JAKARTA - Limbah makanan memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap perubahan iklim. Sayangnya, food wastage atau limbah makanan merupakan bahaya yang kurang disadari masyarakat. Membuang sisa makanan secara sembarangan seolah menjadi hal yang lumrah.
Berdasarkan hasil riset Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia kehilangan 23 sampai 48 juta ton makanan yang terbuang, baik dari food waste maupun food loss, per tahun sejak 2000 sampai 2019. Kemudian dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan KLHK pada 2021, sampah sisa makanan menjadi sampah paling banyak di Indonesia, yaitu sebesar 29,1 persen dari total sampah.
Mayoritas makanan yang terbuang bersumber dari padi-padian dengan proporsi sebesar 44 persen. Sisanya, sampah makanan berasal dari buah-buahan, sayur-sayuran, ikan, daging, dan lain-lain. Menurut Kepala Bappenas Arief Prasetyo Adi, jutaan ton sampah tersebut seharusnya dapat menghidupi 61-125 juta orang Indonesia.
Masalah Sosial dan Lingkungan
Sejak dulu, masyarakat Indonesia sebenarnya diajarkan untuk selalu menghabiskan makanan agar tidak ada yang berakhir di tempat sampah. Membuang makanan dapat diartikan sebagai tindakan kurang bersyukur, karena di luar sana masih banyak orang yang kesulitan menikmati makanan.
Namun lebih dari itu, sebenarnya ada alasan lain yang mengharuskan masyarakat untuk tidak membuang makanan. Membuang makanan berarti menciptakan masalah baru yaitu menciptakan limbah makanan, yang merupakan masalah serius dalam perubahan iklim.
Dikutip World Wild Life, diperkirakan sepertiga dari seluruh makanan yang diproduksi di dunia terbuang sia-sia. Jumlah kalori tersebut dinilai mungkin cukup untuk memberi makan setiap orang yang kekurangan gizi di planet ini. Namun, sampah makanan sekarang ini bukan hanya soal masalah sosial atau kemanusiaan. Sampah makanan berarti juga masalah lingkungan.
“Ketika kita membuang makanan, berarti kita juga membuang seluruh energi dan air yang digunakan untuk menumbuhkan, memanen, transportasi, dan pengemasan. Dan jika makanan berakhir di tempat sampah, itu menghasilkan metana – gas rumah kaca yang bahkan lebih berbahaya dari karbon dioksida,” demikian dilansir World Wild Life.
Abdul Ghofar, Juru Kampanye Polusi dan Urban WALHI mengatakan, menjelaskan soal bahaya yang mengancam jika membuang limbah makanan secara tidak tepat. Limbah makanan sangat berbahaya bagi lingkungan karena sampah organik yang dibiarkan terbuka di TPA akan menghasilkan gas metana, yang dampaknya lebih buruk dari karbon dioksida. Gas metana memiliki sifat mudah terbakar dan bisa meledak.
“Penanganan sampah organik yang tidak tepat menyebabkan pelepasan gas emisi rumah kaca jenis metana. Ketika sampah makanan dibiarkan terbuka dan bercampur dengan sampah plastik, dapat menghasilkan gas metana dan bisa meledak, mengakibatkan kebakaran TPA,” kata Ghofar saat berbincang dengan VOI.
Gas rumah kaca juga dikeluarkan dalam proses produksi dan transportasi makanan. Itu karena emisi dari kendaraan yang mendistribusikan makanan menghasilkan karbon dioksida, sehingga dapat memanaskan atmosfer bumi, menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Andai masyarakat berhenti membuang makanan, diyakini adalah mengurangi 11% emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sistem pangan.
Perbedaan Food Waste dan Food Loss
Umumnya, masyarakat lebih sering mendengar atau menggunakan istilah food waste yang merujuk pada limbah makanan. Sebenarnya, limbah makanan atau lebih tepatnya food wastage, dikategorikan menjadi dua macam, yaitu food loss dan food waste. Food loss dapat diartikan makanan yang mengalami penurunan kualitas karena berbagai faktor dalam rantai pasokan makanan sebelum menjadi produk akhir.
“Sederhananya, food loss adalah limbah makanan yang berada di hulu atau sebelum diproduksi, sementara food waste adalah limbah makanan di hilir atau pasca produksi. Food waste adalah sampah makanan sisa konsumsi, sementara food loss terjadi contohnya karena manejemen pertanian, saat pengangkutan, dan lainnya,” Ghofar menambahkan.
Lalu, bagaimana peran masyarakat untuk mengurangi limbah makanan? Yang terpenting masyarakat mengubah gaya hidup boros termasuk dalam hal makanan. Masyarakat harus menyadari bahwa sisa makanan merupakan masalah utama, kontributor terbesar rumah kaca sehingga sebaiknya makan dan masak secukupnya agar tidak menciptakan makanan sisa.
“Tindakan paling penting adalah melakukan pencegahan terciptanya sampah makanan, jadi kita harus menghabiskan makanan dan mengukur daya konsumsi. Kalaupun terpaksa ada sisa makanan, sebaiknya tidak dicampur dengan sampah lain ke TPA,” Ghofar menjelaskan.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah bercampurnya sampah makanan dengan sampah lainnya adalah dengan mengompos sampah organik sehngga bisa mengurangi pelepasan metana secara langsung. Selain itu, dapat pula membuat lubang biopori di rumah.
“Cara-cara yang dilakukan dapat disesuaikan dengan ketersediaan lahan. Atau bisa pula memanfaatkan sampah makanan sebagai pakan hewan ternak,” pungkas Ghofar.