JAKARTA - Ketersediaan transportasi publik di Jakarta dan sekitarnya memasuki babak baru. Lintas Raya Terpadu (LRT) Jabodebek mulai beroperasi sejak Senin (28/8/2023) setelah diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Jokowi pun mengajak masyarakat menggunakan LRT yang telah menghabiskan anggaran senilai Rp32,6 triliun ini guna membantu mengurai kemacetan.
“Hari ini, Alhamdulillah LRT juga sudah siap dioperasikan baik dari (stasiun) Harjamukti di Cibubur dan dari Bekasi ke Jakarta, sepanjang 41,2 kilometer dan menghabiskan anggaran Rp32,6 triliun,” ujar Jokowi saat meresmikan LRT Jabodebek di Stasiun Cawang, Jakarta Timur, 28 Agustus lalu.
Kemunculan LRT diharapkan dapat membantu mengurai kemacetan di DKI Jakarta dan sekitarnya yang makin hari makin parah. Selain itu, LRT juga dinilai dapat membantu mengurangi polusi udara yang menggila selama kurang lebih sebulan ke belakang.
Targetkan 140 Ribu Pengguna
Kehadiran kereta tanpa masinis ini disebut sebagai solusi untuk mengatasi kepadatan lalu lintas di Jakarta. Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menargetkan setidaknya 140 ribu orang menggunakan LRT Jabodebek demi mengurai kemacetan di Jakarta.
“Kita mengharapkan paling tidak mendekati 140 ribu masyarakat yang berpindah ke angkutan LRT,” kata Budi pada 12 Juli lalu.
Tapi Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang dan Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, memiliki pandangan berbeda. Menurut Djoko, LRT tidak serta merta mengatasi kemacetan Jakarta karena kota-kota penyangga, seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok tidak banyak dilakukan upaya membenahi transportasi umum.
Padahal di Kawasan tersebut banyak dibangun ribuan perumahan yang masih minim sentuhan layanan transportasi umum. Kebijakan membangun kasawan perumahan lengkap dengan layanan fasilitas angkutan umum feeder tidak berlaku lagi, sehingga masyarakat yang membeli rumah di daerah pinggiran Jakarta harus memikirkan membeli kendaraan pribadi demi melancarkan mobilitas.
“Sekarang banyak masyarakat yang tidak mampu membeli rumah di Jakarta karena harganya yang mahal, sehingga beralih ke daerah pinggiran seperti Tangerang, Bogor, Depok, Bekasi. Tapi, di daerah tersebut transportasi massal-nya tidak memadai, sehingga mendorong mereka membeli kendaraan pribadi untuk mobilitas,” jelas Djoko kepada VOI.
Selain itu, kebijakan pemerintah memberikan insentif kendaraan listrik tidak tepat sasaran. Di satu sisi, kendaraan listrik dapat membantu mengurangi polusi, namun di sisi lain justru berpotensi menambah kemacetan lalu lintas.
“Di mancanegara yang memiliki kebijakan insentif atau subsidi kendaraan listrik bagi kendaraan pribadi, setelah kondisi layanan transportasi umumnya juga sudah bagus. Lain halnya dengan di Indonesia yang sekarang mengalami krisis angkutan umum. Dengan kebijakan insentif itu akan menambah masalah baru lagi, yaitu kemacetan lalu lintas,” ujar Djoko menambahkan.
Terbentur Masalah Regulasi
Djoko juga menyoroti pengadaan transportasi publik yang tidak merata di Tanah Air. Menurutnya, masih banyak daerah lain yang tidak memiliki transportasi publik yang memadai, bahkan sama sekali tidak ada. Menurutnya, upaya pemerataan transportasi publik di Tanah Air terbentur oleh regulasi.
Regulasi tersebut adaah Undang-undang Nomor 23 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa yang termasuk dalam pelayanan dasar pemerintah meliputi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan pemukiman, ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat, serta sosial.
BACA JUGA:
“Dalam undang-undang tersebut perhubungan tidak masuk dalam layanan kebutuhan dasar. Sehingga anggaran untuk perhubungan minim, dibandingkan pendidikan dan kesehatan. Angkutan umum tidak diurus sehingga lenyap di banyak daerah di Indonesia," kata Djoko menjelaskan.
Jadi memang masih banyak masalah yang harus diselesaikan untuk menuntaskan problematika kemacetan dan penggunaan transportasi publik di kota metropolitan seperti Jakarta. Sinergi dengan pemerintah daerah penyangga Ibu Kota mutlak harus segera dinyatakan, bukan sekadar wacana.