Bagikan:

JAKARTA - Di tengah polusi udara Jakarta dan sekitarnya yang makin memburuk, berbagai upaya dilakukan demi mengurangi mengurangi dampaknya. Mulai dari penyemprotan jalan-jalan protokol di Jakarta sampai melakukan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau yang lebih dikenal dengan sebutan hujan buatan.  

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengerahkan setidaknya 20 mobil pemadam kebakaran untuk melakukan penyemprotan di sejumlah ruas protokol Ibu Kota. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara mengurangi polusi udara.

Dinas Pemadam Kebakaran menurunkan 20 unit mobil pemadam kebakaran dengan 200 personel yang akan melakukan penyiraman. Selain mobil milik pemadam kebakaran, Pemprov DKI Jakarta juga mengerahkan mobil pengangkut air milik pemerintah daerah, seperti Dinas Sumber Daya Air dan Dinas Lingkungan Hidup.

Penelitian di China mengungkapkan penyemprotan air justru berpotensi meningkatkan polusi udara. (Antara/Syaiful Hakim)

“Kami berharap dengan adanya penyiraman tanaman menggunakan air hasil olahan dari Palijaya dapat menjaga kesuburan tanaman agar semakin berkembang dan menghasilkan oksigen yang baik bagi masyarakat,” ujar Kepala Bidang Jalur Hijau Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) Provinsi DKI Jakarta Herlina Merinda.

Selain penyemprotan air ke jalan, cara yang lebih ekstrem, yaitu melakukan rekayasa cuaca untuk mengatasi polusi yang makin meresahkan. Harapan masyarakat akan turun hujan di tengah cuaca yang sedang panas-panasnya terkabul. Pada Minggu (27/8/2023) hujan turun cukup deras di beberapa kawasan di Jakarta, Tangerang, dan Bogor. Ketua Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita mengatakan hujan yang terjadi di sejumlah wilayah merupakan hasil modifikasi cuaca.

“Sekarang masih musim kemarau. Hujan turun karena sedang dilakukan penerapan teknologi modifikasi cuaca (TMC),” ujar Dwikorita.

Proses Penyemprotan Air Berisiko Tingkatkan Polusi

Proses penyemprotan air telah dilakukan di beberapa jalan protokol di Jakarta pekan lalu. Penyemprotan dilakukan dua kali sehari dengan harapan dapat mengurangi polusi udara di Jakarta yang semakin menggila.

Tapi upaya Pemprov DKI menekan polusi udara dengan cara menyemprotkan air ke jalan menuai beragam tanggapan. Ada yang pro, tapi juga banyak yang kontra. Juru Kampanye Keadilan Perkotaan Greenpeace Indonesia, Charlie Albajili mengatakan langkah tersebut bukan solusi. Dia menyayangkan Pemprov DKI Jakarta hanya memikirkan solusi jangka pendek, tapi tidak memecahkan masalah dari akarnya.

“Yang terpenting itu menyelesaikan persoalan dari akar masalahnya, lalu bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan (polusi udara) pada warga,” kata Charlie pekan lalu.

Pendapat Charlie yang meragukan efek positif penyemprotan air di Jakarta diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh China. Sebelumnya, penelitian para ahli dalam jurnal National Library of Medicine (NIH) yang dipublikasikan pada Mei 2021 menyatakan penyemprotan air skala besar justru berkontribusi, alih-alih mengurangi, menyebabkan polusi udara.

Penyemprotan air malah memicu peningkatan konsentrasi Partikulat Meter (PM) 2.5. Menurut peneliti, air yang disemprot dapat menghasilkan aerosol antropogenik baru atau partikel halus yang tidak terlihat dan dengan demikian menjadi sumber polusi udara baru.

Teknologi modifikasi cuaca pernah digunakan tentara AS saat perang melawan Vietnam. (Unsplash/Wolfgang Hasselman)

Hal tersebut diungkapkan pakar kesehatan masyarakat dari Departemen Kesehatan Lingkungan Kerja, Sekolah Kesehatan Masyarakat Universitas Kedokteran Hebei, China, Fengzhu Tan.

“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa menyemprot jalan dengan air meningkatkan, bukan menurunkan, konsentrasi PM2.5,” jelas Tan dalam penelitiannya.

PM2.5 adalah partikel debu yang berukuran 2.5 mikron. Ukuran ini lebih halus dibandingkan dengan sehelai rambut manusia, yaitu setara 1/30-nya. PM2.5 dianggap sebagai partikel udara paling mematikan bagi manusia lantaran sangat mudah memasuki sistem pernapasan.

