Bagikan:

JAKARTA - Tiga remaja di Padang, Sumatera Barat, mendadak viral. Tapi sayang, ketenaran tiga perempuan tersebut dibarengi dengan hujatan dari warganet. Ini gara-gara tiga remaja tersebut mengunggah video mereka memberikan minuman keras (miras) yang diduga jenis soju kepada seekor kucing.

Aksi mereka ini mendapat kecaman dari banyak pihak, termasuk ketua Animal Defenders Indonesia, Doni Herdaru. Doni menyayangkan ada kejadian seseorang mencari kesenangan dengan cara menyiksa hewan.

“Bahwa hewan tidak boleh konsumsi alkohol karena dapat berimbas buruk pada jantung dan kesehatannya. Masih banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk mencari gelak tawa, dibanding membuat bahaya bagi satwa,” katanya.

Tak hanya membuat geram, kelakuan tiga remaja mencekoki kucing dengan minuman keras juga membuat prihatin. Utamanya bagi orangtua yang juga memiliki anak usia remaja. Menurut Sani Budiantini, psikolog anak dan keluarga, apa yang dilakukan ketiganya adalah perilaku agresif.

“Ditinjau dari asses psikologis ini adalah perilaku agresif yang menyerang, menyakiti, suatu objek, bisa orang atau binatang,” tutur Sani Budiantini kepada VOI.

Disebabkan Beberapa Faktor

Umumnya remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) batasan usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun. Masa remaja merupakan peralihan masa kanak-kanak menjadi dewasa yang melibatkan perubahan berbagai aspek seperti biologis, psikologis, dan sosial-budaya.

Memasuki usia remaja, secara kognitif sebenarnya telah mampu memikirkan konsekuensi atau risiko dari perbuatannya. Tapi, ada situasi tertentu yang membuat mereka tidak melakukan pemikiran tersebut dan akhirnya berujung melakukan hal-hal berisiko di luar nalar. Situasi pertama adalah ketika remaja berada di dalam kelompok sebaya, mereka cenderung mudah melakukan hal-hal berisiko di luar nalar dibandingkan ketika sendiri.

“Selain itu, ketika remaja menganggap perilaku di luar nalar tersebut memberi keuntungan buat mereka, misalnya membuat jadi populer atau mendapat perhatian dari orang lain,” kata Melok Roro Kinanthi, seorang dosen Psikologi di Universitas Yarsi kepada VOI.

Melakukan perbuatan yang menurut kebanyakan orang di luar nalar juga menurut Melok Roro Kinanthi justru dapat memenuhi kebutuhan mereka untuk memperoleh sensasi tertentu, seperti merasakan pengalaman baru dan menstimulasi adrenalin. Oleh sebab itu, pola asuh atau didikan orangtua sejak kecil umumnya memengaruhi perilaku anak ketika beranjak remaja.

Ketika remaja berada di dalam kelompok sebaya, mereka cenderung mudah melakukan hal-hal berisiko di luar nalar dibandingkan ketika sendiri. (Unsplash/Vitolda Klein) 

“Perilaku remaja yang maladaptif bisa ditimbulkan oleh beragam faktor yang saling berkaitan, seperti faktor personal (misalnya kepribadian) dan faktor lingkungan seperti keluarga, teman sebaya, kondisi masyarakat, kebijakan pemerintah, sistem pendidikan, dan sebagainya,” imbuhnya.

Dilanjutkan Melok Roro Kinanthi, beberapa contoh pola asuh yang tidak sehat yang dapat menimbulkan perilaku maladaptif remaja adalah mengabaikan anak sehingga, membuat anak merasa tidak dicinta dan tidak ada pengawasan atau kontrol terhadap anak.

Selain itu, pola asuh yang permisif, yang terlalu memanjakan anak tanpa memberikan batasan atau kontrol dan otoriter, yang terlau memberikan batasan dan disiplin ketat [ada anak tanpa ada hubungan yang hangat juga berpotensi menimbulkan maladaptif, termasuk agresivitas pada anak.

Penumpahan Emosi ke Objek Pengganti

Menurut keterangan penghuni kamar indekos, kucing ini selalu menjadi pelampiasan amarah setiap bertengkar dengan kekasihnya. Bicara soal marah, marah biasanya menjadi salah satu respons yang mucul ketika kita memliki rasa kecewa atau ketidakpuasan terhadap sesuatu. Ketika sedang marah, ada orang yang memilih untuk meluapkan lewat tindakan, ada pula yang memilih untuk memendam.  

Dituturkan Melok Roro Kinanthi, dalam psikoanalisa hal ini dikenal dengan istilah displacement, yaitu ketika seseorang mengarahkan dorongan, emosi atau konflik terhadap objek pengganti yang dianggap tidak mengancam dibandingkan objek sebenarnya yang dituju.

“Dalam kasus penganiayaan kucing tersebut, mungkin saja pelaku merasa marah dan tidak menerima perlakuan pacarnya namun ia tidak memiliki keberanian untuk mengekspresikan kemarahan tersebut pada pacarnya. Dengan demikian, ia mengarahkan kemarahannya tersebut pada objek pengganti yang dianggap tidak berbahaya, yaitu kucing,” kata wanita lulusan psikologi Universitas Indonesia ini.

Menghadapi anak usia remaja gampang-gampang susah. Di usia remaja, biasanya mereka memiliki masalah yang makin kompleks, seperti hubungan pertemanan, dengan saudara kandung, bahkan dengan orangtua.

Relasi hangat antara orangtua dan remaja membantu mengurangi risiko remaja melakukan hal tidak pantas. (Freepik)

Tak sedikit para orangtua yang mengaku kewalahan harus berurusan dengan remaja. Menjalin relasi yang hangat antara orangtua dan anak, terutama yang sudah remaja, dijelaskan Melok Roro Kinanthi dapat membantu mengurangi risiko remaja melakukan hal-hal yang tidak pantas.

“Orangtua perlu memahami karakteristik remaja, lalu menyesuaikan pengasuhannya dengan karakteristik tersebut. Orangtua dapat menetapkan batasan bagi remaja,  dibarengi dengan memberikan ruang untuk bernegosiasi, diskusi, dan relasi yang hangat.”

“Selain itu, orangtua dapat membiasakan remaja memikirkan dampak positif atau negatif dari perilaku yang akan ia tampilkan, sehingga remaja terlatih memikirkan risiko dari perbuatannya,” pungkasnya.