Rusuh Pulau Rempang dan Tumpang Tindih Status Tanah di Indonesia
Warga memblokir jalan di Jembatan 4 yang menghubungkan Pulau Batam, Pulau Rempang, dan Pulau Galang guna memprotes pembangunan Rempang Eco City pada 21 Agustus 2023. (Antara/Teguh Prihatna)

Bagikan:

JAKARTA - Pulau Rempang sedang menyita perhatian publik karena warganya menjadi sasaran penggusuran untuk tujuan pembangunan proyek Rempang Eco City oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG).

Proyek pembangunan Rempang Eco City sebenarnya sudah direncanakan sejak 2004. Rencananya kawasan Pulau Rempang akan disulap menjadi kawasan industri, jasa, dan pariwisata yang diharapkan mampu menarik investasi hingga Rp381 triliun pada 2080.

Ladang milik warga di kawasan Hutan Sembilang, Pulau Rempang, Kepulauan Riau pada Senin 21 Agustus 2023, yang bakal digusur menjadi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare. (Antara/Teguh Prihatna)

Pembangunan Rempang Eco City masuk dalam Program Strategis Nasional 2023 sesuai Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023. Pemerintah menggandeng PT MEG sebagai pihak swasta yang akan bekerja sama dengan BP Batam dan Pemerintah Kota Batam.

Perusahaan milik Bos Artha Graha Group, Tomy Winata, tersebut diberi mandat untuk menggarap 17 hektare lahan atau seluruh lahan di Pulau Rempang. Artinya, seisi warga di kepulauan tersebut harus direlokasi agar rencana pembangunan proyek berjalan lancar sesuai rencana.

Mengancam Keberadaan Kampung Tua 

Proyek megah di Pulau Rempang ini juga termasuk pembangunan lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik perusahaan China, Xinyi Group. Investasi proyek tersebut diramalkan mencapai 11,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp174 triliun.

Namun proyek ambisius Pulau Rempang mendapat menolakan dari warga setempat. Buntutnya, bentrokan antara warga dan petugas gabungan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), serta BP Batam pecah pada 7 September 2023. Bentrokan terjadi karena petugas gabungan memasuki paksa kawasan untuk memasang patok tata batas lahan Rempang Eco City.

Warga menolak direlokasi karena mereka merasa tidak dilibatkan dalam rencana pembangunan Kawasan Rempang Eco City. Pemerintah dinilai abai terhadap suara warga adat 16 Kampung Melayu Tua.

"Keputusan memberikan seluruh lahan kepada investor adalah sikap yang tidak memihak kepada rakyat dan berdampak pada 16 kampung tua Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat yang sudah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak 1834," ujar Ahlul Fadli, Koordinator Media dan Penegakan Hukum, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Sabtu (9/9/2023).

Unjuk rasa warga Rempang di depan kantor BP Batam menolak gusuran proyek Rempang Eco City berujung ricuh pada Senin 11 September. (Antara-Yude)

Relokasi warga di Pulau Rempang juga menyita perhatian Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Disebutkan P2G ada sekitar 36 sekolah di Kecamatan Galang, Pulau Rempang. P2G mengecam tindakan petugas gabungan yang menembakkan gas air mata saat bentrok dengan warga pekan lalu. Sejumlah siswa terkena gas air mata dan mengalami trauma, serta satu di antaranya dikabarkan mengalami luka.

Iman Zanatul Haeri selaku Kepala Bidang Advokasi Guru P2G berharap rencana relokasi harus tetap mengutamakan layanan pendidikan anak.

“Di Kecamatan Galang ada sekitar 36 sekolah dari tingkat dasar hingga menengah atas. Ini perlu persiapan yang matang dan tidak mengurangi hak anak untuk belajar dengan aman dan nyaman,” kata Iman dalam keterangannya yang diterima VOI.

“Mengingat ada sekitar 36 sekolah di Kecamatan Galang, Pulau Rempang, diperkirakan ada ribuan anak yang mengalami relokasi sekolah atau terdampak. Ini bukan perkara mudah,” Iman menambahkan.

Status HPL Cacat Prosedur

Di hampir setiap kasus penggusuran, sertifikat tanah selalu menjadi persoalan. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto menjelaskan bahwa lahan tinggal di daerah tersebut tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).

Hal tersebut disampaikan saat Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi II DPR RI di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 12 September.

“Masyarakat yang menempati Pulau Rempang tidak ada sertifikat karena memang dulu semuanya ada di bawah otorita Batam,” kata Hadi.

Menurut Hadi, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat. Kata Hadi hampir 50 persen warganya menerima usulan yang telah disampaikan.

Petugas membersihkan sisa ban yang dibakar warga saat bentrokan pecah menyusul kegiatan pengukuran lahan untuk pengembangan proyek Rempang Eco City, Pulau Rempang, Batam, Kamis 7 September. (Antara)

Namun, klaim ini dibantah oleh Ketua Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Zainal Arifin. Dia menyebut pembangunan proyek Rempang Eco City memiliki sejumlah kecacatan. Di antaranya tidak ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) serta tidak ada peruntungan ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Menurut Zainal, sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diberikan oleh Kementerian ATR/BPN kepada Badan Pengembangan (BP) Batam untuk mengelola Pulau Rempang sampai sekarang tidak bisa dibuktikan.

“Dalam proyek Rempang Eco City, dapat dipastikan banyak kecacatan prosedur serta persoalan lingkungan hidup,” tutur Zainal.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika menjelaskan bahwa HPL merupakan jenis hak atas tanah yang baru. HPL tidak memiliki landasan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, namun sangat kuat digunakan oleh pemerintah untuk kepentingan investasi.

“Ketika sebuah badan atau lembaga diberikan HPL, badan atau lembaga tersebut dapat bertransaksi dengan pihak ketiga untuk memberikan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), bahkan Sertifikat Hak Milik (SHM). Di sinilah letak persoalan yang sangat berbahaya,” kata Dewi.