Menelisik Makna Pernyataan Yahya Cholil Staquf Soal Larangan NU Berpolitik Praktis
Nahdlatul Ulama atau NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia yang tidak pernah lepas dari keterkaitan dengan politik. (Dok. Nahdlatul Ulama)

Bagikan:

JAKARTA - Nahdlatul Ulama (NU) telah menegaskan sikap mereka jelang Pilpres 2024. Sejak tahun lalu, Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Yahya Cholil Staquf menegaskan NU tidak akan terlibat dalam politik praktis, meski dia tidak melarang warga NU berpolitik.

Pria yang akrab dengan panggilan Gus Yahya ini meminta agar NU tidak dikaitkan untuk kepentingan politik praktis.

"Tak ada larangan warga NU berpolitik. Silahkan berkampanye, asal tidak pakai [organisasi] NU, baik di partai yang dilahirkan atau tidak dilahirkan NU. Karena seluruh partai ada keterlibatan Nahdliyin," kata Gus Yahya pada 21 November 2022.

Khittah Nahdliyah Muktamar ke-27 NU pada 1984 di Situbondo atau hasil Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Krapyak Yogyakarta menjadi pegangan Gus Yahya untuk menegakkan sikap NU jelang Pilpres ini. Akankah NU mampu benar-benar melepaskan diri dari politik praktis? Atau seruan Yahya Staquf ini justru menandakan sebaliknya, bahwa NU makin dekat dengan politik praktis?

Mustahil NU Lepas dari Politik Praktis

Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, agaknya sulit bagi NU benar-benar melepaskan diri dari politik praktis. Utamanya di tahun politik seperti saat ini. Pada pemilu tahun-tahun sebelumnya, NU seringkali dijadikan alat politik. Contohnya adalah pada Pilpres 2019. Dukungan NU terhadap pasangan Joko Widodo dan Ma’Ruf Amin lima tahun silam dinilai menjadi salah satu penyebab kemenangan pasangan tersebut.

Belum lama ini, capres dari PDI Perjuangan Ganjar Pranowo juga menghadiri istighosah dan pengajian umum Jam’iyyah Ahlith Thariqah aI-Muktabarah an-Nahdliyah (Jatman) di Rembang. Di sana, Ganjar meminta maaf dan berpamitan sebagai gubernur kepada ulama dan warga Rembang. Dalam kesempatan tersebut, mantan Gubernur Jawa Tengah itu juga menyempatkan diri silaturahmi kepada Nyai Muchsinah Cholil, ibunda Ketum PBNU, sangat cocok dengan strategi komunikasi untuk menyambut kontestasi Capres ke depan.

Wajar jika kemudian pernyataan keras Yahya Staquf bahwa NU tidak terlibat dalam politik praktis menarik perhatian publik. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah berpendapat, apa yang dilakukan Yahya Staquf justru membawa NU lebih jauh ke arah politik praktis.

“Dalam banyak kontestasi nasional NU akan selalu terlibat, termasuk saat ini, bahkan lebih kental nuansa politiknya di kepemimpinan Yahya Staquf. Pada era sebelumnya, Said Aqil tidak pernah melarang atau mengajak Nahdliyin untuk menentukan pilihan politik pada tokoh dan partai tertentu, yang melakukan ajakan itu tokoh NU yang bersamaan sebagai kader PKB,” kata Dedi Kurnia kepada VOI.

Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf. (Antara)

“Tetapi, Yahya Staquf secara personal dan tegas melarang NU memilih PKB, ini menanda jika Yahya Staquf lebih jauh membawa NU ke arah politik praktis.”

Meski Yahya Staquf dengan tegas menyatakan keengganannya jika NU dikaitkan dengan politik pada Pilpres 2024, Dedi Kurnia yakin mayoritas pemilih PKB adalah Nahdliyin. Karena menurutnya, seruan Yahya Staquf hanya berlaku bagi elite PBNU.

“Bagi basis suara di bawah, ajakan elit PBNU biasanya tidak mengakar ke bawah, dan tetap saja mayoritas pemilih PKB adalah Nahdliyin,” lanjut pria yang juga berprofesi sebagai dosen ini.

Pernyataan Ketum NU Memiliki Makna Tersembunyi

NU merupakan organisasi sosial keagamaan (jam’iyah) terbesar di Indonesia. Dalam perjalanannya, sedikit demi sedikit NU berkiprah dalam dunia politik. Berawal dari kemunculan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan kemudian berganti Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Setelah Indonesia merdeka, Masyumi yang awalnya merupakan organisasi non-politik berubah menjadi partai politik dengan NU sebagai tulang punggung-nya.

Masyumi bahkan menjadi partai politik terbesar di Indonesia pada periode 1940 sampai 1950. Namun friksi internal menyebabkan NU dan Masyumi bercerai, kemudian menjadi partai politik yang bernama sama, yaitu NU. Setelah menjadi parpol, NU memiliki basis yang kuat dan berhasil mendapat suara cukup besar. Sampai akhirnya pada 1983 diputuskan NU sudah tidak lagi berkecimpung dalam politik dan menjadi organisasi keagamaan yang murni.

Wapres Maruf Amin mendapat dukungan dari NU pada Pilpres 2019. (Antara)

Dengan sejarah NU yang panjang di dunia politik, Dedi Kurnia justru menilai ada maksud tersembunyi dari apa yang dikatakan Yahya Staquf, seperti pepatah yang mengatakan “ada udang di balik batu”. Ada kemungkinan yang dilakukan Ketum PBNU adalah bentuk ketidaksukaannya terhadap salah satu pasangan Capres dan Cawapres yang saat ini. 

“Situasi 2024 berbeda, ketika 2019 Maruf Amin diakui dan dianggap mewakili NU. Tetapi sekarang Muhaimin sebagai Cawapres Anies Baswedan yang sebenarnya adalah NU, dan bahkan Muhaimin merupakan bagian dari keluarga pendiri NU. Hanya saja Yahya Staquf seolah miliki ketidaksukaan secara personal, dan ini  mengkhawatirkan, Yahya Staquf sedang meluapkan keinginan personal atas nama politik,” pungkasnya.