JAKARTA – Penyelesaian konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau tampaknya mendapat titik terang. Hal ini setelah Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas dengan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, Senin, 25 September di Istana Kepresidenan.
Konflik agraria di Pulau Rempang, disebut Menko Polhukam, Mahfud Md terjadi karena ada kekeliruan dan kesalahan di lingkup pemerintah pusat dan daerah dalam hal pencatatan hak atas tanah yang merupakan calon lokasi pembangunan Rempang Eco-City.
Menurut dia, surat keputusan (SK) terkait hak guna usaha tanah Pulau Rempang itu sebenarnya sudah dikeluarkan sejak 2001. Namun, ada kekeliruan yang dilakukan pemerintah yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Negara, lanjut Mahfud, sudah memberikan hak guna usaha kepada sebuah perusahaan pada tahun 2001. Permasalahan timbul karena lahan tersebut belum digarap dan tidak pernah ditengok oleh pemegang HGU.
Dalam perjalanannya, terbit hak baru yang diberikan kepada penduduk di beberapa desa yang digunakan sebagai penegasan hak mereka atas lahan yang mereka tinggali saat ini. Hal itu terjadi dalam rentang tahun 2004 dan seterusnya menyusul terbitnya beberapa keputusan, diberikan hak baru atas tanah itu kepada orang lain untuk ditempati.
“Di sini lah permasalahan muncul. Penduduk merasa memiliki hak secara sah untuk tinggal di lokasi tersebut karena sudah ditegaskan dalam bentuk keputusan pemerintah, namun di sisi lain dijelaskan pula bahwa hak dalam bentuk HGU telah diberikan agar Rempang dimanfaatkan sebagai lokasi Rempang Eco-City sejak 2001,” beber Mahfud.
Dia mengungkapkan, saat investor masuk di tahun 2022 lalu, ternyata tanah yang didiamkan selama ini sudah ditempati pihak lain. Oleh karena itu, Mahfud menilai kesalahan ada di pemerintah setempat dan KLHK.
“Nah, ketika kemarin pada tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sutter-nya, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian LHK. Nah, lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak karena investor akan masuk,” imbuhnya.
Kembali ke solusi di Pulau Rempang, dalam konferensi pers usai ratas, Bahlil mengungkapkan bahwa presiden meminta agar penyelesaian konflik Pulau Rempang diselesaikan secara kekeluargaan dengan tetap mengedepankan hak-hak dan kepentingan masyarakat sekitar di mana lokasi pembangunan diadakan.
Dia menjelaskan, dari 17 ribu hektare area Pulau Rempang, hanya sekitar 8.000 hektare lahan yang bisa dikelola. Sementara, pembangunan industri di Pulau Rempang hanya akan menggunakan 2.300 hektare lahan yang ada.
“Dari 17.000 hektare areal Pulau Rempang, yang bisa dikelola hanya 7.000 (hektare) lebih hingga 8.000 (hektare), selebihnya hutan lindung. Dan kami fokus pada 2.300 hektare tahap awal untuk pembangunan industri yang sudah kami canangkan tersebut untuk membangun ekosistem pabrik kaca dan solar panel,” ujar Bahlil.
Dia juga menegaskan, berdasarkan hasil pertemuannya dengan tokoh-tokoh masyarakat di Pulau Rempang, sudah disepakati bahwa tidak ada penggusuran dan relokasi di Pulau Rempang, melainkan hanya pergeseran.
“Kami telah melakukan solusi posisi Rempang itu bukan penggusuran, bukan juga relokasi, tapi adalah pergeseran. Kalau relokasi dari Pulau A ke Pulau B. Tadinya kita mau geser relokasi dari Rempang ke Galang. Tetapi sekarang hanya dari Rempang ke kampung yang masih ada di Rempang,” tukasnya.
Secara total, ada lima kampung terdampak proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City, yakni Blongkek, Pasir Panjang, Simpulan Tanjung, Simpulan Hulu, dan Pasir Merah. Masyarakat akan dipindahkan ke Tanjung Banun yang jaraknya tak lebih dari tiga km dari lokasi kampung lamanya.