PM2.5 tidak hanya muncul dari asap kendaraan, tapi juga dari cerobong asap pabrik, asap hasil pembakaran kayu, minyak, batu bara, atau akibat kendaraan hutan dan padang rumput. PM2.5 juga bisa dihasilkan dari dalam ruangan yang berasal dari asap rokok, asap memasak, asap lilin atau minyak lampu, dan asap perapian yang kemudian menimbulkan polusi udara rumah tangga.

Teknologi Modifikasi Cuaca Pernah Jadi Senjata Militer AS  

Upaya mengurangi polusi udara tidak hanya dilakukan dengan melakukan penyemprotan, tapi juga dengan teknologi modifikasi cuaca. Seperti diketahui, beberapa wilayah di Jakarta, Tangerang, dan Bogor mengalami hujan cukup deras akhir pekan kemarin. Deputi Meteorologi BMKG Guswanto menyebut hal itu berkat rekayasa cuaca yang dilakukan hasil kerja sama antara BMKG, BRIN, BNPB, dan TN AU.

“Rekayasa cuaca yang dimaksud adalah dengan mempercepat potensi pertumbuhan awan hujan menjadi hujan dengan disemai dengan bubuk garam NaCl. TMC ini hasil kerja sama BMKG, BRIN, BNPB, dan TNI AU,” Guswanto menjelaskan.

Berbagai metode sebenarnya sudah diuji coba manusia sejak dulu untuk mendapatkan kondisi cuaca dan iklim yang diinginkan. Di Indonesia sendiri teknologi modifikasi cuaca lebih dikenal sebagai hujan buatan. Karena teknologi ini lebih kepada kegiatan menurunkan hujan buatan.

Teknologi hujan buatan dilakukan untuk mengatasi kekeringan dengan menurunkan hujan pada waduk atau bendungan untuk menambah cadangan air, demikian dikutip climate4life. Hujan buatan juga dimanfaatkan untuk membantu penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang makin sering terjadi. Jika berhasil, teknologi modifikasi cuaca bisa memperbaiki kualitas udara karena hujan akan membersihkan polutan yang ada di atmosfer.

Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), teknologi modifikasi cuaca dapat meliputi kegiatan mempercepat hilangnya kabut, meningkatkan curah hujan atau juga salju serta menekan potensi terjadinya hujan es.

Ilustrasi - Petugas memindahkan karung yang berisi garam ke dalam pesawat Cassa C-212 milik Skadron IV Lanud Abdulrachman Saleh di Pangkalan Udara Sri Mulyono Herlambang (Lanud SMH) Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (10/6/2022). (Antara/Nova Wahyudi)

Teknologi modifikasi cuaca pertama kali dilakukan pada 1940 berupa uji coba penyemaian awan yang dilakukan oleh Vincent J. Schaefer. Setelah setengah abad, ilmu pengetahuan tentang modifikasi cuaca masih dalam tahap awal dengan banyak pertanyaan seputar cara paling efektif untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam situasi tertentu.

Dikutip Science Jrank, teknologi modifikasi cuaca juga dimanfaatkan tentara Amerika Serikat sebagai senjata militer. Tentara AS menggunakan penyemaian awan selama Perang Vietnam. Harapannya agar terjadi peningkatan curah hujan sehingga mempersulit pergerakan personel dan material di sepanjang jalur Ho Chi Minh.

Namun melakukan modifikasi cuaca memiliki beberapa tantangan, dimulai dari rumitnya mikrofisika awal hingga faktor makro tentang awan. Menurut Ensiklopedi Britanica, teknologi modifikasi cuaca dapat meningkatkan curah hujan, namun pada beberapa kasus lainnya tidak berpengaruh apa-apa. Kondisi meteorologi dianggap berperan penting terhadap keberhasilan hujan buatan.

Selain itu, untuk melakukan modifikasi cuaca dibutuhkan dana yang lumayan besar. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan biaya operasional untuk melakukan modifikasi cuaca bisa tembus Rp200 juta per hari. Biaya tersebut digunakan untuk membeli bahan bakar pesawat alias avtur, bahan semai awan atau garam, dan biaya operasional personel.

“Dengan satu unit pesawat per hari sekitar Rp150-200 juta per hari. Dengan menggunakan satu unit pesawat cassa, model terbangnya dua kali,” tutur Koordinator Laboratorium Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) BRIN Budi Harsoyo pada Januari lalu.