bagaimana pendidikan yang diterapkan, pada akhirnya menentukan bagaimana seseorang untuk bersikap kompetitif, belajar menerima kekalahan dengan legawa,” imbuhnya.
Lita Gading menjelaskan, kedewasaan seseorang tidak terbentuk secara instan. Perlu latihan berulang-ulang yang berawal dari pola asuh orangtua. Ia juga menambahkan, seseorang yang kesulitan menerima kekalahan karena kurangnya proses konsep diri.
Apalagi, di Indonesia kekalahan sering dicap sebagai sebuah aib, sebagai sesuai yang memalukan. Padahal seharusnya sedari dini anak perlu diajarkan bahwa dalam permainan, menang dan kalah adalah hal biasa.
“Orang-orang yang tidak menerima kekalahan adalah bentuk arogansi orang tersebut. Mindset menerima kekalahan ini tidak terlatih sejak kecil,” kata Lita Gading lagi.
“Kekalahan bukan sesuatu yang buruk, tapi untuk menerimanya perlu latihan sejak kecil. Karena kalah sudah dewasa akan sulit melatihnya,” ia menambahkan.
Pakar Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia Dicky C. Pelupessy mengatakan, mengelola pikiran menjadi kunci bagi mereka yang merasa stres dan kecewa setelah Pemilu berlangsung. Hal ini tidak hanya berlaku bagi pendukung, tapi juga para calon legislatif yang tidak mendapatkan hasil sesuai ekspektasi.
BACA JUGA:
“Bisa dimulai seperti ini, ya. Misalnya, dengan pengertian bahwa namanya mengikuti kompetisi, ya, ada kemungkinan menang, ada kemungkinan kalah. Itu satu contoh bahwa yang dilakukan adalah mengelola pikiran kita,” kata Dicky, dikutip Antara.
“Rumus sederhananya adalah mengelola pikiran dan stabilkan emosi. Mungkin sulit karena masih hangat, tapi coba jangan buka berita atau sosial media agar kecewa dan stresnya perlahan mereda. Intinya kemudian memang perasaan itu, kita stabilkan,” ungkapnya.
Pendukung Fanatik Lebih Berpotensi Stres
Lebih lanjut, Lita Gading tidak menampik adanya potensi stres atau depresi bagi mereka yang sulit menerima kekalahan.
“Pasti ada kemungkinan itu, karena harapan dan kenyataan tidak sebanding sehingga bisa membuat stres. Pada dasarnya, stres adalah ketika ada harapan yang besar tapi yang terjadi tidak sesuai dengan kenyataan,” pungkasnya.
Hal senada juga diungkapkan dokter spesialias kedokteran jiwa di RS Jiwa Daerah Abepura, Manoe Bernd Paul. Ia tidak menampik bahwa tekanan Pemilu berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang. Selain itu, dokter Bernd Manoe juga menilai pemilih fanatik berisiko lebih besar mengalami stres dibandingkan pemilih rasional. Hal ini terjadi karena banyak di antara mereka yang sudah menjadi pendukung garis keras cenderung lebih mudah terstimulasi emosinya ketika pilihannya mendapat kritik atau serangan.
Di sisi lain, psikolog dari Universitas Parahyangan Ignatia Ria Natalia menjelaskan, pendukung fanatik cenderung menaruh harapan lebih besar terhadap sosok yang diidolakan. Bahkan tidak jarang, mereka sampai menganggap figur idolanya itu seperti orang suci.
Para pendukung fanatik ini, berisiko mengalami kecemasan tak terkendali karena seluruh energid an perhatiannya terkuras pada jagoannya.
“Para pendukung fanatik itu bisa rentan terkena depresi, tertekan kalau misalkan orang yang dia dukung kalah, kemudian menerima hujatan, terlebih menerima hujatan di media sosial dan dia tidak siap dengan itu,” ucap Ignatia.
“Sebenarnya yang menjadi semerawut itu kan bukan tentang si pasangan calonnya masing-masing, tetapi si pendukung-pendukung fanatik ini yang bikin rusuh sebenarnya,“ jelas Ignatia.