Menurut Bahlil, sudah ada 300 dari total 900 kepala keluarga (KK) yang bersedia dipindahkan. Pemerintah juga memberikan kompensasi terhadap warga yang dipindah. Nantinya, setiap KK akan mendapatkan rumah tipe 45 di Tanjung Banun, dan bagi warga yang rumahnya lebih besar dari tipe 45, akan mendapat tambahan uang tunai. Rumah-rumah baru itu, lanjut Bahlil, saat ini sedang dibangun, dan warga terdampak dipastikan juga akan mendapat bantuan uang tunai selama proses pembangunan berlangsung.
“Sambil menunggu rumah, namanya ada uang tunggu Rp1.200.000 per orang dan uang kontrak rumah Rp1.200.000 per KK. Jadi kalau satu KK ada empat orang, maka dia mendapatkan uang tunggu Rp4.800.000 dan uang kontrak rumah Rp1.200.000,” terangnya.
Bahlil menyatakan, nantinya kampung tempat warga direlokasi bakal menjadi kampung percontohan yang lebih tertata, baik dari segi infrastruktur jalan, puskesmas, air bersih, hingga sekolah, termasuk pelabuhan untuk perikanan.
Di sisi lain, meski pemerintah pusat mengungkap adanya kesepakatan bahwa warga yang bersedia digeser akan mendapatkan sertifikat hak milik (SHM), Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam mengatakan, SHM tidak akan diberikan kepada warga di tahap awal. Dia beralasan, jika SHM diberikan di awal kepada masyarakat maka pembangunan rumah pengganti tidak bisa direalisasikan.
“Setelah selesai rumah dibangun lalu diserahterimakan. Baru mereka bisa ajukan proses hak milik (sertifikat). Kenapa tidak langsung ke sertifikat hak milik? karena rumah yang dibangun itu menggunakan anggaran BP Batam. Maka kita bangun di atas tanah BP Batam baru kita hibahkan,” ungkapnya, Selasa (26/9).
Namun, Rudi menegaskan kembali jika SHM untuk rumah warga Rempang yang direlokasi itu sudah dijamin pemerintah pusat. “Tentu regulasi kita minta pusat agar cepat. Sambil menunggu aturan. Hak milik ini disampaikan Menteri ATR dalam beberapa kunjungan ke Batam. Proses langsung bisa saja (sertifikat hak milik), tapi nanti pembangunan rumah akan bermasalah. Nanti BP tak bisa masuk rumah pengganti karena aset milik orang lain, bukan BP Batam,” beber Rudi.
Dia mencontohkan, realisasi pemberian SHM untuk kampung tua di Batam, di mana ada 19 warga kampung tua yang telah diberikan sertifikat hak milik. Karena itu, Rudi meminta agar masyarakat Rempang tidak meragukan penyerahan sertifikat tersebut.
Rudi mengatakan, saat ini beberapa warga sudah mulai pindah ke rumah sewa yang dijanjikan BP Batam. Masyarakat Rempang yang sudah bersedia direlokasi diberikan uang sewa dan uang makan sampai rumah pengganti selesai dibangun.
“Semalam sudah mulai ada pergeseran tiga saudara kita dan langsung dibayarkan uang sewa rumah dan uang makan sehari-hari. Jumlah uang yang dijanjikan tak berubah. Uang sewa Rp1,2 juta per KK dan uang makan Rp1,2 juta per orang,” kata dia.
Tak hanya pemerintah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun ikut menanggapi kasus yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, untuk rencana pembangunan Rempang Eco Park dengan mengeluarkan tausiyah (rekomendasi) secara resmi.
Tausiyah ini dikeluarkan sebagai bentuk komitmen MUI untuk terus memberikan sumbangsih pemikiran dan langkah-langkah strategisnya sebagai perwujudan MUI sebagai khadimul ummah (pelayan umat), dan shodiqul hukumah (mitra pemerintah) yang ditujukan untuk mewujudkan MUI sebagai himaayatul ummah (menjaga umat).
Tausiyah yang dikeluarkan Selasa, 26 September ini ditandatangani Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud dan Sekjen MUI, Buya Amirsyah Tambunan. MUI berharap agar tausiyah ini dapat menjadi rujukan untuk menyelesaikan kasus tersebut sebaik-baiknya dengan mengacu kepada kepentingan bangsa dan kemaslahatan masyarakat, konstitusi dan peraturan serta kearifan lokal.
