Bagikan:

JAKARTA - Polusi udara masih mengintai masyarakat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, meski kota lainnya di Indonesia juga tidak lebih baik kondisinya. Di tengah situasi yang tak kunjung membaik, pemerintah dinilai tidak serius dalam upaya memperbaiki kualitas udara, utamanya kawasan Jabodetabek.

Padahal, polusi udara mengakibatkan sejumlah masalah, di antaranya peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang melonjak dalam beberapa bulan ke belakang.

Seperti yang kita ketahui bersama, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta dan sejumlah kota lainnya stabil buruk, terhitung sejak Juli lalu.

Ini jelas bukan kondisi ideal untuk warga. Dan publik pun makin geram lantaran pemerintah kelihatannya tak melakukan upaya penanganan secara serius untuk mengatasi polusi yang sudah sangat meresahkan ini.

Menyalahkan Cuaca Tidak Solutif

Dalam sebuah kesempatan sesuai menggelar rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada 14 Agustus lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, polusi udara disebabkan oleh kemarau panjang hingga adanya konsentrasi polutan.

“Ada beberapa faktor antara lain kemarau panjang, kemudian konsentrasi polutan, lalu ada emisi dan transportasi termasuk dari manufaktur industri,”ujar Siti kala itu.

Menyalahkan kemarau sebagai penyebab polusi sungguhlah tidak solutif. Ini menjadi salah satu bukti pemerintah ‘cuci tangan’ dengan situasi sekarang. Terkini, Polda Metro Jaya meniadakan tilang uji emisi kendaraan. Keputusan tersebut diambil karena sanksi tilang uji emisi kendaraan dinilai tidak efektif.

Padahal, tilang uji emisi kendaraan dinilai sebagai salah satu cara untuk mengatasi polusi. Maklum, kendaraan bermotor diklaim sebagai salah satu pencemaran kualitas udara. Menurut catatan, pada tahun 2022 lalu ada 24,5 juta kendaraan bermotor dan 19,2 juta di antaranya sepeda motor.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bersama Polda Metro Jaya sebelumnya resmi menerapkan tilang uji emisi yang berlaku sejak 1 September hingga 31 November 2023. Dalam penerapan tilang, pengendara diberikan sanksi merujuk Pasal 285 dan Pasal 286 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Berdasarkan aturan tersebut, pengendara motor yang melanggar akan dikenakan denda Rp250 ribu, sedangkan pengendara mobil Rp500 ribu. Denda tilang uji emisi dinilai memberatkan dan malah berpeluang menimbulkan masalah baru.

Petugas Suku Dinas Lingkungan Hidup Pemkot Jakarta Utara menguji emisi pada kendaraan bermotor di Ancol, Jakarta, Selasa (12/9/2023). Satgas Pengendalian Polusi Udara Polda Metro Jaya menghentikan kebijakan penilangan yang berkaitan dengan uji emisi kendaraan roda dua maupun roda empat karena dinilai tidak efektif. (Antara/Aditya Pradana)

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menyayangkan keputusan pembatalan tilang uji emisi. Menurutnya, dengan adanya sanksi justru akan memaksa masyarakat untuk menyadari pentingnya uji emisi.

“Tilang uji emisi dibatalkan karena katanya sanksinya memberatkan. Padahal dengan adanya sanksi, masyarakat akan melakukan uji emisi. Nah, kalau tidak sanksi begini ya masyarakat tidak mau uji emisi,” kata Trubus saat dihubungi VOI.

“Idealnya memang tetap dijalankan (tilang uji emisi), karena kalau hanya mengandalkan kesadaran masyarakat, loyalitas masyarakat kita sangat rendah.”

Untuk ‘membantu’ pengendara yang merasa keberatan dengan adanya tilang uji emisi, Trubus mengatakan seharusnya pemerintah punya solusi, alih-alih malah ditiadakan sama sekali. Memberikan subsidi kepada mereka yang tidak mampu dinila bisa membantu masyarakat yang terkena tilang uji emisi.

“Pergub sudah mengatur uji emisi ini, lantas kenapa tidak dilaksanakan? Kalau ada masyarakat yang tidak mampu seharusnya bisa mendatangi bengkel rujukan dan mendapatkan subsidi. Misal sudah tes tiga kali tapi tidak lolos, maka harus diberikan solusi dengan dirujuk ke bengkel yang ditunjuk,” kata Trubus menambahkan.

Transportasi Publik Kurang Dilirik  

Pemerintah juga menyerukan kepada masyarakat untuk beralih ke transportasi publik, seperti yang dilakukan saat peresmian LRT beberapa waktu lalu. Menggunakan transportasi publik bisa mengurangi gas emisi rumah kaca, sehingga polusi udara bisa sedikit teratasi.

Namun Trubus mengatakan untuk saat ini sulit untuk mengajak masyarakat menggunakan transportasi publik. Bukan apa-apa, kondisi transportasi publik masih jauh dari harapan, salah satunya adalah belum terintegrasi. Hal ini membuat masyarakat enggan melirik transportasi massal. 

“Keberadaan transportasi publik tidak memadai, tidak cukup untuk menampung masyarakat. Apalagi transportasi publik juga belum terintegrasi. Di satu sisi, angkot di wilayah penyangga juga masih menggunakan BBM fosil sehingga perlu dilakukan peremajaan,” imbuhnya.

Penggunaan transportasi masaal bertenaga listrik diharapkan mampu mengurangi polusi udara di Jabodetabek, meskipun hingga belum menunjukkan hasil maksimal. (Antara)

Keseriusan pemerintah mengatasi polusi juga dipertanyakan setelah mereka mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan empat pihak yang digugat oleh Tim Advokasi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) telah melakukan perbuatan melawan hukum berkaitan dengan penanganan polusi udara. Hal tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 17 Oktober 2022.

Dalam hal ini, yang termasuk para tergugat adalah Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Gubernur DKI Jakarta. Selain itu, tergugat mencakup Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat.

Trubus Rahardiansyah menyinggung pemerintah yang menurutnya terlalu mempertimbangkan teori cost and benefit. Atau dengan kata lain mempertimbangkan apakah anggaran yang dikeluarkan untuk menanggulangi polusi udara sebanding dengan keuntungan yang didapat.