Bagikan:

JAKARTA - Ganjar Pranowo mendadak muncul dalam video azan maghrib di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia. Kemunculannya mengundang polemik dan langsung menjadi perbincangan masyarakat.

Dalam video tersebut terlihat Ganjar Pranowo yang mengenakan kemeja putih sedang berwudhu lalu dilanjutkan dengan sholat berjamaah di sebuah masjid. Video tersebut beredar luas di media sosial dengan beragam komentar di dalamnya.

Kebanyakan warganet menuding bakal calon presiden dari PDI Perjuangan ini melakukan politik identitas. Ini karena sebelumnya belum ada pejabat publik muncul sebagai model video azan, apalagi terjadi di tahun politik.

Namun tak sedikit pula yang memberikan respons positif perihal kemunculan mantan Gubernur Jawa Tengah tersebut sebagai model video azan.

Tidak Menjual Agama

Pakar Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Andriadi Achmad mengatakan politik identitas adalah ketika seseorang menggunakan suku, agama atau ras untuk berpolitik. Salah satu contoh politik identitas yang pernah terjadi di Indonesia adalah saat Pilkada Jakarta 2017. Saat itu isu agama menjadi bahan kampanye atau gorengan suatu kelompok untuk menjatuhkan kelompok lain.

“Politik identitas itu memuat isu-isu SARA. Contohnya adalah saat Pilkada Jakarta 2017, padahal di edisi sebelumnya tidak seperti itu. Kala itu politik identitas tidak bisa dihindari sehingga menjadi bahan gorengan kelompok lain,” kata Andriadi saat berbincang dengan VOI pada Senin (11/9/2023).

Meski demikan, Andriadi Achmad menilai kemunculan Ganjar Pranowo dalam video azan beberapa hari lalu tidak termasuk politik identitas. Mengapa demikian?

Andriadi tidak menganggap Ganjar Pranowo sedang melakukan politik identitas karena bakal Capres dari PDI-P ini tidak sedang menonjolkan sesuatu yang berbeda dengan Bacapres lainnya. Jika Ganjar dituding melakukan politik identitas dengan “menjual agama” menurut Andriadi tidak tepat, karena dua calon lainnya pun sama-sama beragama Islam.

Capres PDIP, Ganjar Pranowo saat turun menemui konstituennya di berbagai daerah. (Antara)

Selain itu, Andriadi juga tidak memasukkan kemunculan Ganjar Pranowo di video azan sebagai politik identitas lantaran pria kelahiran 28 Oktober 1968 saat ini berstatus pengangguran.

“Tampilnya Ganjar di video azan sebenarnya tidak ada persoalan. Kan capres lainnya juga beragama Islam. Disebut politik identitas jika Capres lainnya berbeda agama, ini kan Islam semua. Selain itu, Capres lainnya juga diusung partai Islam. Anies Baswedan diusung oleh PKS dan PKB, Ganjar diusung PPP dan Prabowo Subianto oleh PAN,” Andriadi menambahkan.

“Video azan yang menampilkan Ganjar Pranowo juga tak bisa disebut politik identitas karena beliau muncul sebagai orang biasa. Ganjar saat ini berstatus pengangguran. Dia sudah melepas jabatannya sebagai Gubernur Jawa Tengah dan belum mendaftar ke KPU sebagai calon presiden. Jadi tidak bisa dibilang dia melakukan politik identitas.”

Politik Identitas Sudah Tak Laku

Politik identitas dengan mengangkat isu agama sempat menjadi jualan politik dalam beberapa tahun terakhir. Contoh adalah ketika Anies Baswedan dan Basuki Tjahya Purnama bertarung untuk memperebutkan posisi Gubernur DKI Jakarta 2017.

Kala itu, isu agama digoreng habis-habisan di masa Pilgub DKI setelah pria yang akrab dipanggil Ahok ini diklaim melakukan penistaan agama dengan merendahkan Surat Al Maidah ayat 51 saat melakukan kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Ahok dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara.

Menurut Andriadi politik identitas dengan mengangkat isu agama memang menarik dan cukup efektif. Namun menurutnya, di era sekarang politik identitas dengan membawa isu agama tidak laku dan malah cenderung merugikan. Hal itu berdasarkan fakta bahwa Joko Widodo memenangkan pemilu dua edisi terakhir meski diterpa isu agama.

Andriadi juga mengatakan, dalam sejarahnya partai Islam tidak pernah menang sejak Pemilu 1955. Pada 1955, Partai Nasional Indonesia (PNI) keluar sebagai pemenang pemilu edisi pertama. Setelah itu, Golongan Karya (Golkar) mendominasi Pemilu sejak 1971 sampai 1997. Di era reformasi atau semenjak mundurnya Presiden Soeharto pada 1998 gantian giliran PDI-P yang berkuasa dengan tiga kali menjadi partai pemenang. Sementara Golkar dan Partai Demokrat sempat berkuasa pada 2004 dan 2009.

“Nyatanya umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia tidak memilih partai Islam. Politik identitas dengan mengangkat isu agama tidak terlalu bagus, tidak menarik, bahkan cenderung merugikan,” ucap Andriadi.

Sosialisasi Pemilu 2024 di sekolah-sekolah perlu dilakukan karena mayoritas pemilih akan berasal dari Generasi Milenial dan Generasi Z. (Antara)

“Politik identitas sudah tidak laku lagi sekarang karena agama saja tidak menarik. Cukup Pilgub DKI 2017 yang berhasil, setelah itu pada Pilpres 2014 dan 2019 politik identitas tidak menarik.”

Terlebih lagi dituturkan Andriadi, potensi elektoral generasi (gen) Z dan milenial pada Pemilu 2024 menjadi yang terbesar. Mengacu pada sensus penduduk, jumlah Gen Z mencapai 27,95 persen atau 75,94 juta dari total populasi Indonesia pada 2020 yang sebanyak 270,2 juta jiwa.

Sementara generasi milenial sebanyak 69,38 juta jiwa atau 25,87 persen. Dengan demikian, Pemilu 2024 diprediksi akan didominasi dua generasi tersebut dengan mendekati sekitar 60 persen.

“Pada Pemilu 2024 nanti elektoralnya mayoritas berasal dari kaum milenial dan Gen Z yang lebih rasional, lebih terdidik. Sehingga mereka memilih bukan karena suku atau agama, tapi karena program kerja dan track record para Capres,” pungkasnya.