Berikut 15 rekomendasi dalam tausiyah MUI.
1. MUI menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas terjadinya berbagai masalah dalam rencana Pembangunan Rempang Eco Park di Pulau Rempang pada September 2023. Pembangunan sejatinya harus membahagiakan dan mensejahterakan serta membawa kemaslahatan bagi masyarakat setempat dimana lokasi pembangunan dilakukan
2. Apabila rencana dan pelaksanaan pembangunan mendapat reaksi negatif atau bahkan penolakan dari masyarakat maka hal itu menunjukkan bahwa ada yang kurang tepat atau bermasalah dalam aspek kebijakan, keputusan, regulasi, komunikasi dan sosialisasi, serta model pendekatan yang diterapkan oleh pemerintah. Apalagi bila pembangunan tersebut akan mengubah posisi dan status tanah dimana masyarakat secara turun temurun telah hidup di atasnya selama beratus-ratus tahun serta menjadikan tanah tersebut sebagai sumber mata pencahariannya
3. Terkait dengan pertanahan ini, MUI telah menerbitkan fatwa MUI tentang Distribusi Lahan Untuk Pemerataan dan Kemaslahatan yang diputuskan dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia VII Tahun 2021 yang pada intinya adalah bahwa Islam mengakui hak kepemilikan atas tanah untuk dimakmurkan dan didayagunakan demi kemaslahatan dan pelestariannya. Dalam hal ada izin pengelolaan lahan atau aset pertanahan yang diberikan kepada orang atau badan hukum, maka pemerintah wajib:
a.memberi perlindungan hukum terhadap masyarakat yang menghadapi sengketa terhadap hak kepemilikan atas tanah
b.mendayagunakan untuk kepentingan kemaslahatan yang berkeadilan; dan
c.mencegah terjadinya eksploitasi yang berlebihan
BACA JUGA:
4. MUI mengajak semua pihak agar pelaksanaan investasi yang berdampak pada relokasi pemukiman penduduk harus menjamin terlaksananya amanat konstitusi yang melindungi hajat hidup dan hak asasi manusia serta kesejahteraan rakyat Indonesia sehingga dapat menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat
5. MUI menghimbau pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mengedepankan dialog dan musyawarah, menghindari kekerasan, menjamin tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sehingga terwujud rasa keadilan masyarakat Pulau Rempang. MUI juga meminta pemerintah agar terus melakukan langkah-langkah solutif sehingga masyarakat memperoleh kepastian atas hak-haknya termasuk hak hidup dan memperoleh penghidupan yang layak
6. Konsepsi tujuan pemerintah yang mengutamakan kesejahteraan rakyat sebagaimana dianut UUD NRI Tahun 1945 sangat sejalan dengan nilai Islam yang mengajarkan tugas pemerintah harus ditujukan pada kemaslahatan rakyat (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah). Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan bahwa negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan setiap warga negaranya dimanapun berada
7. Konstitusi kita juga mengatur penguasaan tanah oleh negara untuk kesejahteraan rakyatnya yang secara tegas dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah haruslah dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
8. Oleh karena itu, rencana pembangunan di Rempang Eco-City wajib menjamin adanya pengakuan dan penghormatan atas masyarakat hukum adat Rempang beserta hak-hak tradisionalnya terutama keberadaan 16 kampung tua di Rempang-Galang, dimana warganya memiliki ikatan kuat dengan tanah leluhur mereka dan memiliki tradisi serta budaya yang telah berlangsung turun-temurun. Pulau Rempang dengan tanah yang dimiliki masyarakatnya memiliki ikatan historis yang panjang diatur dengan hukum adat yang dianut beserta hak-haknya haruslah dilihat dengan cara pandang konstitusi sebagaimana diamanatkan Pasal Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan tidak boleh dihilangkan dengan alasan kepentingan investasi
9. Warga Pulau Rempang yang mendiami dan menguasai tanah secara fisik di sana sudah 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut bahkan secara turun temurun dengan hukum adat beserta hak-haknya tersebut harus juga mendapatkan perlindungan hukum sebagai pemilik hak atas tanah, sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah khususnya Pasal 24 ayat (2).
