Bagikan:

JAKARTA – Sepekan terakhir situasi di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau memanas. Ini lantaran bentrok antara aparat keamanan dan masyarakat di Pulau Rempang. Kerusuhan terjadi karena masyarakat setempat menolak keras pembangunan kawasan Rempang Eco City.

Rempang Eco City merupakan salah satu proyek yang terdaftar dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2023. Pembangunan Rempang Eco City diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang baru disahkan pada 28 Agustus.

Pemerintah memberikan mandat proyek ambisius ini kepada PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan milik pengusaha tekenal, Tomy Winata. Kawasan seluas 17 ribu hektare di Pulau Rempang rencananya akan disulap menjadi kawasan industri, jasa, dan pariwisata. Proyek tersebut ditargetkan menarik investasi sekitar Rp381 triliun hingga 2080, dengan target 30 ribu tenaga kerja.

Pertanyakan Label Eco City

Selain sengkarut relokasi warga Pulau Rempang, Xinyi Group, perusahaan raksasa asal Cina, juga menjadi sorotan. Produsen kaca terbesar dunia tersebut merupakan perusahaan pertama yang akan investasi di Rempang Eco City.

Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, bahkan sudah bertolak ke Cina dalam rangka memastikan investasi Xinyi Group di Indonesia. Xinyi Group akan membangun hilirisasi pasir kuarsa di kawasan Rempang dengan investasi Rp175 triliun.

Perusahaan ini menjual produknya di sekitar 140 negara dan wilayah, termasuk Hong Kong, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Selain itu, negara-negara di Asia, Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan Amerika Serikat juga menjadi pangsa pasar Xinyi Group.

Namun, proyek Rempang bukan investasi pertama Xinyi Group di Indonesia. Tahun lalu mereka telah melakukan investasi di Kawasan Ekonomi Khusus JIIPE Gresik, Jawa Timur. Selain itu, Xinyi Group juga berencana melakukan investasi di Kariangau, Balikpapan, dan Kalimantan Timur.

Ilustrasi penambangan pasir laut, sebuah aktivitas yang dikhawatirkan bakal merusak ekosistem Pulau Rempang jika pembangunan kawasan Rempang Eco City dan pabrik kaca Xinyi Group sudah direalisasikan. (Wikimedia Commons/Calistemon)

Meski menggiurkan dari sisi investasi, kehadiran Xinyi Group di Pulau Rempang memantik kekhawatiran banyak pihak. Terutama dari pegiat lingkungan.

Seperti diketahui, pembuatan kaca membutuhkan pasir kuarsa sebagai bahan baku utamanya. Penambangan pasir kuarsa secara masif dikhawatirkan akan merusak lingkungan laut di Pulau Rempang.

Hal ini kemudian dianggap berseberangan dengan konsep ‘Eco City’. Padahal Eco City atau biasa disebut dengan Green City merupakan konsep yang menawarkan kota sehat, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Konsep Eco City pun kemudian dipertanyakan ketika adanya rencana pembangunan pabrik kaca terbesar kedua dunia di Pulau Rempang. Menurut Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat di Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Ferry Widodo, proyek pembangunan proyek pabrik kaca ini bisa mengancam lingkungan di wilayah Pulau Rempang.

“Mereka mengatakan alasannya memindahkan warga karena mengkhawatirkan emisi, artinya mereka mengakui emisi yang dihasilkan pabrik kaca cukup besar. Kalau sudah tahu ada potensi emisi besar, mengapa masih dijalankan? Apa yang diunggulkan dari Eco City ini?” kata Ferry saat berbincang dengan VOI.

Lebih lanjut Ferry mengungkapkan kekhawatirannya soal perbaikan lingkungan yang akan memakan waktu lama karena adanya potensi kerusakan secara masif. 

“Kalau pembangunan dipaksakan, yang terdampak nanti bukan hanya manusianya, tapi juga lingkungan karena adanya emisi dan reklamasi. Di sana terumbu karangnya bagus-bagus, kalau terjadi kerusakan lingkungan secara masif, terumbu karang butuh berpuluh-puluh tahun untuk tumbuh bagus.”

Terancam Kehilangan Tanah Leluhur

Tak hanya mengabaikan potensi kerusakan lingkungan, proyek triliunan ini juga dianggap tidak berpihak kepada masyarakat adat di Pulau Rempang. Program Rempang Eco City juga diklaim tidak memperhatikan nilai-nili sejarah Melayu di kepulauan tersebut.

“Saat masyarakat dipaksa untuk pergi dari tanah leluhurnya maka bukan hanya kehilangan ikatan sosial ekonomi. Tapi juga ikatan sosial sesama warga dan tanah yang telah turun temurun dari leluhur mereka,” Ferry menjelaskan.

Untuk itu, dia berharap pemerintah mau menghentikan dulu proses penggusuran di Pulau Rempang. Karena menurutnya jika proses penggusuran terus dilakukan berpotensi membuat konflik makin meluas.

Kampung Monggak di Pulau Rempang yang masuk dalam kawasan pembangunan Rempang Eco City. (Antara/Jessica)

Sementara itu, juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang Galang, Suardi, menegaskan nilai sejarah Melayu harus dipertahankan di atas tanah yang diwarisi dari para leluhur.

"Kami menilai terlalu berlebihan program itu dilakukan. Sangat tidak sesuai dengan konstitusi yang ada. Tanah yang kami punya lebih dari 40-50 tahun silam itu seakan-akan (dianggap) tidak ada," ujar Suardi.

“Ini bukan persoalan pindah dan harga, kami tidak berbicara itu. Apakah kalau kami setuju tawaran mereka, marwah kami tetap terjaga dan silsilah kampung tetap ada? Itu tidak mungkin. Kami tetap bertahan. Kami tidak menilai berapa pun uangnya. Sikap kami pada intinya akan tetap mempertahankan sampai kapan pun,” jelasnya.