JAKARTA - Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menjadi saksi bagaimana seorang ibu nekat melakukan upaya percobaan bunuh diri akhir pekan kemarin. Sejak kemarin siang, atensi warganet tersedot pada video viral yang menampilkan seorang ibu sedang diamankan oleh petugas KAI dan penumpang lainnya.
Dalam video tersebut dinarasikan seorang ibu ingin membuang bayi di rel Kereta Rangkaian Listrik (KRL) Stasiun Pasar Minggu. Terlihat seorang petugas KAI berusaha menenangkan si ibu, sementara petugas lainnya menggendong bayi yang diketahui anak ibu tersebut. Si ibu sempat memberontak ketika ditenangkan.
— Michael (@jangansokkerass) September 4, 2023
Dijelaskan Kapolsek Pasar Minggu Kompol David Pratama Purba, peristiwa memilukan ini terjadi pada Sabtu (2/9/2023). Tapi, wanita tersebut bukan ingin membuang bayi seperti yang dinarasikan di video. Si ibu ternyata melakukan percobaan bunuh diri di perlintasan kereta tersebut.
“Informasi dari stasiun kereta itu bukan penemuan bayi, tapi itu orang mau percobaan bunuh diri. Dari informasi petugas, si ibu mau bunuh diri,” ujar Kompol David.
Ibu Baru Rawan Stres
Tidak diketahui apa motif si ibu nekat ingin mengakhiri hidupnya. Tapi besar kemungkinan dia mengalami stres. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan stres sebagai keadaan khawatir atau ketegangan mental yang disebabkan oleh situasi sulit.
Stres adalah respons alami manusia yang mendorong kita untuk mengatasi tantangan dan ancaman dalam hidup kita. Setiap orang mengalami stres sampai tingkat tertentu. Namun, cara kita merespons stres memberikan perbedaan besar pada kesejahteraan kita secara keseluruhan.
Dalam dunia parenting, istilah baby blues maupun Postpartum Depression (PPD) jamak digunakan untuk menggambarkan ibu yang mengalami stres seusai melahirkan. Berdasarkan video yang viral soal ibu yang ingin mengakhiri hidupnya, besar kemungkinan dia mengalami baby blues atau bahkan PPD.
Menjadi ibu tidaklah mudah. Selain kelelahan mengurus bayi, perubahan bentuk tubuh, tuntutan dari lingkungan, juga sering membuat ibu pasca melahirkan lebih berisiko mengalami stres. Mood swings atau perasaan hati yang sering berubah-ubah umumnya dialami ibu yang baru melahirkan.
Baby blues dianggap sebagai bentuk depresi pasca persalinan yang paling ringan, namun tetap tidak boleh diabaikan. Tak sedikit para wanita merasa bingung sendiri karena merasa sedih justru setelah mengalami peristiwa bahagia, yaitu melahirkan.
Namun sayang, yang terjadi biasanya para ibu enggan untuk membicarakan perasaan ini kepada orang lain, termasuk ke pasangannya. Padahal membicarakan emosi dan segala perubahan setelah melahirkan, adalah salah satu cara terbaik mengatasi baby blues.
Mengutip American Pregnancy Association, sekitar 70-80% ibu baru mengalami perasaan negatif atau suasana hati yang berubah setelah melahirkan. Gejala baby blues biasanya mulai menyerang ibu antara empat dan lima hari setelah melahirkan. Perihal penyebab pasti ibu mengalami baby blues tidak diketahui sampai sekarang.
Tapi masih dari sumber yang sama, baby blues berkaitan erat dengan perubahan hormon yang dialami selama kehamilan sampai melahirkan. Perubahan hormon ini berpotensi menyebabkan perubahan kimiawi di otak yang mengakibatkan depresi. Selain perubahan hormon, rasa kelelahan seusai melahirkan juga bisa menjadi penyebab ibu stres hingga mengalami baby blues.
Olphi Disya Arinda, seorang psikolog klinis, mengatakan kesedihan mendominasi suasana hati ibu yang baru melahirkan. Disya juga menepis anggapan bahwa baby blues menandakan bahwa ibu tersebut lemah.
“Baby blues lebih menggambarkan mood ibu yang didominasi kesedihan dan kegundahan setelah melahirkan. Baby blues terjadi lebih cepat, yaitu satu dua hari pasca melahirkan. Biasanya dipengaruhi oleh faktor perubahan fisiologis ibu, seperti hormon, masalah fisik, dan sebagainya. Mitosnya, baby blues hanya dialami oleh ibu yang manja atau lemah. Padahal engga gitu. Baby blues dapat dialami oleh ibu manapun,” kata Disya.
Perbedaan Baby Blues dan Postpartum Depression (PPD)
Mungkin masih banyak yang mengira baby blues dan PPD sama. Padahal sebenarnya ini dua kondisi berbeda. Kesamaannya adalah dua istilah tersebut terjadi setelah melahirkan, baik dengan bayi hidup atau meninggal, dan didominasi oleh perasaan sedih.
Berbeda dengan baby blues, PPD biasanya mulai dialami ibu satu bulan pasca melahirkan dan durasinya lebih lama hingga. Dalam kasus PPD, tidak sedikit yang ditandai dengan adanya dorongan menyakiti diri maupun bayi.
Dikutip dari Womens Health, Postpartum Depression adalah penyakit mental serius yang melibatkan otak dan berimbas pada perilaku dan kesehatan fisik. Seseorang yang mengalami PPD biasanya merasa sedih dan hampa setiap harinya. Ibu yang mengalami PPD juga merasa tidak terkoneksi dengan bayi, seolah-olah dia bukan ibunya. Dan yang lebih parah, si ibu mungkin merasa tidak mencintai dan tidak peduli terhadap bayinya.
“Gejala PPD ini seringkali bikin si ibu kehilangan sense of motherhood (rasa keibuannya) yang dibutuhkan dalam pengasuhan,” tutur Disya lagi.
Seperti halnya baby blues, penyebab PPD juga tidak diketahui secara pasti. Namun Womens Health menulis perubahan hormon bisa menjadi pemicu PPD. Menurut para ahli, perubahan tingkat hormot secara tiba-tiba bisa memicu depresi. Ini mirip perubahan hormon sebelum perempuan mengalami menstruasi, namun dengan tingkat yang lebih ekstrem.
PPD harus ditangani secara serius, bahkan membutuhkan ahli untuk mengobatinya. Ketika PPD tidak diobati, ibu setelah melahirkan berpotensi tidak memiliki energi yang cukup untuk mengurus bayi dan dirinya sendiri, mood yang berubah-ubah, hingga perasaan ingin bunuh diri.
Lebih lanjut, Disya Arinda juga menekankan pentingnya peran suami dalam pengasuhan anak. Menurutnya, suami juga memiliki kewajiban yang sama besar untuk mengasuh dan membesarkan anak.
“Tugas pengasuhan wajib dilakukan ayah dan ibu. Perlu ditelusuri juga bagaimana peran suaminya. Kenapa sampai di ibu merasakan beban yang begitu berat?” kata Disya.