Pelarangan TikTok Shop Tak Otomatis Kembalikan Kejayaan Pasar Konvensional
TikTok, platform media sosial yang kini merambah perdagangan daring dan bakal dilarang di Indonesia karena dianggap menghancurkan UMKM. (Unsplash/Olivier Berge)

Bagikan:

JAKARTA - Para pedagang di Pasar Tanah Abang dan banyak pasar konvensional di Indonesia, kompak mengeluh dalam beberapa bulan terakhir. Alasannya sama, sepi pembeli yang membuat penghasilan merosot tajam sejak pandemi COVID-19. Kehadiran TikTok Shop dituding sebagai salah satu penyebab kelesuan omzet penjualan di Pasar Tanah Abang dan pasar konvensional lain.

Tanah Abang yang berlokasi di Jakarta Pusat dikenal sebagai salah satu pusat grosir terbesar di Asia Tenggara. Pengunjung yang datang tidak hanya dari Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, tapi juga dari luar daerah tersebut.

Umumnya, pembeli di Pasar Tanah Abang melakukan pembelian secara grosir untuk kemudian dijual kembali. Makanya, Pasar Tanah Abang boleh dibilang tidak pernah sepi pengunjung.

Suasana Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat yang tidak seramai sebelum era perdagangan daring merambah Indonesia. (VOI/Rizky Sulistio)

Tapi hal itu berubah drastis sejak pandemi COVID-19 yang menghantam Indonesia pada 2020. Bahkan ketika pandemi sudah usai, Pasar Tanah Abang tak pernah kembali seperti semula.

Tren e-commerce atau belanja daring makin diminati masyarakat. Hanya melalui telepon pintar dalam genggaman, masyarakat sudah bisa memiliki barang idaman dengan beberapa kali klik.

Manfaatkan Kemajuan Teknologi

Pasar Tanah Abang lahir dari permintaan pejabat VOC bernama Justinus Vinck untuk mendirikan pasar di lahan miliknya pada 1733. Artinya Pasar Tanah Abang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.

Singkat cerita, Pasar Tanah Abang tumbuh menjadi fasilitas serba lengkap seperti yang kita lihat saat ini sejak pengelolaannya diambil alih Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya. Pasar Tanah Abang dibangun bertingkat pada 1973. Pada 1990-an, perputaran uang di pasar ini mencapai Rp10 miliar per hari.

Tapi Pasar Tanah Abang yang sekarang tidak seperti Pasar Tanah Abang yang dulu. Aktivitas jual beli di pasar terbesar di Jakarta tersebut merosot. Selain karena pandemi, gempuran perkembangan teknologi juga diklaim menjadi salah satu yang memungkinkan masyarakat untuk belanja secara daring.

Pedagang pakaian di Pasar Tanah Abang, Jakarta menawarkan dagangannya secara daring melalui siaran langsung menggunakan ponsel, Selasa 13 Juni 2023. (Antara/Aprilio Akbar)

Menurut pengamat ekonomi digital, Ignatius Untung Surapati, kondisi serupa tidak hanya terjadi di Pasar Tanah Abang saja. Beberapa lokasi lain seperti ITC Fatmawati, ITC Ambassador dan toko luring lainnya juga bernasib sama.

“Kita engga cuma ngomong Pasar Tanah Abang, ada sentra ponsel ITC Fatmawati, ITC Ambasador, itu tidak seramai dulu,” Untung menjelaskan saat berdiskusi dengan tajuk “Dampak Social Commerce pada UMKM di Indonesia”, Jumat, 15 September.

Menurut Untung, pesatnya perkembangan teknologi mendorong para pedagang untuk beralih berjualan secara daring. Kegiatan jual beli barang melalui marketplace lebih digemari karena penjual sudah mencantumkan harga produk.

Praktik Politik Dumping

Berbelanja secara live streaming sedang digemari masyarakat akhir-akhr ini. Salah satu platform marketplace yang sedang digandrungi masyarakat adalah TikTok Shop.

Harga yang jauh lebih murah dibandingkan di toko luring membuat masyarakat beralih belanja online. Pedagang di Pasar Tanah Abang mengaku kesulitan menyaingi harga yang dijual di TikTok Shop.

Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhammad Andri Perdana mengatakan para pedagang offline kesulitan bersaing dengan TikTok Shop karena adanya barang impor cross border.

Cross border adalah masuknya barang impor ke dalam wilayah suatu negara tanpa melewati proses pemeriksaan pabean. Kehadiran platform seperti TikTok Shop memungkinkan adanya barang impor cross border yang dikirim langsung ke konsumen dari luar negeri dengan harga lebih murah.

Praktik perdagangan cross border meresahkan pelaku UMKM, karena salah satu dampak negatifnya adalah hanya menguntungkan pedagang asing. Ini karena disebabkan mereka menjajakan produk dengan harga sangat murah.

Sentra perdagangan ponsel di ITC Roxy Square, Jakarta yang sepi sejak toko daring menjamur. (Antara/Muhammad Adimaja)

“Ini terjadinya karena adanya politik dumping, di mana barang diekspor dijual lebih murah agar menguasai pasar di negara tersebut. Padahal, barang-barang yang dijual mungkin bukan barang bagus, sehingga didumping di Indonesia. Dengan impor cross border kita tidak bisa memastikan apakah barang yang dijual bagus. TikTok juga menjual barang secara impor langsung ke ritel,” kata Andri saat dihubungi VOI.

Untuk melindungi UMKM, pemerintah berencana melarang TikTok Shop. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan telah menggelar rapat dengan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Senin (11/9) lalu untuk membahas rencana pelarangan TikTok Shop di Indonesia.  

Namun, Andri memiliki pandagan lain. Menurutnya, pemerintah tidak perlu langsung ‘mematikan’ TikTok Shop karena pada dasarnya tak sedikit juga UMKM yang mau mengikuti perkembangan teknologi dan terbantu dengan memanfaatkan e-commerce.

Andri justru mendorong pedagang di Pasar Tanah Abang untuk lebih berani menempatkan diri pada target berbeda, contohnya menyasar kalangan menengah ke atas.

“Sejak pandemi, efek ekonomi sangat terasa. Pada 2022 juga terjadi inflasi tertinggi dalam delapan tahun terakhir. Daya beli masyarakat di Indonesia, bahkan dunia juga menurun. Sehingga untuk masyarakat kelas menengah memilih barang yang lebih murah,” Andri menjelaskan.

“Untuk Pasar Tanah Abang, bisa menempatkan diri di pasar berbeda, lebih mengedepankan kualitas karena sekarang tidak bisa bersaing secara harga. Kelas menengah masih suka kelebihan di toko offline. Apalagi, terkadang barang murah di TikTok Shop tidak bisa dipastikan, tidak sesuai ekspektasi.”