JAKARTA - Kasus perkosaan ayah terhadap putri kandungnya, NF, di Teluknaga, Tangerang, menggegerkan publik. Adalah Syarif Hidayat, pria paruh baya yang tega memperkosa darah dagingnya sendiri hingga raturan kali di rumahnya.
Kelakuan bejat Syarif terungkap setelah kakak korban, RZ, memergoki ayahnya memperkosa adiknya. RZ tidak tinggal diam. Dia langsung mengamuk dan meminta Syarif keluar sambil memanggil ayahnya dengan sebutan ‘setan’.
Pelaku langsung ditangkap dan Kasat Reskrim Polres Metro Tangerang Kota, Kompol Rio Mikael Tobing mengungkap alasan Syarif tega memperkosa anak kandungnya hingga bertahun-tahun. Pelaku mengaku tidak mendapat layanan maksimal dari istrinya, yang sibuk bekerja dan lelah ketika sampai di rumah.
“Istrinya sibuk bekerja. Pelayanan terhadap suami kurang,” kata Rio dalam pesan singkat, Kamis, 31 Agustus.
Kekejian itu berlangsung sejak korban NF masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), sejak 2014 hingga saat ini 2023, dengan usia 19 tahun.
Dipicu Perasaan Berkuasa
Kasus ayah memperkosa anak kandung bukan pertama kalinya terjadi. Kasus-kasus serupa seringkali membuat warga murka. Belum lama ini juga geger berita soal ayah yang memperkosa anak kandung di Banyumas, Jawa Tengah. Yang lebih mengerikan, tersangka Rudi (57) membunuh tujuh bayi yang dilahirkan dari hubungan inses dengan putri sulungnya.
Mengerikan sekaligus menjijikan. Ayah yang seharusnya menjadi pelindung dan cinta pertama putrinya justru tega melakukan perbuatan keji, bahkan hingga berulang kali. Menurut psikolog sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi, pelaku melakukan kejahatan tidak hanya karena niat, tapi karena adanya kesempatan.
“Pelaku kejahatan seksual dilakukan oleh orang terdekat, karena umumnya kita tidak menyangka. Pelaku melakukannya dengan bujuk rayu, dengan kasih sayang, padahal sebetulnya dia punya maksud terselubung,” ujar pria yang akrab disapa Kak Seto ini saat berbincang dengan VOI.
“Selain itu, kejahatan seksual juga terjadi karena libido yang kuat, dorongan seksual yang kuat, dan tidak ada penyaluran yang layak. Akhirnya anak-anak yang berada di bawah kekuasaan sendiri yang menjadi korban.”
Perasaan berkuasa yang dimiliki ayah terhadap anak juga menjadi salah faktor yang menyebabkan adanya tindakan perkosaan di ranah domestik. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, mengungkap beberapa faktor dapat menjadi penyebab mengapa anak-anak seringkali menjadi korban kekerasan seksual, yang bahkan dilakukan oleh orang terdekat.
Salah satunya adalah adanya ketimpangan relasi kuasa yang masih menjadi akar permasalahan dari kerentanan perempuan dan anak dari kekerasan dan eksploitasi, termasuk kekerasan berbasis gender, yang tidak hanya terjadi terhadap laki-laki dan perempuan, namun anak-anak.
“Sebagai pemilik posisi sosial paling rendah, baik dalam keluarga maupun masyarakat, anak-anak menjadi sangat rentan untuk mengalami kekerasan. Anak-anak dianggap kurang dapat menolak, melawan, lemah, tidak berdaya, dan memiliki ketergantungan dengan orang dewasa di sekitarnya, serta mudah dikelabui apabila orang lain melakukan kekerasan terhadap dirinya,” ucap Nahar dalam melalui pesan kepada VOI.
“Terlebih kepada anak perempuan yang menjadi kelompok rentan ganda, selain dirinya adalah perempuan namun juga anak–anak. Hal ini menyebabkan anak–anak perempuan lebih rentan menjadi korban dan lebih mengalami dampak negatif yang berkelanjutan, utamanya kekerasan seksual,” lanjutnya.
Pengawasan dari Lingkungan Terdekat
Guna memutus kejahatan seksual yang dilakukan oleh orang dekat dibutuhkan keterlibatan semua pihak, mulai dari lingkungan terdekat yaitu keluarga. Selain itu, lingkungan tingkat rukun tetangga (RT) juga perlu aktif berperan dalam melakukan tindakan preventif terjadinya kasus perkosaan oleh keluarga terdekat.
Sikap tak acuh dari masyarakat bisa menjadi salah satu penyebab maraknya tindakan kejahatan seksual di ranah domestik. Mereka berdalih enggan mencampuri urusan orang lain, padahal itu menjadi tanggung jawab bersama.
“Jangan sampai kasus pemerkosaan ini seperti kebakaran, kejadian dulu baru lapor. Untuk itu perlu diberdayakan semua warga membentuk seksi perlindungan anak. Melindungi anak butuh keterlibatan orang sekampung. Adalah kewajiban semua orang untuk melindungi anak. Masyarakat harus peduli untuk melindungi anak-anak,” Kak Seto menjelaskan.
Orangtua juga memiliki peran penting dalam pencegahan terjadinya kekerasan seksual di ranah domestik. Salah satunya adalah dengan mengamati sikap atau perilaku berlebihan, dalam hal ini ayah, terhadap korban. Perhatian yang berlebihan dan diskriminatif antara satu anak dan yang lainnya juga patut dicurigai.
"Perhatian berlebihan seolah-olah dianggap sebagai hal wajar, padahal sebetulnya dia akan 'memangsa' korban atau bisa disebut sebagai tindakan child grooming," jelas Kak Seto.
Melakukan komunikasi efektif dengan anak dinilai dapat menjadi salah satu jurus jitu mencegah kekerasan. Sehingga, ketika terjadi kekerasan, khususnya kekerasan seksual, anak dapat langsung melaporkan hal tersebut kepada orang tua.