10. Keputusan pengembangan Rempang Eco-City yang dimasukkan ke dalam Proyek Strategis Nasional sebagaimana diatur dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional yang disahkan pada tanggal 28 Agustus 2023 merupakan bentuk proses pembangunan yang tidak mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang dijamin konstitusi
11. Mengingat situasi dan kondisi belum kondusif dan warga masyarakat Pulau Rempang belum memperoleh informasi yang komprehensif mengenai rencana pembangunan tersebut, MUI meminta dengan sangat agar Pemerintah menghentikan terlebih dahulu seluruh proses dan tahapan pembangunan Rempang Eco-City sampai tercapainya kesepakatan antara pemerintah dengan perwakilan warga masyarakat Pulau Rempang dan lembaga adat Melayu setempat serta para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya
12. Untuk itu, MUI mengharapkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BP Batam, dan instansi-instansi terkait lainnya segera dapat menggelar musyawarah dengan perwakilan warga masyarakat, organisasi/lembaga adat Melayu, tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat lainnya di Pulau Rempang. Aspirasi dan harapan masyarakat hendaknya menjadi acuan utama dalam merumuskan kesepakatan dan persetujuan bersama dalam musyawarah tersebut
13. Dalam melakukan komunikasi, dialog dan musyawarah tersebut, MUI mengharapkan pemerintah menerapkan pendekatan humanis, kekeluargaan, dan damai untuk mencari solusi yang komprehensif, berkeadilan dengan tujuan akhir memberikan kemaslahatan, kemajuan dan kesejahteraan warga. Proses dan tahapan pembangunan Rempang Eco-City dapat dilakukan setelah tercapai kesepakatan dan persetujuan warga Pulau Rempang
14. MUI mengharapkan pemerintah tidak merelokasi warga Rempang yang telah hidup di sana selama ratusan tahun. MUI meminta pemerintah melindungi warga Rempang dan memelihara Kampung Tua yang memiliki akar-akar budaya Melayu untuk dikembangkan menjadi Destinasi Wisata Budaya dan Keagamaan karena telah berumur 189 tahun. MUI mengharapkan Pemerintah dapat mencarikan lahan pengganti Kampung Tua yang dilestarikan tersebut dengan lahan baru di Pulau Rempang untuk Rempang Eco-City
15. MUI mengharapkan kelak apabila pembangunan dilaksanakan maka hendaknya sedapat mungkin menggunakan kemampuan sendiri dan tidak tergantung semuanya kepada investasi dari para investor; penggunaan lahan untuk pembangunan tidak menggusur pemukiman masyarakat dan lahan produktif warga masyarakat Pulau Rempang yang selama ini menjadi sumber hidup mereka. Seiring dengan itu, proyek Rempang Eco-City hendaknya dikerjakan oleh para pekerja dari Indonesia dan manfaatnya ditujukan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat luas.
Sementara itu, anggota Komisi VI DPR RI, Luluk Nur Hamidah menegaskan bahwa Pulau Rempang memiliki akar sejarah yang harus dihormati dan diperhatikan dalam pembangunan. Karena itu, pembangunan yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) di sana diharapkan tidak hanya berfokus pada perkembangan infrastruktur, tetapi juga pada kesejahteraan masyarakat.
“Pulau Rempang bukan sekadar tempat saja tetapi sebuah wilayah yang kaya akan sejarah, tradisi, dan budaya yang telah melekat pada identitas warga setempat selama ratusan tahun,” ujarnya.
Menurutnya, akar sejarah harus dihormati dan dipertahankan dalam setiap langkah pembangunan. Pemerintah seharusnya tidak hanya melihat potensi ekonomi dari proyek-proyek besar, tetapi juga bagaimana proyek-proyek tersebut akan mempengaruhi dan mungkin mengubah identitas budaya dan tradisional suatu daerah.
Karena itu, Luluk meminta agar pemerintah tidak menganggap proyek-proyek besar hanya sebagai kesempatan untuk pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga sebagai kesempatan untuk menciptakan harmoni antara pembangunan dan kepentingan rakyat.
“Proyek Strategis Nasional harus menjadi alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih besar, seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian budaya lokal,” tegas politisi dari Fraksi PKB itu.