Bagikan:

JAKARTA – Pada 22 Juni, Kota Jakarta memasuki usia 496 tahun. Di usia tersebut, Jakarta sebagai ibu kota negara masih terus berbenah. Ada sederet persoalan yang tak kunjung terselesaikan hingga saat ini.

Sebut saja persoalan banjir. Zaenuddin HM dalam buku ‘Banjir Jakarta’ menuliskan jika banjir di Jakarta sudah terjadi sejak abad ke-5. Penemuan prasasti Tugu di Jakarta Utara menjadi bukti jika Raja Tarumanegara, Purnawarman pernah menggali Kali Chandrabhaga di daerah sekitar Bekasi dan Kali Gomati yang berada di Tangerang sebagai upaya mengatasi banjir.

Kondisi terus berlanjut pada era kolonial Belanda. Gubernur Batavia, sebutan Kota Jakarta tempo dulu juga sempat membuat sejumlah kanal, seperti Banjir Kanal Barat hingga membangun pintu air di kawasan Manggarai.

Namun, upaya itu tetap tak membuahkan hasil. Pertambahan jumlah penduduk dan pola hidup masyarakat kala itu yang kurang peduli dengan kebersihan saluran air disebut menjadi penyebabnya.

Pada era sekarang, kondisinya tak jauh berbeda. Meski sudah beragam upaya dilakukan dengan membangun Banjir Kanal Timur pada 2003, membangun sejumlah polder, menyiapkan pompa air, waduk, merevitalisasi sungai, Jakarta tetap menjadi langganan banjir.

Selamat Ulang Tahun Kota Jakarta ke-496. (Pemprov DKI Jakarta)

Jakarta secara geografi memang sulit terbebas dari banjir. Selain posisinya yang berada di pesisir, Jakarta juga dilalui 13 sungai, yakni Sungai Ciliwung, Angke, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Baru Barat, Mookevart, Baru Timur, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung. Permukaan tanah di Jakarta juga terus mengalami penurunan hingga 24 sentimeter per tahun karena beban pembangunan yang masif.

Kendati begitu, kata pengamat tata kota Nirwono Yoga, bukan berarti tidak mungkin. Tinggal bagaimana komitmen dari pemerintah dan seluruh masyarakat.

Memperbanyak Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan konservasi hutan lindung sebagai daerah resapan air, dan revitalisasi danau atau waduk sebagai daerah tangkapan air, menurut Nirwono, menjadi hal wajib dalam mengatasi banjir.

Selanjutnya, regenerasi sungai dan drainase, serta merestorasi kawasan pesisir dan mereforestasi hutan mangrove untuk melengkapi keberadaan tanggul.

“Rehabilitasi seluruh drainase dilakukan dengan memperbesar dimensi eksisting, misal dari 50cm ke 1,5m, 1m ke 3m, 1,5m ke 5m dan terhubung ke situ, danau, embung, waduk, dan RTH terdekat,” lanjut Nirwono seperti yang sudah diberitakan VOI.

Yang tak kalah penting juga menyadarkan masyarakat untuk peduli dengan kebersihan lingkungan dan tidak mendirikan bangunan di atas saluran air.

Soal Kemacetan

Permasalahan lain yang tak kunjung terselesaikan adalah kemacetan. Meski volume jumlah ruas jalan di Jakarta terus bertambah dari waktu ke waktu, kemacetan tetap tak terhindarkan karena volume jumlah kendaraan juga terus meningkat.

Bahkan, menurut situs Tomtom.com pada 2022, rata-rata waktu tempuh untuk jarak 10 kilometer mencapai 22 menit 40 detik.

Mengatasi itu, kata Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno, Jakarta tentu tak bisa sendiri, butuh mitra pendukung antara lain dari wilayah-wilayah penyangga.

“Sebab, masyarakat yang beraktivitas di Ibu Kota, bukan hanya warga Jakarta, banyak juga masyarakat dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Koordinasi bisa dilakukan melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ),” kata Djoko kepada VOI pada 22 Juni 2023.

Djoko tak memungkiri, pelaksanaan program Pola Transportasi Makro (PTM) yang meliputi pengembangan angkutan umum, pembatasan lalu lintas, dan peningkatan kapasitas jalan telah berjalan baik sejauh ini. Keberadaan transportasi massal di Jakarta bahkan sudah terbilang representatif.

Keberadaan bus Transjakarta yang telah terhubung angkutan feeder (Jaklingko) sebagai angkutan pengumpan, serta dukungan dari moda lain seperti KRL Jabodetabek, MRT Jakarta, dan LRT Jakarta sebagai buktinya.

Masih banyak pengguna kendaraan pribadi yang belum mau beralih ke transportasi massal, sehingga berimbas pada kemacetan yang sulit diatasi. (Antara/Fauzan/rwa)

Hanya saja, belum banyak masyarakat pengguna kendaraan pribadi yang mau beralih ke angkutan umum. Itulah mengapa, butuh aturan dan kebijakan yang bersifat memaksa.

Kebijakan yang sudah ada seperti three in one, ganjil genap meski belum memberikan hasil signifikan biarkan saja terus berjalan, sambil merancang lagi aturan dan kebijakan lain yang lebih efektif.

Satu di antaranya, menurut Djoko, wacana penerapan jalan berbayar yang hingga saat ini belum terlaksana. Ini bisa menjadi solusi karena banyak manfaat yang bisa diperoleh, baik dari sisi ekonomi, lalu lintas, dan lingkungan. Aturan ini pun bisa mengubah perilaku masyarakat dalam berlalu lintas.

“Dulu, juga pernah ada kebijakan larangan sepeda motor yang akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Sayangnya, saat pembahasan di MA, Dinas Perhubungan DKI Jakarta tidak diajak mendiskusikan ini,” tutur Djoko.

Padahal, pembatasan sepeda motor di Jalan MH Thamrin–Jalan Sudirman memiliki dampak positif mengurai kemacetan. Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat volume kendaraan berkurang hingga 22,4 persen, persentase kecepatan kendaraan meningkat, semula 26,3 km/jam menjadi 30,8 km/jam dan waktu tempuh meningkat 15 persen.

Sementara, menurut Polda Metro Jaya, berkurang simpul kemacetan, menurun pelanggaran lalu lintas. dan menurun jumlah kecelakaan hingga 30 persen.

“Lalu, jalur sepeda. Sebenarnya ini juga baik dengan harapan akan makin banyak warga di Jakarta menggunakan sepeda untuk transportasi jarak dekat, selain berjalan kaki. Tapi memang perlu penegakan hukum, aktivitas parkir kendaraan bermotor di tepi jalan menjadi kendala mensterilkan jalur sepeda. Saya kira perlu ini perlu evaluasi,” Djoko mengungkapkan.

Kendati begitu, imbuh Djoko, jangan patah semangat, “Meski belum bisa memberikan hasil maksimal untuk mengurai kemacetan di Jakarta, tetapi setidaknya Jakarta dalam 20 tahun telah membuktikan pembenahan dalam permasalahan angkutan umum.”