JAKARTA – “Prabowo-Gibran dan seluruh Koalisi Indonesia Maju, kami akan merangkul semua unsur dan semua kekuatan,” ujar Prabowo Subianto dalam pidatonya di Istora Senayan, Rabu (14/2024).
“Kami akan menjadi presiden, wakil presiden, dan pemerintah untuk seluruh rakyat Indonesia,” sambung Ketua Partai Gerindra ini.
Pidato tersebut disampaikan Prabowo Subianto setelah ia dan Gibran Rakabuming Raka diketahui menduduki peringkat teratas quick count atau hitung cepat di beberapa lembaga survei.
Meski mendapat suara terbanyak, hasil hitung cepat menunjukkan jumlah suara Koalisi Indonesia Maju di parlemen masih kurang dari 50 persen.

Jika menghitung kekuatan suara dari akumulasi parpol pendukung Prabowo-Gibran berdasarkan quick count berada di kisaran 42-43 persen.
Adalah Gerindra, Golkar, Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN), parpol yang tergabung dalam KIM yang berasal dari parlemen. Itu masih ditambah empat partai non-parlemen yaitu PSI, Partai Gelora Indonesia, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Garuda.
Berpotensi Ciptakan Abuse of Power
Dengan perolehan suara KIM yang masih kurang dari 50 persen, maka wajar jika Prabowo menyatakan keinginannya merangkul semua unsur seusai ia memenangkan PIlpres 2024.
Direktur Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo, rekonsiliasi selepas PIlpres adalah sesuatu yang positif, tapi jika ditelaah lebih jauh, pemerintah tanpa oposisi bisa membahayakan demokrasi.
“Rekonsiliasi adalah sesuatu yang wajar bagi setiap pemenang PIlpres. Dia (Prabowo) sadar dukungan politik di parlemen tidak cukup kuat. Prabowo wajar ingin mengajak partai di luar koalisi untuk ciptakan kekuatan politik, keamanan,” kata Karyono Wibowo saat dihubungi VOI.
Karyono menambahkan, rekonsiliasi bertujuan untuk memuluskan kebijkan program pemerintahan agar mendapat dukungan mutlak di parlemen. Menurutnya, ini lazim dilakukan kalau dukungan politik di parlemen tidak cukup kuat.

Upaya mewujudkan koalisi yang gemuk di parlemen dituturkan Karyono, berpotensi berdampak negatif. Rekonsiliasi antara koalisi pemenang dan yang kalah justru bisa mengancam demokrasi Indonesia.
“Rekonsiliasi jika hanya untuk memperkuat posisi eksekutif tidak sehat, karena negara yang demokratis butuh kekuatan penyeimbang, butuh oposisi, untuk mengontrol jalannya pemerintahan,” kata Karyono lagi.
Koalisi dengan mengajak hampir semua partai hanya akan berpotensi memunculkan executive heavy atau pemerintah yang terlalu berkuasa, menurut Karyono. Dengan begitu, pemerintah yang terlalu kuat bisa menimbulkan abuse of power, penyalahgunaan wewenang, ceenderung korup, cenderung otoriter karena tidak ada kontrol.
“Sehingga, tetap butuh parpol yang oposisi, gunanya untuk mengontrol kebijakan agar on the right track dengan konstitusi, dengan regulasi dengan visi misi Capres dan Cawapres pemenang. Kalau tidak ada, nanti bisa kebablasan,” terangnya.
Luka PDIP Terlalu Dalam
Capres nomor urut satu Anies Baswedan angkat bicara soal keinginan Prabowo merangkul semua unsur seusai mengungguli hasil hitung cepat Pilpres 2024. Tapi dari ucapannya, Capres yang diusung Koalisi Perubahan ini seolah enggan menerima ajakan Prabowo.
“Penghitungan aja belum selesai, tuntaskan dulu, satu-satu,” ucap Anies di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, mengutip Kompas.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menegaskan saat ini tengah fokus melakukan pengawalan penghitungan suara agar pemilu berjalan bersih, jujur, dan adil.
Sementara itu, PDIP sudah dengan tegas menyatakan siap menjadi oposisi. Berdasarkan hitung cepat, suara PDIP masih berada di urutan pertama, bahkan mengalahkan Golkar dan Gerindra yang mengusung Prabowo-Gibran.
Quick count di sejumlah lembaga survei menyatakan PDIP mendapat suara 15-16 persen. Angka ini turun dibandingkan perolehan suara mereka pada Pemilu 2014 dan 2019 yang mendapat 18,95 persen dan 19,33 persen.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan partai berlambang banteng moncong putih itu siap berjuang sebagai oposisi di luar pemerintahan dan parlemen untuk menjalankan tugas check and balance.
Menurutnya, berada di luar pemerintahan adalah suatu tugas patriotik dan pernah dijalani PDI Perjuangan pasca Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.
“Ketika PDI Perjuangan berada di luar pemerintahan tahun 2004 dan 2009, kami banyak diapresiasi karena peran serta meningkatkan kualitas demokrasi. Bahkan, tugas di luar pemerintahan, suatu tugas yang patriotik bagi pembelaan kepentingan rakyat itu sendiri,” kata Hasto.
Karyono Wibowo tidak menutup kemungkinan bahwa PDIP akan juga bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran nantinya, meski boleh dibilang peluangnya sangat kecil.
Tapi ia berharap PDIP dan partai lainnya yang tidak termasuk dalam KIM tetap berada di luar pemerintahan.
BACA JUGA:
“Bila perlu partai pengusung 01 dan 03 tetap di luar pemerintahan karena berperan sebagai penyeimbang,” ucap Karyono.
“PDIP masih punya peluang, tapi kelihatanya, konflik Jokowi dengan PDIP terlalu dalam sehingga agak sulit,” ia menambahkan.
Rekonsiliasi memang hal yang lazim dilakukan utuk membangun pemerintahan yang kuat. Tapi jika di setiap pemilu semua partainya harus rekonsiliasi, maka makna pemilu itu sendiri patut dipertanyakan. Padahal oposisi justru bisa membuat kelompok yang berkuasa tidak kebablasan.