Bagikan:

JAKARTA – Kasus perundungan di lingkungan sekolah kembali menjadi perbincangan hangat masyarakat. Kali ini turut menyeret nama anak artis Vincent Rompies, Farrel Legolas Rompies.

Nama Vincent dan Legolas menjadi trending topic di media sosial X sejak Senin (19/2/2024). Penyebabnya karena Legolas diduga terlibat dalam kasus perundungan yang terjadi di SMA internasional Binus School Tangerang Selatan.

Kabar perundungan ini dengan cepat menyebar di media sosial. Korban perundungan yang merupakan siswa Binus School Tangerang Selatan bahkan harus dilarikan ke rumah sakit. Menurut hasil pemeriksaan, korban didugan mengalami perundungan dari lebih dari satu pelaku. Kanit PPA Polres Tangerang Selatan Ipda Galih mengatakan dari tubuh korban ditemukan adanya sejumlah luka memar hingga bekas luka bakar.

Perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah seolah menjadi makanan sehari-hari yang mencoreng dunia pendidikan Tanah Air. Perundungan disebut termasuk salah satu dari tiga dosa besar pendidikan selain kekerasan seksual dan intoleransi yang sampai sekarang sulit untuk dihapus.

Disebabkan Berbagai Faktor

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bahkan mencatat sepanjang 2023 terjadi 30 kasus perundungan di satuan pendidikan. Jumlah ini cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, ketika FSGI mencatat 21 kasus perundungan.

Dari total kasus yang terjadi tahun 2023, 80 persen di antaranya terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek dan 20 persen di satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) perundungan adalah segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan secara sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus.

Sementara menurut Olweus perundungan merupakan perilaku yang kompleks dan dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan.

Binus School Serpong. (Galeri Binus School)

Menurut beberapa kalangan, perasaan superior antara pelaku dan korban perundungan bisa menjadi salah satu motivasi di balik perilaku perundungan di lingkungan sekolah. Namun psikolog forensik dan klinis Kasandra Putranto justru berkata sebaliknya. Ia mengatakan terdapat banyak faktor lain yang juga memainkan peran penting, salah satunya justru untuk menyembunyikan kelemahan si pelaku perundungan.

“Kondisi ini bisa muncul dari rasa tidak berdaya atau ketidakamanan mereka yang mereka kompensasi dengan cara merendahkan orang lain,” kata Kasandra kepada VOI.

“Selain itu bisa jadi merupakan upaya mereka untuk merasa lebih baik dengan memperlihatkan kelemahan orang lain,” imbuh Kasandra.

Lebih lanjut Kasandra menuturkan, perilaku membully atau senang merundung orang lain juga bisa dipicu oleh apa yang terjadi di rumah. Semakin sering anak menyaksikan atau mengalami perilaku agresif di rumah atau di lingkungannya, maka kemungkinan mereka meniru perilaku tersebut semakin besar.

“Ini bisa membuat mereka kurang peka terhadap dampak emosional dari perilaku mereka, termasuk efek buruk dari perundungan. Anak-anak mungkin merasa perlu untuk melakukan perundungan agar diterima oleh kelompok mereka atau agar tidak menjadi sasaran sendiri,” Kasandra menjelaskan.

Butuh Kolaborasi Rumah dan Sekolah

Meski perundungan di lingkungan sekolah bukan hal baru, namun kasus perundungan yang terjadi di Binus School tetap mengejutkan. Bukan apa-apa, Binus School termasuk di antara sekolah elite yang hanya bisa ditembus oleh kalangan menengah ke atas.

Ada harapan dari orangtua bahwa dengan memasukkan anak ke sekolah yang dianggap sebagai sekolah elite, pengawasan terhadap peserta didik lebih baik dibandingkan sekolah lainnya.

Kasandra menurutkan, kenyataannya tidak banyak sekolah atau pesantren di Indonesia yang memiliki manajemen anti-perundungan yang tersusun sebagai sistem yang utuh dan mandiri, di luar kurikulum diknas yang berisi tema-tema perundungan dan nilai anti-perundungan untuk diajarkan dan dipraktikkan kepada peserta didik pada jam pelajaran di luar jam pelajaran kurikulum diknas.

“Kalaupun ada yang secara utuh dan mandiri mungkin bisa dihitung dengan jari,” jelas Kasandra.

Anak Vincent Rompies, Farrel Legolas Rompies, terlibat dalam kasus perundungan di Binus School Serpong. (Instagram/@vincentrompies)

Sebelumnya, Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti, Msi, mengatakan untuk mencegah perundungan tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Butuh kolaborasi yang sinergi antara rumah atau keluarga an sekolah. Karena bagaimana pun, rumah adalah pusat pendidikan, tempat pertama dan paling penting untuk membentuk perilaku anak.

Retno menjelaskan, anak yang menerima perlakuan yang menyenangkan di rumah, maka dia pun akan bersikap menyenangkan di sekolah. Sebaliknya, anak-anak yang sering mendapat kekerasan di rumah maka dia akan melampiaskan kemarahannya kepada teman-temannya di sekolah.

“Anak yang melakukan kekerasan biasanya dapat kekerasan di rumah. Perundungan atau perundungan ini sangat bergantung pada masa lalu anak. Sekolah adalah rumah kedua, sementara rumah pertama anak adalah keluarga, yaitu di rumah. Apa yang terjadi di sekolah adalah bentukan dari rumah,” ujar Retno Listyarti kepada VOI.