Bagikan:

JAKARTA - Kasus dokter gadungan yang terjadi Surabaya menghebohkan publik. Bagaimana tidak, dokter merupakan profesi yang berhubungan langsung dengan masyarakat.

Aksi tipu-tipu Susanto, terdakwa dokter gadungan di Surabaya, terbongkar setelah Rumah Sakit Pelindo Husada Citra (RS PHC) saat akan memperpanjang kontrak kerjanya pada April 2023. Dokter gadungan itu kemudian dilaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim).

Susanto diterima kerja melalui proses rekrutmen yang digelar secara daring di tengah pandemi COVID-19 pada 2020 dan dikontrak dua tahun. Artinya Susanto sudah bekerja selama kurang lebih dua tahun.

Namun, dalam keterangan resmi, Direktur Utama RS PHC dr Sunardjo menegaskan Susanto tidak pernah sekali pun ditempatkan untuk melayani pasien umum RS PHC Surabaya. Dokter gadungan ini ditempatkan di klinik Occupational Health & Indutrial Hygiene (OHIH), klinik K3 PT Pertamina EP IV Cepu.

Proses Kredensial Perekrutan Dokter 

Publik kemudian makin terheran-heran dengan rekam jejak Susanto yang sudah berulang kali melakukan kejahatan serupa. Termasuk dengan kasus teranyar, pria lulusan SMA ini sudah tujuh kali melakukan penipuan dengan menjadi dokter gadungan. Dia bahkan pernah mendekam di penjara selama 20 bulan karena kasus serupa.

Yang menjadi pertanyaannya, mengapa Susanto seperti leluasa berulang kali melakukan penipuan. Padahal seperti yang kita tahu, menjadi dokter bukanlah pekerjaan mudah. DR.dr Moh. Adib Khumaidi, SpOT, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia mengatakan kemajuan teknologi menjadi salah satu faktor yang memudahkan pelaku untuk melakukan kejahatan termasuk dengan membuat dokumen palsu.

Seperti diketahui, terdakwa melamar sebagai dokter di PT PHC menggunakan identitas palsu milik dokter bernama Anggi Yurikno, seorang dokter di Kabupaten Bandung. Kejanggalan ditemukan saat PT PHC melakukan proses perpanjangan kontrak kerja.

Dr. Adib menjelaskan, dalam proses rekrutmen tenaga medis atau tenaga kesehatan perlu untuk memperhatikan penugasan klinis dan kewenangan klinis atau clinical appointment dan clinical privilege. Dalam hal ini, saat proses rekrutmen fasilitas kesehatan (faskes) harus melakukan proses yang sangat penting, yang disebut kredensial.

“Dalam proses kredensial bukan hanya pemeriksaan dokumen atau pemberkasan dokumen, tapi dalam proses krendensial ada organisasi internal disebut Komite Rekomendasi Izin Praktik (KRIP),” tutur Adib dalam konferensi pers virtual, Kamis, 14 September.

RS Pelindo Husada Citra (PHC) di kawasan Tanjung Perak, Surabaya yang sempat mempekerjakan seorang dokter gadungan bernama Susanto selama 2020-2022. (Antara)

Dalam proses kredensial, KRIP inilah yang kemudian memberikan rekomendasi apakah si pelamar ini dokter asli atau justru dokter gadungan.

Dalam kesempatan yang sama, anggota Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) dr. Dewa Nyoman Sutayana, SH, MH, Mars mengatakan proses kredensial adalah bagian terpenting dalam proses perekrutan tenaga medis oleh faskes.

Dalam proses kredensial seharusnya ada tim komite medik yang menanyakan sejawat dokternya soal pengalaman terdahulu, memverifikasi dokumen-dokumen yang dibutuhkan, termasuk menyelidiki apakah yang bersangkutan tersangkut kasus di pengalaman sebelumnya. Proses kredensial ini sebaiknya diulang setiap satu tahun sekali.

“Kredensial dilakukan untuk menjamin bahwa yang berhadapan dengan pasien adalah dokter betulan atau dokter yang kompeten. Jika proses kredensial dilakukan secara optimal, maka dokter gadungan tidak akan lolos,” kata dr.Dewa.

Marak Terjadi di Klinik Kesehatan

Selain itu, dr. Dewa menuturkan soal dampak negatif banyaknya informasi kesehatan yang beredar luas di internet. Banyak informasi kesehatan di era digital seperti sekarang ini sebenarnya memiliki tujuan baik untuk masyarakat. Dengan kemudahan mengakses informasi kesehatan, masyarakat diharapkan lebih waspada dan dapat melakukan penanganan pertama sebelum memeriksakan diri ke dokter.

Tapi di sisi lain, informasi ini diduga disalaggunakan oleh oknum tertentu untuk bertindak sebagai dokteroid atau dokter gadungan.

“Dengan kemudahan mengakses informasi kesehatan ini orang mudah mengetahui penyebab suatu penyakit, gejalanya apa, pengobatannya bagaimana. Untuk orang awam informasi kesehatan ini bagus, tapi untuk yang punya niat jelek, informasi ini kemudian disalahgunakan oleh orang-orang yang menganggap dirinya sebagai dokter. Dia memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk masuk ke dalam fasilitas kesehatan,” dr.Dewa menegaskan.

IDI sendiri mengistilahkan dokter gadungan sebagai ‘dokteroid’ yaitu seseorang yang bukan dokter namun melakukan praktik kedokteran. Dokteroid ini tidak hanya dilakukan oleh orang biasa, seperti yang dilakukan Susanto, tapi bisa juga dilakukan seseorang yang merupakan tenaga kesehatan (perawat, bidan, farmasi). Padahal praktik kedokteran hanya bisa dilakukan oleh tenaga medis, yaitu dokter dan dokter gigi.

Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) dr. Dewa Nyoman Sutayana, SH, MH, Mars. (Tangkapan Layar Zoom Meeting)

Menurut dr. Dewa, di era sekarang ini sebenarnya banyak sekali kasus dokteroid yang tersebar di masyarakat. Salah satu contoh yang paling sering terjadi adalah di salon kecantikan, di mana biasanya mengenakan jas putih dokter atau yang disebut snelli, padahal dia bukan dokter yang ahli di bidang estetis melainkan hanya ahli kecantikan.

Padahal menurut Pasal 312 UU Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan menegaskan bahwa setiap orang dilarang (a) tanpa hak menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat yang bersangkutan merupakan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah memiliki STR dan/atau SIP.

Setiap orang yang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan di masyarakat bahwa yang bersangkutan adalah tenaga medis atau tenaga kesehatan dapat dipidana dengan penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp500 juta. Hal ini dimuat dalam Pasal 441 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.